Kamis, 13 Desember 2012

1/4 Pusaran Kasus Hambalang dan Perbaikan Etika Politik


1/4 Pusaran Kasus Hambalang
dan Perbaikan Etika Politik
Jamal Wiwoho ;  Guru Besar Fakultas Hukum UNS dan Pembantu Rektor II UNS
MEDIA INDONESIA, 12 Desember 2012


KONFERENSI persyang dilakukan oleh Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, di Gedung KPK pada Kamis (6/12) malam, mengatakan bahwa terhadap AAM, AZM, dan MAT telah diajukan upaya pencekalan untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Dalam kesempatan yang sama Bambang menyatakan bahwa pada 3 Desember 2012 Abraham M Samad (Ketua KPK) telah menandatangani permohonan pencekalan terhadap AAM sebagai tersangka. Informasi yang disampaikan oleh Wakil Ketua KPK tersebut merupakan kelanjutan dari penetapan status tersangka Deddy Kusdinar sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) yang sudah ditetapkan oleh KPK pada 19 Juli 2012.

Ia diduga telah melanggar Pasal 2 ayat (1 dan 3) juncto Pasal 55 KUHP yang telah menandatangani kontrak lelang dengan PT Adhi Karya pada 24 November 2010. Deddy yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga telah menandatangani kontrak lelang proyek Hambalang sebesar Rp1.077.920.000.000.

Jika dicermati dengan saksama, penetapan Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPK merupakan pengembangan baru dan langkah cukup mengejutkan dari KPK dalam kasus megaproyek di Sentul, Bogor, Jawa Barat, yang dikenal dengan proyek pengembangan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON). Pada saat penetapan Deddy Kusdinar sebagai tersangka, ia dinyatakan sebagai anak tangga pertama dalam mengungkap secara tuntas masalah Hambalang.

Seiring dengan perkembangan kasus tersebut, pada 31 Oktober 2012 Ketua BPK Hadi Purnomo menyerahkan hasil audit investigasi soal Hambalang ke DPR yang pada saat itu diterima Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Dalam audit investigasi tersebut ada beberapa temuan yang diduga telah terjadi penyimpangan pada megaproyek Hambalang tersebut. Pertama, adanya tengarai soal penyimpangan pelelangan yang dilakukan oleh Sekretaris Kemenpora dan menetapkan lelang konstruksi di atas Rp50 miliar tanpa adanya pendelegasian kewenangan dari Menpora, yang diduga melanggar tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah (Keppres 80 Tahun 2003 jo Perpres 54 Tahun 2010 jo Perpres 70 Tahun 2012).

Dalam pengadaan barang dan jasa tersebut Menpora telah membiarkan adanya penyimpangan dan tidak melakukan pengendalian dan pengawasan sesuai dengan ketentuan, yang berpotensi adanya penyimpangan dan rekayasa dalam proses pelelangan serta pengerjaan konstruksi. Selain itu, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan kerja sama operasional (KSO) yang dilakukan dengan menyubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya (konstruksi) kepada perusahaan lain. Hal itu bertentangan a aturan tentang pengadaan bar rang jasa pemerintahan.

Kedua, berkaitan dengan kontrak tahun jamak (multiyear) yang ditandatangani oleh Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam kepada Menteri Keuangan. Dan adanya dugaan pembiaran oleh Menpora yang seharusnya melakukan wewenang pengendalian/pengawasan serta tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sesuai dengan ketentuan PP 60 Tahun 2008 tentang sistem pengendalian dan pengawasan internal pemerintahan. Ketiga, berkaitan dengan surat keputusan hak pakai pada proyek tersebut, izin lokasi site plan proyek, izin mendirikan bangunan (IMB) oleh kepala badan perizinan terpadu. Keempat, adanya persetujuan dari Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Anggaran untuk menyetujui tambahan pembiayaan proyek tahun jamak (multiyear) yang diajukan oleh Sekretaris diajukan oleh Sekreta Kemenpora.

Melihat banyaknya dugaan penyimpangan tersebut, kiranya da pat dipahami bahwa potensi kerugian negara atas proyek Hambalang tersebut menurut hasil investigasi BPK sebesar Rp243,9 miliar. Yang terdiri atas kerugian karena selisih pembayaran uang muka se besar Rp116,9 miliar, kerugian karena mekanikal elektronik Rp75,7 miliar, dan kerugian ka rena pekerjaan struktur sebesar Rp51 miliar. Indikasi kerugian negara tersebut diperoleh dengan cara membandingkan jumlah dana yang dikeluarkan oleh Kemenpora dengan nilai pekerjaan sebenarnya (pekerjaan riil atau biaya riil) yang dikerjakan subkontraktor yang dihitung uji petik.

Dengan demikian kiranya peta yang memungkinkan sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Hambalang ialah Kementerian Pemuda dan Olahraga, Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Anggaran DPR, Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintahan daerah Setempat (Pemerintahan kabupaten Bogor), dan para rekanan atau pelaku usaha yang melakukan kontrak kerja sama pembangunan proyek tersebut.

Melihat cukup banyaknya cakupan masalah penyimpangan dan pihak-pihak yang terkait pada megaproyek Hambalang tersebut, kiranya dapat dibenarkan pernyataan anggota KPK Busyro Muqodas yang mengatakan bahwa KPK akan terus mengembangkan dan meneliti semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa penetapan Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka barulah se perempat (1/4) jajaran tangga, dan bukanlah merupakan pun cak tangga dari kasus besar yang selama 2012 ini telah banyak menguras perhatian publik.

Perbaikan Etika Politik

Tidak sampai hitungan 24 jam setelah KPK mengumum kan tiga nama AAM, AZM, dan MAT telah diajukan pencekalan untuk beperK gian ke luar negeri, Andi Mallarangeng mengundurkan diri dari jabatan sebagai Menpora serta Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat.

Langkah cepat yang diambil oleh Andi Mallarangeng tersebut setidaknya dapat dianalisis dari empat (4) sudut. Yaitu, pertama, pengunduran diri dia merupakan langkah positif yang harus diapresiasi sebagai pembelajaran politik di Indonesia. Asas praduga tak bersalah, sebagaimana sering dikumandangkan pejabat publik yang terkena kasus, diabaikan Andi.

Kedua, seperti yang penulis utarakan di atas, bahwa penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka baru merupakan 1/4 tangga sejajar yang berkaitan dengan kasus Hambalang. Dengan posisi yang sangat strategis itu, yakni sebagai Menpora dan Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, memungkinkan sekali penetapan sebagai tersangka untuk dapat dijadikan whistle blower atau peniup peluit yang akan dapat mengungkap kasus Hambalang secara tuntas.

Harus diakui benar adanya pendapat yang diungkapkan Agus Sunaryanto, anggota Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menyatakan bahwa penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka baru merupakan tangga pertama.

Ketiga, mundurnya Andi Mallarangeng merupakan momentum untuk mempertimbangkan adanya pergantian (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu II dengan jalan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja para menteri.

Demikian pula yang dilaporkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada KPK yang menyangkut keterlibatan beberapa kementerian dalam masalah korupsi. Hal itu mempertegas bahwa istana dan SBY tahu benar praktik-praktik korupsi politik yang dilakukan orang-orang kementerian. Di samping itu, adanya data verifikatif dan faktual bukan karena semata-mata manajemen konflik dengan cara membuka dan menutup kasus tertentu, maka Presiden SBY berkepentingan untuk membereskan perilaku koruptif yang terjadi di birokrasi di bawah kepemimpinannya. Selain itu, ukuran key perfomance index (KPI) yang selalu diberikan input oleh UKP4 yang menjadi dasar faktual bagi Presiden untuk melakukan evaluasi atas kinerja menteri-menteri.

Keempat, keberanian dan ketegasan sikap pengunduran diri Andi Mallarangeng dapat digunakan sebagai momentum kepada rakyat Indonesia bahwa Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu sekaligus partai pemerintah memiliki kader yang berintegritas tinggi. Dan sebagai partai yang bersih dalam mempelopori good goverment dan clean governance yang tidak hanya dalam tataran retorika semata, tetapi juga mampu mewujudkan pemerintahan yang baik serta mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Keberanian Andi perlu diapresiasi dan ditiru oleh partaipartai politik di Indonesia.
Harus diakui tersangkutnya kader Partai Demokrat dalam perkara korupsi tingkat nasional, yang melibatkan mantan bendahara partai M Nazaruddin dan mantan pengurus teras partai sekaligus mantan Putri Indonesia Angelina Sondakh, telah merusak citra partai dan persepsi publik.

Suatu hal yang harus diperhatikan oleh Partai Demokrat ialah adanya kabar yang nyaring bahwa megaproyek Hambalang juga diduga melibatkan Anas Urbaningrum, sang ketua umum partai, yang beberapa saat lalu pernah berujar bahwa jika terbukti terlibat dalam kasus Hambalang, dia bersedia digantung di Monas.

Oleh karena itu, mundurnya Andi Mallarangeng dapat digunakan sebagai sarana 
perenungan bagi kader-kader Demokrat bahwa keengganan dan keangkuhan untuk mengakui bahwa ia bersalah berarti ikut serta memperburuk citra partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar