Jurnal yang
Melampaui Jurnalisme
Taufik Rahzen ; Pendiri Newseum Indonesia;
Dewan Kurator Anugerah
Tirto Adhi Soerjo
|
KOMPAS,
12 Desember 2012
Dalam naskah klasik Nagara Krtagama (1365
M), Mpu Prapanca dengan rendah hati menyebutkan bahwa apa yang dibabarkannya
hanyalah catatan perjalanan sang Prabu Hayam Wuruk mengelilingi dan melihat
keragaman desa (Desawarnana).
Pada bagian akhir pupuh
375-6, ada tambahan bahwa penggambaran tentang desa dan desa semata tidaklah
lengkap dan belum selesai. Ia harus dirampungkan dengan catatan tentang sang
kala dan pengetahuan tentang lambang (citra, patra).
Banyak pihak mengandaikan
naskah Nagara Krtagama (Desawarnana) sebagai naskah jurnalistik pertama
Nusantara karena syarat dasar 5W1H (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan
bagaimana) terekam jelas. Naskah ini membalikkan tradisi penulisan yang
berpusat pada dewa dan kahyangan menjadi catatan perjalanan manusia dan desa
di bumi. Waktu sejarah disusupkan dalam peristiwa keseharian, dicatat dan
diberi tanda.
Jika demikian adanya,
agaknya hampir tujuh abad, harapan Mpu Prapanca dapat digenapkan oleh
himpunan catatan perjalanan Ekspedisi Cincin Api, yang dirangkum dalam bentuk
buku oleh Ahmad Arif dengan judul Ekspedisi Kompas: Hidup Mati di Negeri
Cincin Api. Buku itu akan diluncurkan Rabu malam ini di Bentara Budaya
Jakarta.
Mengikuti Ekspedisi Cincin
Api yang ditampilkan secara reguler di koran, melalui daring sosial, dan
Kompas TV, ternyata berbeda dengan membaca bukunya. Keserentakan, kebaruan,
dan watak media—meski mewartakan hal yang sama—justru melahirkan sensasi
pengalaman yang berbeda.
Melalui buku, kita diajak
untuk terlibat sekaligus mengambil jarak. Pembacaan teks menuntut sebuah
bingkai dan cara pandang, sesuatu yang tak diperlukan saat menonton di
multimedia. Buku memadatkan semua pengalaman bersama dan rangkaian peristiwa
sebagai pengalaman eksistensial. Masa yang jauh ditarik dalam perbincangan
sehari-hari, sementara sebuah tempat tidaklah diwakili dengan nama saja,
tetapi berubah sebagai sebuah tanda, sebuah torehan dalam sejarah.
Dalam buku ini, Tambora,
Krakatau, dan, Toba misalnya, tidaklah merujuk pada sebuah tempat atau
lanskap geologis. Nama itu mewakili sebuah peristiwa, sebuah penanda dalam
waktu, yang mengawali atau mengakhiri sebuah masa.
Ekspedisi ini membawa para
ahli arkeologi, botani, geologi, antropologi, bahasa, dan sejarah dalam suatu
karnaval untuk membuat peta baru. Peta yang ditenun dari pengetahuan dan
ingatan, dari penelitian dan dugaan, dari keyakinan dan mitos. Membaca
ekspedisi Cincin Api dengan kekayaan sejarah alamnya menyadarkan kita bahwa
hiruk pikuk politik hanyalah pernik atau kebetulan dalam sejarah.
Dengan caranya sendiri,
ekspedisi mengajak pembacanya untuk melakukan penziarahan bersama dalam
melacak sekaligus menyusun identitas diri. Bahwa kita mewarisi tanah dan air
yang mudah goyah dan dibentuk setiap saat, mewarisi gairah untuk mati dan
gairah untuk hidup yang sama besarnya.
Karena itu, jurnalisme
yang melatari dan menghasilkan Cincin Api bukanlah jurnalisme biasa. Berbeda
dengan jurnalisme investigatif yang berusaha menyingkap hubungan kausal
peristiwa dengan kritis dan mendalam. Juga bukan jurnalisme baru yang
mengembalikan narasi dan bahasa pada kehangatan hidup manusia.
Jurnalisme Cincin Api
mencoba membabarkan sekaligus melampaui peristiwa, sebuah rekaman yang
bersifat antisipatoris. Ia meletakkan alam, benda- benda, peristiwa, ingatan,
pengetahuan, bencana, dan daya hidup dalam sistem kesadaran bersama. Masa
lampau yang panjang dan masa kini dipadatkan untuk menyusun tindakan bagi
mereka yang belum lahir.
Jurnalisme ini memadukan
dengan organik, kesatuan antara desa (ruang, alam); kala (waktu, bencana);
dan patra (lambang, logos). Dengan memadukan kecerdasan kolektif dengan
teknologi digital, kita sedang menyaksikan apa yang sementara ini disebut
beyond journalism atau jurnalisme yang melampaui.
Berbeda dengan ekspedisi
Kompas sebelumnya, Anyer-Panarukan, Bengawan Solo, Kapuas, ataupun Nusa
Tenggara yang menggunakan pendekatan investigatif dalam pelaporan
jurnalistiknya, Ekspedisi Cincin Api, sesuai dengan namanya, memilih gunung
dan samudra sebagai desa penjelajahan.
Dalam kepercayaan
Nusantara, gunung bukanlah tempat netral, melainkan pusat jagat tempat
pertemuan dunia atas dan bawah, pertemuan antara yang sakral dan profan,
antara kehidupan dan kematian. Masyarakat Nusantara percaya adanya Dewa Gunung,
sebagai dewa tertinggi yang mengatasi dewa yang datang kemudian. Hyang
Acalapati pada masa Hayam Wuruk atau Parwataraja pada masa Airlangga (Kakawin
Arjunawiwaha) atau Parwatandtha (Nagara Krtagama) dan Girindtha (Sutasoma).
Namun, gunung tidaklah berdiri
sendiri, tetapi berpasangan secara organis dengan samudra, yang kemudian
melahirkan konsep dasar Segara-Giri sebagai rujukan istilah tanah dan air.
Membaca catatan perjalanan
tentang Tambora (1815), Krakatau (1883), Agung (1963), Merapi (2010), dan Gamalama,
sama memukaunya dengan pemaparan tentang tsunami Aceh, Padang, atau
Pangandaran. Semuanya mengantar pada kesadaran betapa ringkihnya kita hidup
dalam sabuk bencana. Namun dengan caranya sendiri, masyarakat mampu mengelola
kecemasan dan harapannya.
Saya tergoda untuk
membandingkan, apa yang dilakukan oleh Ekspedisi Cincin Api ini dengan
perjalanan Danhyang Nirartha yang melakukan penziarahan dari gunung ke gunung
dan memperindah samudra.
Saat mulai runtuhnya
Majapahit dengan mulai bangkitnya Islam, Rsi Nirartha melakukan perjalanan
Dharmayatra (1489 M) dari Semeru, Bromo, Blambangan, Agung, Rinjani, dan
Tambora selama 20 tahun. Ia berinteraksi sekaligus membangun komunitas. Jika
di gunung ia meninggalkan pura pemujaan yang indah dan komunitas plural yang
kuat, di pantai samudra ia meninggalkan warisan yang kita kenal saat ini
dengan Tanah Lot, Uluwatu, Ponjok Batu, Sakenan, dan puluhan pura indah
lainnya sepanjang perjalanan. Ia jadikan tempat penziarahannya sebagai sistem
pengetahuan yang dapat dinikmati bergenerasi-generasi.
Bagi Nirartha, tujuan
perjalanan sesungguhnya bagaimana mengabadikan candi sastra, di mana
keindahan, kebenaran, keabadian, dan kesucian dapat dialami bersama dalam
komunitas. Hal itu dapat dicapai melalui penerapan keseimbangan rasa, basa,
masa, dan yasa. Keserasian rasa seni, bahasa pengetahuan, masa sejarah, dan
monumen karya yang berpadu pada keseimbangan yang hidup yang menjadikan abadi
dan bermakna.
Setahun lalu, saat
memperingati hari Jurnalistik Indonesia, 7 Desember 2011, Newseum Indonesia
memberikan Anugerah Tirto Adhi Soerjo untuk Ekspedisi Cincin Api atas
pencapaiannya yang menggetarkan dalam tradisi jurnalistik. Ekspedisi ini
secara kreatif melanjutkan tradisi besar Prapanca dan Nirartha, tetapi
sekaligus membuka pemahaman baru terhadap diri kita, komunitas, dan
lingkungan di mana kita bertahan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar