1/4 Pusaran
Kasus Hambalang
dan Perbaikan
Etika Politik
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum UNS dan
Pembantu Rektor II UNS
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Desember 2012
KONFERENSI persyang dilakukan oleh Bambang Widjojanto,
Wakil Ketua KPK, di Gedung KPK pada Kamis (6/12) malam, mengatakan bahwa
terhadap AAM, AZM, dan MAT telah diajukan upaya pencekalan untuk bepergian ke
luar negeri selama enam bulan. Dalam kesempatan yang sama Bambang menyatakan
bahwa pada 3 Desember 2012 Abraham M Samad (Ketua KPK) telah menandatangani
permohonan pencekalan terhadap AAM sebagai tersangka. Informasi yang
disampaikan oleh Wakil Ketua KPK tersebut merupakan kelanjutan dari penetapan
status tersangka Deddy Kusdinar sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) yang
sudah ditetapkan oleh KPK pada 19 Juli 2012.
Ia diduga telah melanggar Pasal 2 ayat (1 dan 3) juncto Pasal 55 KUHP yang
telah menandatangani kontrak lelang dengan PT Adhi Karya pada 24 November
2010. Deddy yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan
Kementerian Pemuda dan Olahraga telah menandatangani kontrak lelang proyek
Hambalang sebesar Rp1.077.920.000.000.
Jika dicermati dengan saksama, penetapan Andi Alifian
Mallarangeng sebagai tersangka seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPK
merupakan pengembangan baru dan langkah cukup mengejutkan dari KPK dalam
kasus megaproyek di Sentul, Bogor, Jawa Barat, yang dikenal dengan proyek
pengembangan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional
(P3SON). Pada saat penetapan Deddy Kusdinar sebagai tersangka, ia dinyatakan
sebagai anak tangga pertama dalam mengungkap secara tuntas masalah Hambalang.
Seiring dengan perkembangan kasus tersebut, pada 31
Oktober 2012 Ketua BPK Hadi Purnomo menyerahkan hasil audit investigasi soal
Hambalang ke DPR yang pada saat itu diterima Wakil Ketua DPR Priyo Budi
Santoso. Dalam audit investigasi tersebut ada beberapa temuan yang diduga
telah terjadi penyimpangan pada megaproyek Hambalang tersebut. Pertama, adanya
tengarai soal penyimpangan pelelangan yang dilakukan oleh Sekretaris
Kemenpora dan menetapkan lelang konstruksi di atas Rp50 miliar tanpa adanya
pendelegasian kewenangan dari Menpora, yang diduga melanggar tata cara
pengadaan barang dan jasa pemerintah (Keppres 80 Tahun 2003 jo Perpres 54
Tahun 2010 jo Perpres 70 Tahun 2012).
Dalam pengadaan barang dan jasa tersebut Menpora telah
membiarkan adanya penyimpangan dan tidak melakukan pengendalian dan
pengawasan sesuai dengan ketentuan, yang berpotensi adanya penyimpangan dan
rekayasa dalam proses pelelangan serta pengerjaan konstruksi. Selain itu,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan kerja sama operasional (KSO) yang
dilakukan dengan menyubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya (konstruksi)
kepada perusahaan lain. Hal itu bertentangan a aturan tentang pengadaan bar
rang jasa pemerintahan.
Kedua, berkaitan dengan kontrak tahun jamak (multiyear)
yang ditandatangani oleh Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam kepada Menteri
Keuangan. Dan adanya dugaan pembiaran oleh Menpora yang seharusnya melakukan
wewenang pengendalian/pengawasan serta tidak melaksanakan pengendalian dan
pengawasan sesuai dengan ketentuan PP 60 Tahun 2008 tentang sistem
pengendalian dan pengawasan internal pemerintahan. Ketiga, berkaitan dengan surat
keputusan hak pakai pada proyek tersebut, izin lokasi site plan proyek, izin
mendirikan bangunan (IMB) oleh kepala badan perizinan terpadu. Keempat,
adanya persetujuan dari Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Anggaran
untuk menyetujui tambahan pembiayaan proyek tahun jamak (multiyear) yang
diajukan oleh Sekretaris diajukan oleh Sekreta Kemenpora.
Melihat banyaknya dugaan penyimpangan tersebut, kiranya da
pat dipahami bahwa potensi kerugian negara atas proyek Hambalang tersebut
menurut hasil investigasi BPK sebesar Rp243,9 miliar. Yang terdiri atas
kerugian karena selisih pembayaran uang muka se besar Rp116,9 miliar,
kerugian karena mekanikal elektronik Rp75,7 miliar, dan kerugian ka rena
pekerjaan struktur sebesar Rp51 miliar. Indikasi kerugian negara tersebut
diperoleh dengan cara membandingkan jumlah dana yang dikeluarkan oleh
Kemenpora dengan nilai pekerjaan sebenarnya (pekerjaan riil atau biaya riil)
yang dikerjakan subkontraktor yang dihitung uji petik.
Dengan demikian kiranya peta yang memungkinkan sebagai
pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Hambalang ialah Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Sekretaris Jenderal Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Anggaran DPR, Badan Pertanahan
Nasional (BPN), pemerintahan daerah Setempat (Pemerintahan kabupaten Bogor),
dan para rekanan atau pelaku usaha yang melakukan kontrak kerja sama
pembangunan proyek tersebut.
Melihat cukup banyaknya cakupan masalah penyimpangan dan
pihak-pihak yang terkait pada megaproyek Hambalang tersebut, kiranya dapat
dibenarkan pernyataan anggota KPK Busyro Muqodas yang mengatakan bahwa KPK
akan terus mengembangkan dan meneliti semua pihak yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa penetapan Andi
Alifian Mallarangeng sebagai tersangka barulah se perempat (1/4) jajaran
tangga, dan bukanlah merupakan pun cak tangga dari kasus besar yang selama
2012 ini telah banyak menguras perhatian publik.
Perbaikan Etika Politik
Tidak sampai hitungan 24 jam setelah KPK mengumum kan tiga
nama AAM, AZM, dan MAT telah diajukan pencekalan untuk beperK gian ke luar
negeri, Andi Mallarangeng mengundurkan diri dari jabatan sebagai Menpora
serta Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat.
Langkah cepat yang diambil oleh Andi Mallarangeng tersebut
setidaknya dapat dianalisis dari empat (4) sudut. Yaitu, pertama, pengunduran
diri dia merupakan langkah positif yang harus diapresiasi sebagai
pembelajaran politik di Indonesia. Asas praduga tak bersalah, sebagaimana sering
dikumandangkan pejabat publik yang terkena kasus, diabaikan Andi.
Kedua, seperti yang penulis utarakan di atas, bahwa
penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka baru merupakan 1/4 tangga
sejajar yang berkaitan dengan kasus Hambalang. Dengan posisi yang sangat
strategis itu, yakni sebagai Menpora dan Sekretaris Dewan Pembina Partai
Demokrat, memungkinkan sekali penetapan sebagai tersangka untuk dapat
dijadikan whistle blower atau peniup peluit yang akan dapat mengungkap kasus
Hambalang secara tuntas.
Harus diakui benar adanya pendapat yang diungkapkan Agus
Sunaryanto, anggota Indonesia
Corruption Watch (ICW), yang menyatakan bahwa penetapan Andi Mallarangeng
sebagai tersangka baru merupakan tangga pertama.
Ketiga, mundurnya Andi Mallarangeng merupakan momentum
untuk mempertimbangkan adanya pergantian (reshuffle) Kabinet Indonesia
Bersatu II dengan jalan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja para
menteri.
Demikian pula yang dilaporkan oleh Sekretaris Kabinet Dipo
Alam kepada KPK yang menyangkut keterlibatan beberapa kementerian dalam
masalah korupsi. Hal itu mempertegas bahwa istana dan SBY tahu benar
praktik-praktik korupsi politik yang dilakukan orang-orang kementerian. Di
samping itu, adanya data verifikatif dan faktual bukan karena semata-mata
manajemen konflik dengan cara membuka dan menutup kasus tertentu, maka
Presiden SBY berkepentingan untuk membereskan perilaku koruptif yang terjadi
di birokrasi di bawah kepemimpinannya. Selain itu, ukuran key perfomance
index (KPI) yang selalu diberikan input oleh UKP4 yang menjadi dasar faktual
bagi Presiden untuk melakukan evaluasi atas kinerja menteri-menteri.
Keempat, keberanian dan ketegasan sikap pengunduran diri
Andi Mallarangeng dapat digunakan sebagai momentum kepada rakyat Indonesia
bahwa Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu sekaligus partai
pemerintah memiliki kader yang berintegritas tinggi. Dan sebagai partai yang
bersih dalam mempelopori good goverment
dan clean governance yang tidak
hanya dalam tataran retorika semata, tetapi juga mampu mewujudkan
pemerintahan yang baik serta mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
bersih.
Keberanian Andi perlu diapresiasi dan ditiru oleh
partaipartai politik di Indonesia.
Harus diakui tersangkutnya kader Partai Demokrat dalam perkara korupsi tingkat nasional, yang melibatkan mantan bendahara partai M Nazaruddin dan mantan pengurus teras partai sekaligus mantan Putri Indonesia Angelina Sondakh, telah merusak citra partai dan persepsi publik.
Suatu hal yang harus diperhatikan oleh Partai Demokrat
ialah adanya kabar yang nyaring bahwa megaproyek Hambalang juga diduga
melibatkan Anas Urbaningrum, sang ketua umum partai, yang beberapa saat lalu
pernah berujar bahwa jika terbukti terlibat dalam kasus Hambalang, dia
bersedia digantung di Monas.
Oleh karena itu, mundurnya Andi Mallarangeng dapat digunakan
sebagai sarana
perenungan bagi kader-kader Demokrat bahwa keengganan dan
keangkuhan untuk mengakui bahwa ia bersalah berarti ikut serta memperburuk citra
partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar