Jumat, 07 Desember 2012

Moratorium Versus Keamanan Laut


Moratorium Versus Keamanan Laut
Oki Lukito ;  Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan; 
Pelaku Usaha Budidaya Laut dan Tambak Organik
KOMPAS, 06 Desember 2012


Gagasan cerdas yang digulirkan Koalisasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan soal moratorium izin penangkapan ikan perlu disikapi serius pemerintah. Hal ini untuk menekan tingginya tingkat pencurian ikan di Indonesia dan menjaga wibawa negara di laut.
Sebelumnya Kompas (12/11/2012) juga memberitakan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan mengizinkan penggunaan anak buah kapal (ABK) warga negara asing pada kapal ikan berbendera Indonesia. Padahal, ini jelas bertentangan dengan UU Perikanan.
Di tengah kegairahan negara-negara benua mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan bangsanya, kita malah membiarkan laut menjadi ajang jarahan. Contoh, dari Laut Arafuru saja sejak dekade 1980-an hingga sekarang jutaan ton ikan dijarah setiap tahun oleh ratusan kapal asing menggunakan, antara lain, jaring terlarang fish trawl ataupun shrimp trawl.
Palka kapal berkapasitas rata-rata 100-500 ton selalu terisi penuh muatan berbagai jenis dan ukuran ikan demersal laut dalam. Ironisnya, terumbu karang tempat pemijahan ikan dan merupakan lokasi yang nyaman bagi koloni ikan itu hancur disapu mesin penghancur karang dan jaring pukat harimau.
Banyak Kejanggalan
Wilayah fishing ground di Laut Arafuru selama 24 jam menjadi surga penangkapan ikan secara ilegal. Di sana tidak pernah sepi dari kapal asing penangkap ikan. Hal yang patut disesalkan, kebanyakan kapal tersebut diageni sejumlah yayasan milik institusi pemerintah. Lalu ke mana dan di mana armada pengawal laut Nusantara selama ini berada?
Jika melihat dari data besaran angka kerugian dari pencurian ikan, ada kejanggalan jika kapal patroli tidak menemukan kapal- kapal pecundang di salah satu paru-paru laut terbesar di dunia tersebut. Sejatinya, kepedulian negara untuk mengawal laut sangat minim, itu pun jika tidak ingin disebut gagal.
Pemerintah seolah tidak pernah peduli isi lautnya dijarah. Pembiaran terhadap sejumlah kejahatan di laut adalah bukti kelalaian mengamankan kekayaan negara. Fakta yang terjadi tidak searus dengan gagasan Blue Economic alias Revolusi Biru yang dikibarkan dan dikhawatirkan teori itu hanya dijadikan kamuflase, menutupi kelemahan dan keterpurukan kita di laut.
Dapat dikatakan bahwa sejumlah tragedi di laut selama ini tidak dijadikan cermin dan motivasi bagaimana menyejahterakan ekonomi bangsa yang sarat utang ini dengan memanfaatkan kekayaan lautnya. Sadar atau tidak, laut diabaikan dan justru memperkaya bangsa lain. Kita tentu masih teringat aksi nekat nelayan Tarakan, Kalimantan Timur. Mereka dengan gagah berani dan penuh kejengkelan menangkap kapal nelayan Malaysia yang tengah mencuri ikan di depan mata nelayan lokal.
Aksi berani tersebut dipicu kejengkelan terhadap aparat keamanan laut yang apatis. Demikian pula, di manakah negara ketika nelayannya yang sedang menjaring nafkah di ranahnya sendiri ditangkap dan dianiaya petugas patroli keamanan laut negara jiran?
Sementara itu, banyak peristiwa kontradiktif terjadi. Perlakuan diskriminatif yang menyakitkan masyarakat pesisir kerap terjadi di negeri sendiri. Di Pamekasan, Madura, nelayan asal Desa Branta, misalnya, ditangkapi petugas karena kapalnya tidak dilengkapi dokumen Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang sulit diurus dan harus diperbarui setiap hari. Nelayan yang sudah kesulitan mencari nafkah di laut juga menghadapi sejumlah teror ekonomi dan peraturan perundangan yang justru memberatkan komunitas marjinal itu.
Kapan di Laut Kita Jaya?
Di negara yang tersohor kaya sumber daya laut ini, pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor pendidikan, misalnya, tidak pernah pula berpikir dan tergerak untuk melahirkan generasi muda bahari sebagai elemen dasar membentuk karakter bangsa maritim. Sejak prasekolah, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, generasi pemimpin pada masa depan itu tidak mengenyam pendidikan maritim. Bagaimana generasi muda bisa memiliki wawasan kelautan dan berminat menekuni usaha di sektor berbasis maritim jika di sekolah umum yang dipopulerkan hanya menggambar keindahan alam di darat saja.
Akibatnya, janganlah heran jika fakultas kelautan, perkapalan, atau perikanan pada umumnya di semua perguruan tinggi negeri dan swasta bukan menjadi pilihan utama mahasiswanya. Sebagai ilustrasi, sejumlah fakultas kelautan dan perikanan hanya menjadi pilihan bukan nomor satu, bahkan ada pula fakultas berorientasi laut yang terpaksa dilebur karena tidak memenuhi kuota karena sepi peminat.
Di sekolah umum, pelajaran berenang seharusnya menjadi olahraga wajib. Dayung, selancar angin, layar atau menyelam yang kental budaya bahari sebaiknya menjadi agenda kompetisi antarsekolah ataupun perguruan tinggi. Jadi, jangan berharap kita jaya di laut tanpa generasi mudanya dibekali pendidikan maritim dan mendapatkan wawasan serta ilmu pengetahuan kekayaan tambang di bawah laut.
Boleh dikata, keterpurukan kita di laut disebabkan tidak terbangunnya kekuatan maritim yang seharusnya menjadi arus utama negara kepulauan. Keunggulan kompetitif dalam segi geoekonomis, geopolitis, dan geostrategis yang kita miliki itu lalu untuk apa jika hanya menjadi wacana. Kapan potensi itu membuat kita jaya di laut?
Sejujurnya, kegagalan tersebut harus diakui lebih disebabkan lemahnya ocean leadership. Kita harus berpikir radikal dan sejatinya bangsa ini tidak membutuhkan lagi presiden yang berorientasi ke darat karena terbukti selama ini kebijakan kelautan dan strategi maritim menjadi cemoohan bangsa lain.
Pemimpin Indonesia yang dibutuhkan ke depan adalah sosok yang mampu mobilisasi sumber daya nasional dalam manajemen pembangunan melalui kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan, tata ruang, serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung kekuatan maritim. Gagasan membentuk Departemen Eksplorasi Laut oleh Abdurrahman Wahid, Gerbang Mina Bahari versi Megawati, dan Revitalisasi Maritim sektor perikanan gagasan Susilo Bambang Yudhoyono baru menyentuh permukaan belum pada ke dalam lautan persoalannya.
Mereka belum mampu memobilisasi sumber daya nasional kekuatan maritim. Kita memerlukan presiden yang tidak cukup hanya mempunyai visi kelautan untuk mendapat dukungan penuh para pemangku kepentingan guna menyukseskan program tersebut. Negara kepulauan ini memerlukan nakhoda andal dan cerdas untuk mengendalikan instrumen keadilan ekonomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar