Hidup di Dua
Dunia
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
Kita serasa hidup di dua
dunia yang kian kontradiktif. Di satu sisi, kinerja pertumbuhan ekonomi yang
ditopang oleh investasi dan konsumsi sedemikian sangat cemerlang di tengah
keterpurukan dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Eropa. Akibatnya,
terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Akan
tetapi tidak untuk Indonesia. Kita adalah satu-satunya negara di dunia yang
dalam empat tahun terakhir menikmati kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang
tak menurun. Majalah The Economist
menjuluki Indonesia sebagai ”the
emerging-market star 2011” (The
Economist, 22 November 2010). Dua tahun kemudian majalah ini menurunkan
tulisan berjudul ”Asia’s Great
Moderation”. Tulisan ini menunjukkan bahwa selama 2002-2011 Indonesia
adalah satu dari hanya tiga negara yang mencatat pertumbuhan stabil (steadier growth rate).
Indonesia
masuk di layar radar perusahaan-perusahaan transnasional. World Investment Report 2012 dari
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menempatkan Indonesia
pada urutan keempat sebagai negara paling prospektif sebagai lokasi
investasi, naik dua peringkat dari laporan tahun sebelumnya. AT Kearney yang
menerbitkan AT Kearney FDI Confidence
Index mengerek posisi Indonesia dari urutan ke-19 tahun 2010 ke ke-9
tahun 2012. Jika negara maju keluar dari senarai, posisi Indonesia justru di
urutan keempat.
Sudah
sekitar empat tahun investasi asing serupa derasnya dengan investasi
domestik. Padahal, iklim investasi tak banyak berubah. Nilai kemudahan
berbisnis (ease of doing business)
Indonesia versi International Finance
Corporation, yang berada di bawah Bank Dunia, turun tahun 2012
dibandingkan tahun sebelumnya. Posisi kita bisa dikatakan tetap berada di
zona terpuruk dan lebih buruk daripada Vietnam. Indikator governance versi Bank Dunia juga tetap
belum menggembirakan. Untuk komponen rule
of law dan regulatory quality merosot dan memiliki nilai yang sangat
rendah (di bawah 50 dari nilai tertinggi 100). Juga untuk unsur control of corruption menunjukkan
penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1996. Dari survei Transparency
International, indeks persepsi korupsi kita masih di urutan ke-100. Yang
paling parah adalah indeks korupsi versi PERC (Political and Economic Risk Consultancy), yang berbasis di
Hongkong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di antara 16
negara Asia Pasifik tahun 2009 dan 2010, lalu naik satu peringkat ke posisi
paling korup kedua setelah Kamboja tahun 2011.
Kondisi
infrastruktur pun belum mengalami perbaikan berarti. Jadi, apa yang menjadi
pemikat utama Indonesia di mata investor dalam dan luar negeri?
Tampaknya
mereka menatap Indonesia dalam perspektif jangka menengah dan panjang. Negeri
ini sedang menggeliat. Lebih dari separuh penduduknya berusia 15-49 tahun.
Pertumbuhan strata menengah luar biasa. Sekarang saja tatkala strata
menengah-bawah (pengeluaran Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per kapita sebulan) masih
mendominasi, pertumbuhan konsumsi sudah luar biasa. Apatah lagi nanti tahun
2020 kala strata menengah-tengah (pengeluaran Rp 1,5 juta-Rp 2,6 juta per
kapita sebulan) sudah dominan.
McKinsey,
dalam publikasi terbaru, ”The
Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” (September 2012),
mengerucutkan strata menengah ini menjadi member of the consuming class,
yaitu penduduk yang berpendapatan di atas 3.600 dollar AS berdasarkan paritas
daya beli 2005. Jumlah kelompok penggerak utama konsumsi ini akan berlipat
ganda tahun 2030.
Jumlah
mereka tak sampai 10 persen dari penduduk. Selebihnya masih berjibaku dalam
kekurangan. Sekitar 92 persen pekerja hanyalah pekerja informal dan pekerja
formal tanpa kontrak dengan terbanyak masih di sektor pertanian. APBN 2013
hanya menyisihkan Rp 0,1 triliun untuk subsidi benih atau 0,04 persen dari
total subsidi yang berjumlah Rp 316,1 triliun. Sementara untuk subsidi bahan
bakar minyak hampir 2.000 kali lipatnya.
Pemerintah
kurang menghiraukan kecenderungan yang kasatmata betapa ketimpangan kian
menjadi-jadi. Indeks gini mengakselerasi dan menembus 0,4. Kelompok 20 persen
terkaya meraup makin banyak porsi kue nasional, sedangkan porsi perolehan
kelompok 40 persen termiskin turun terus. Padahal, potret ketimpangan yang
memburuk ini sebatas dari data pengeluaran. Betapa jauh lebih buruk kondisi
ketimpangan jika dari data pendapatan.
Betapa
ironis membaca brosur BKPM di dalam pesawat Garuda. Ada peraga menunjukkan
cost pekerja kita paling murah. Bukankah upah rata-rata selama ini sudah
tertekan sebagaimana tampak dari nisbah upah rata-rata terhadap upah minimum
yang turun secara persisten. Untuk upah pekerja lelaki turun dari 1,7 tahun
2004 menjadi 1,4 tahun 2010. Lebih parah lagi, pekerja perempuan yang
nisbahnya mendekati 1 (satu). Berarti, upah rata-rata pekerja perempuan hanya
sedikit sekali di atas upah minimum, persisnya 1,1 tahun 2010.
Pilu
pula menemukan senarai ”kehebatan” Indonesia sebagai produsen utama dunia
untuk berbagai macam komoditas primer. Apa yang bisa dibanggakan kalau itu menghasilkan
kenaikan tajam porsi ekspor komoditas dan manufaktur berbasis sumber daya
alam yang diolah sekadarnya dari hanya 40 persen terhadap keseluruhan ekspor
tahun 2010 menjadi 68,3 persen tahun 2011.
Kekayaan
alam inilah yang membuat makin banyak orang terkaya dunia berasal dari
Indonesia. Tak kurang 15 dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes
adalah pengusaha yang mengeksploitasi sumber daya alam. Nyata-nyata kekayaan
sumber daya alam yang melimpah gagal menyejahterakan rakyat banyak, bahkan
justru memperburuk ketimpangan pendapatan.
Asing
tak peduli soal ketimpangan. Sepanjang bisnisnya menghasilkan keuntungan
besar, mereka akan terus menyemut.
Tanpa
kesadaran baru, tanpa koreksi total atas arah kebijakan, dan tanpa kontrak
sosial baru, potensi jangka menengah dan jangka panjang Indonesia yang
berbinar-binar boleh jadi hanya ilusi semata.
Benahi sekarang juga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar