Moratorium
Versus Keamanan Laut
Oki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan
Perikanan;
Pelaku
Usaha Budidaya Laut dan Tambak Organik
|
KOMPAS,
06 Desember 2012
Gagasan cerdas yang
digulirkan Koalisasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan soal moratorium izin
penangkapan ikan perlu disikapi serius pemerintah. Hal ini untuk menekan
tingginya tingkat pencurian ikan di Indonesia dan menjaga wibawa negara di
laut.
Sebelumnya Kompas
(12/11/2012) juga memberitakan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengizinkan penggunaan anak buah kapal (ABK) warga negara asing pada kapal
ikan berbendera Indonesia. Padahal, ini jelas bertentangan dengan UU
Perikanan.
Di tengah
kegairahan negara-negara benua mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
alam di laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan bangsanya, kita
malah membiarkan laut menjadi ajang jarahan. Contoh, dari Laut Arafuru saja
sejak dekade 1980-an hingga sekarang jutaan ton ikan dijarah setiap tahun
oleh ratusan kapal asing menggunakan, antara lain, jaring terlarang fish trawl ataupun shrimp trawl.
Palka kapal
berkapasitas rata-rata 100-500 ton selalu terisi penuh muatan berbagai jenis
dan ukuran ikan demersal laut dalam. Ironisnya, terumbu karang tempat
pemijahan ikan dan merupakan lokasi yang nyaman bagi koloni ikan itu hancur
disapu mesin penghancur karang dan jaring pukat harimau.
Banyak
Kejanggalan
Wilayah fishing
ground di Laut Arafuru selama 24 jam menjadi surga penangkapan ikan secara
ilegal. Di sana tidak pernah sepi dari kapal asing penangkap ikan. Hal yang
patut disesalkan, kebanyakan kapal tersebut diageni sejumlah yayasan milik
institusi pemerintah. Lalu ke mana dan di mana armada pengawal laut Nusantara
selama ini berada?
Jika melihat dari
data besaran angka kerugian dari pencurian ikan, ada kejanggalan jika kapal
patroli tidak menemukan kapal- kapal pecundang di salah satu paru-paru laut
terbesar di dunia tersebut. Sejatinya, kepedulian negara untuk mengawal laut
sangat minim, itu pun jika tidak ingin disebut gagal.
Pemerintah seolah
tidak pernah peduli isi lautnya dijarah. Pembiaran terhadap sejumlah
kejahatan di laut adalah bukti kelalaian mengamankan kekayaan negara. Fakta
yang terjadi tidak searus dengan gagasan Blue Economic alias Revolusi Biru
yang dikibarkan dan dikhawatirkan teori itu hanya dijadikan kamuflase,
menutupi kelemahan dan keterpurukan kita di laut.
Dapat dikatakan
bahwa sejumlah tragedi di laut selama ini tidak dijadikan cermin dan motivasi
bagaimana menyejahterakan ekonomi bangsa yang sarat utang ini dengan
memanfaatkan kekayaan lautnya. Sadar atau tidak, laut diabaikan dan justru
memperkaya bangsa lain. Kita tentu masih teringat aksi nekat nelayan Tarakan,
Kalimantan Timur. Mereka dengan gagah berani dan penuh kejengkelan menangkap
kapal nelayan Malaysia yang tengah mencuri ikan di depan mata nelayan lokal.
Aksi berani
tersebut dipicu kejengkelan terhadap aparat keamanan laut yang apatis.
Demikian pula, di manakah negara ketika nelayannya yang sedang menjaring
nafkah di ranahnya sendiri ditangkap dan dianiaya petugas patroli keamanan
laut negara jiran?
Sementara itu,
banyak peristiwa kontradiktif terjadi. Perlakuan diskriminatif yang
menyakitkan masyarakat pesisir kerap terjadi di negeri sendiri. Di Pamekasan,
Madura, nelayan asal Desa Branta, misalnya, ditangkapi petugas karena
kapalnya tidak dilengkapi dokumen Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang sulit
diurus dan harus diperbarui setiap hari. Nelayan yang sudah kesulitan mencari
nafkah di laut juga menghadapi sejumlah teror ekonomi dan peraturan
perundangan yang justru memberatkan komunitas marjinal itu.
Kapan
di Laut Kita Jaya?
Di negara yang
tersohor kaya sumber daya laut ini, pemerintah dan pemangku kepentingan di
sektor pendidikan, misalnya, tidak pernah pula berpikir dan tergerak untuk
melahirkan generasi muda bahari sebagai elemen dasar membentuk karakter
bangsa maritim. Sejak prasekolah, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan
tinggi, generasi pemimpin pada masa depan itu tidak mengenyam pendidikan
maritim. Bagaimana generasi muda bisa memiliki wawasan kelautan dan berminat
menekuni usaha di sektor berbasis maritim jika di sekolah umum yang
dipopulerkan hanya menggambar keindahan alam di darat saja.
Akibatnya,
janganlah heran jika fakultas kelautan, perkapalan, atau perikanan pada
umumnya di semua perguruan tinggi negeri dan swasta bukan menjadi pilihan
utama mahasiswanya. Sebagai ilustrasi, sejumlah fakultas kelautan dan
perikanan hanya menjadi pilihan bukan nomor satu, bahkan ada pula fakultas berorientasi
laut yang terpaksa dilebur karena tidak memenuhi kuota karena sepi peminat.
Di sekolah umum,
pelajaran berenang seharusnya menjadi olahraga wajib. Dayung, selancar angin,
layar atau menyelam yang kental budaya bahari sebaiknya menjadi agenda kompetisi
antarsekolah ataupun perguruan tinggi. Jadi, jangan berharap kita jaya di
laut tanpa generasi mudanya dibekali pendidikan maritim dan mendapatkan
wawasan serta ilmu pengetahuan kekayaan tambang di bawah laut.
Boleh dikata,
keterpurukan kita di laut disebabkan tidak terbangunnya kekuatan maritim yang
seharusnya menjadi arus utama negara kepulauan. Keunggulan kompetitif dalam
segi geoekonomis, geopolitis, dan geostrategis yang kita miliki itu lalu
untuk apa jika hanya menjadi wacana. Kapan potensi itu membuat kita jaya di
laut?
Sejujurnya,
kegagalan tersebut harus diakui lebih disebabkan lemahnya ocean leadership.
Kita harus berpikir radikal dan sejatinya bangsa ini tidak membutuhkan lagi
presiden yang berorientasi ke darat karena terbukti selama ini kebijakan
kelautan dan strategi maritim menjadi cemoohan bangsa lain.
Pemimpin Indonesia
yang dibutuhkan ke depan adalah sosok yang mampu mobilisasi sumber daya
nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal,
moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung
kekuatan maritim. Gagasan membentuk Departemen Eksplorasi Laut oleh
Abdurrahman Wahid, Gerbang Mina Bahari versi Megawati, dan Revitalisasi
Maritim sektor perikanan gagasan Susilo Bambang Yudhoyono baru menyentuh
permukaan belum pada ke dalam lautan persoalannya.
Mereka belum mampu
memobilisasi sumber daya nasional kekuatan maritim. Kita memerlukan presiden
yang tidak cukup hanya mempunyai visi kelautan untuk mendapat dukungan penuh
para pemangku kepentingan guna menyukseskan program tersebut. Negara
kepulauan ini memerlukan nakhoda andal dan cerdas untuk mengendalikan
instrumen keadilan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar