Selasa, 18 Desember 2012

Hidup di Dua Dunia


Hidup di Dua Dunia
Faisal Basri ;  Ekonom
KOMPAS, 17 Desember 2012


Kita serasa hidup di dua dunia yang kian kontradiktif. Di satu sisi, kinerja pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi dan konsumsi sedemikian sangat cemerlang di tengah keterpurukan dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Eropa. Akibatnya, terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Akan tetapi tidak untuk Indonesia. Kita adalah satu-satunya negara di dunia yang dalam empat tahun terakhir menikmati kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang tak menurun. Majalah The Economist menjuluki Indonesia sebagai ”the emerging-market star 2011” (The Economist, 22 November 2010). Dua tahun kemudian majalah ini menurunkan tulisan berjudul ”Asia’s Great Moderation”. Tulisan ini menunjukkan bahwa selama 2002-2011 Indonesia adalah satu dari hanya tiga negara yang mencatat pertumbuhan stabil (steadier growth rate).
Indonesia masuk di layar radar perusahaan-perusahaan transnasional. World Investment Report 2012 dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menempatkan Indonesia pada urutan keempat sebagai negara paling prospektif sebagai lokasi investasi, naik dua peringkat dari laporan tahun sebelumnya. AT Kearney yang menerbitkan AT Kearney FDI Confidence Index mengerek posisi Indonesia dari urutan ke-19 tahun 2010 ke ke-9 tahun 2012. Jika negara maju keluar dari senarai, posisi Indonesia justru di urutan keempat.
Sudah sekitar empat tahun investasi asing serupa derasnya dengan investasi domestik. Padahal, iklim investasi tak banyak berubah. Nilai kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia versi International Finance Corporation, yang berada di bawah Bank Dunia, turun tahun 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Posisi kita bisa dikatakan tetap berada di zona terpuruk dan lebih buruk daripada Vietnam. Indikator governance versi Bank Dunia juga tetap belum menggembirakan. Untuk komponen rule of law dan regulatory quality merosot dan memiliki nilai yang sangat rendah (di bawah 50 dari nilai tertinggi 100). Juga untuk unsur control of corruption menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1996. Dari survei Transparency International, indeks persepsi korupsi kita masih di urutan ke-100. Yang paling parah adalah indeks korupsi versi PERC (Political and Economic Risk Consultancy), yang berbasis di Hongkong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di antara 16 negara Asia Pasifik tahun 2009 dan 2010, lalu naik satu peringkat ke posisi paling korup kedua setelah Kamboja tahun 2011.
Kondisi infrastruktur pun belum mengalami perbaikan berarti. Jadi, apa yang menjadi pemikat utama Indonesia di mata investor dalam dan luar negeri?
Tampaknya mereka menatap Indonesia dalam perspektif jangka menengah dan panjang. Negeri ini sedang menggeliat. Lebih dari separuh penduduknya berusia 15-49 tahun. Pertumbuhan strata menengah luar biasa. Sekarang saja tatkala strata menengah-bawah (pengeluaran Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per kapita sebulan) masih mendominasi, pertumbuhan konsumsi sudah luar biasa. Apatah lagi nanti tahun 2020 kala strata menengah-tengah (pengeluaran Rp 1,5 juta-Rp 2,6 juta per kapita sebulan) sudah dominan.
McKinsey, dalam publikasi terbaru, ”The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” (September 2012), mengerucutkan strata menengah ini menjadi member of the consuming class, yaitu penduduk yang berpendapatan di atas 3.600 dollar AS berdasarkan paritas daya beli 2005. Jumlah kelompok penggerak utama konsumsi ini akan berlipat ganda tahun 2030.
Jumlah mereka tak sampai 10 persen dari penduduk. Selebihnya masih berjibaku dalam kekurangan. Sekitar 92 persen pekerja hanyalah pekerja informal dan pekerja formal tanpa kontrak dengan terbanyak masih di sektor pertanian. APBN 2013 hanya menyisihkan Rp 0,1 triliun untuk subsidi benih atau 0,04 persen dari total subsidi yang berjumlah Rp 316,1 triliun. Sementara untuk subsidi bahan bakar minyak hampir 2.000 kali lipatnya.
Pemerintah kurang menghiraukan kecenderungan yang kasatmata betapa ketimpangan kian menjadi-jadi. Indeks gini mengakselerasi dan menembus 0,4. Kelompok 20 persen terkaya meraup makin banyak porsi kue nasional, sedangkan porsi perolehan kelompok 40 persen termiskin turun terus. Padahal, potret ketimpangan yang memburuk ini sebatas dari data pengeluaran. Betapa jauh lebih buruk kondisi ketimpangan jika dari data pendapatan.
Betapa ironis membaca brosur BKPM di dalam pesawat Garuda. Ada peraga menunjukkan cost pekerja kita paling murah. Bukankah upah rata-rata selama ini sudah tertekan sebagaimana tampak dari nisbah upah rata-rata terhadap upah minimum yang turun secara persisten. Untuk upah pekerja lelaki turun dari 1,7 tahun 2004 menjadi 1,4 tahun 2010. Lebih parah lagi, pekerja perempuan yang nisbahnya mendekati 1 (satu). Berarti, upah rata-rata pekerja perempuan hanya sedikit sekali di atas upah minimum, persisnya 1,1 tahun 2010.
Pilu pula menemukan senarai ”kehebatan” Indonesia sebagai produsen utama dunia untuk berbagai macam komoditas primer. Apa yang bisa dibanggakan kalau itu menghasilkan kenaikan tajam porsi ekspor komoditas dan manufaktur berbasis sumber daya alam yang diolah sekadarnya dari hanya 40 persen terhadap keseluruhan ekspor tahun 2010 menjadi 68,3 persen tahun 2011.
Kekayaan alam inilah yang membuat makin banyak orang terkaya dunia berasal dari Indonesia. Tak kurang 15 dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes adalah pengusaha yang mengeksploitasi sumber daya alam. Nyata-nyata kekayaan sumber daya alam yang melimpah gagal menyejahterakan rakyat banyak, bahkan justru memperburuk ketimpangan pendapatan.
Asing tak peduli soal ketimpangan. Sepanjang bisnisnya menghasilkan keuntungan besar, mereka akan terus menyemut.
Tanpa kesadaran baru, tanpa koreksi total atas arah kebijakan, dan tanpa kontrak sosial baru, potensi jangka menengah dan jangka panjang Indonesia yang berbinar-binar boleh jadi hanya ilusi semata.
Benahi sekarang juga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar