Tepercik Muka
Sendiri
Moh Ilham A Hamudy ; Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam
Negeri
|
REPUBLIKA,
11 Desember 2012
Menteri dalam negeri
(mendagri) telah mengirimkan Surat Edaran No 800/4329/
SJ tanggal 29 Oktober 2012 kepada pemerintah daerah. Isinya, melarang pengangkatan mantan narapidana (napi) menjadi pejabat struktural. Ihwal surat itu bermula dari kasus pengangkatan kembali mantan sekretaris daerah Kabupaten Bintan Azirwan sebagai kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau awal Maret lalu. Padahal, Azirwan sudah divonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan, karena terbukti menyuap mantan anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution guna mendapatkan rekomendasi alih fungsi hutan di Bintan.
Belakangan ketahuan,
kasus seperti Azirwan ternyata juga berlaku di daerah lain.
Hingga kini,
masih banyak pegawai negeri sipil (PNS) bekas terpidana korupsi yang
menduduki jabatan di beberapa pemerintah daerah, antara lain di Kabupaten
Karimun, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten
Majene, Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Malahan, mendagri mengungkapkan, ada 474 pejabat daerah yang kini tengah
bermasalah dengan hukum. Sebanyak 95 pejabat daerah kini sudah berstatus
tersangka, 49 terdakwa, dan ada 330 pejabat berstatus terpidana yang sudah
divonis.
Data itu jelas
memprihatinkan. Di tengah gencarnya program pemerintah mereformasi birokrasi,
ternyata perila ku pejabat kita masih seperti itu. Pengangkatan PNS mantan
napi koruptor jelas melanggar norma kepatutan dan sarat KKN. Bagaimana
mungkin seseorang yang sudah nyata-nyata melakukan korupsi, melawan hukum,
moral, dan etika bisa diangkat kembali menjadi pejabat publik. Padahal,
masih banyak orang yang lebih layak diangkat untuk menduduki jabatan
struktural dibandingkan dengan seorang napi koruptor yang jelas tidak amanah.
Mengharap surat edaran
itu efektif, rasanya sukar dipercaya. Alih-alih surat edaran,
UU saja tidak
diindahkan daerah. Contoh, UU No 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan
PP No 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS, dianggap angin lalu
saja. Daerah tidak mengindahkan karena UU Kepegawaian menyebutkan,
seorang PNS dapat diberhentikan dengan tidak hormat bila dihukum penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk kejahatan yang diancam
dengan hukuman kurungan lebih dari empat tahun. Anggapan daerah, kurang dari
empat tahun tidaklah menjadi soal.
Kedepankan Etika
Padahal, Pasal 23 Ayat
5 Huruf c UU Kepegawaian juga menyebutkan, PNS bisa saja diberhentikan tidak
dengan hormat karena telah dihukum penjara yang mempunyai kekuatan hukum
akibat melakukan tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan. Tindak pidana jabatan itu di antaranya adalah korupsi. Artinya,
kalau terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tidak ada batasan minimal tun
tutan atau hukuman, dan yang bersangkutan bisa diberhentikan dengan tidak
hormat.
Pemberhentian dilaksanakan
oleh pejabat pembina ke pegawaian. Di instansi pusat, pemberhentian dilakukan
kepala lembaga negara. Sedangkan bila terdaftar sebagai pegawai daerah,
yang berhak memberhentikan adalah kepala daerah. Tetapi, hal ini tidak
dilakukan. Celakanya, para pejabat kita kerap berlindung dari ketiadaan hukum
tertulis yang bisa menjerat mereka. Padahal, hukum tertulis tidak berdiri
sendiri. Keberadaannya di masyarakat adalah demi mengatur tatatertib
kehidupan masyarakat. Landasan hukum tertulis adalah rasa keadilan, etika,
dan moral yang hidup di masyarakat.
Jadi, apabila dalam
suatu kasus, hukum tertulis belum mengaturnya, berlakulah ketentuan tidak
tertulis yang berisi rasa keadilan, etika, dan moral. Bahkan, apabila
hukum tertulis itu hendak digunakan, tetapi bertabrakan dengan rasa keadilan
dan etika masyarakat, seharusnya yang lebih dikedepankan adalah rasa keadilan
dan etika itu. Dalam konteks ini, pejabat yang pernah dipidana penjara
apalagi karena kasus korupsi, haruslah diberhentikan sebagai PNS. Atau,
minimal nonjob kendati hanya
berdasarkan alasan moral dan efektivitas organisasi, bukan perintah hukum.
Karena, pejabat koruptor bukan sekadar melanggar etika profesi, melainkan
membangkang terhadap arah hidup bernegara dalam pemberantasan korupsi.
Memberi Contoh
Keluarnya Surat Edaran
Mendagri menunjukkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) gagal menjalankan
fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah se
bagaimana termuat dalam Pasal 217 dan 218 UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP No 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Pemerintahan Daerah. Kemendagri pun gagal menjadi penjaga moral
bagi pemerintah daerah dan tidak mampu memberi contoh terpuji. Sebab,
kenyataan yang sama juga pernah terjadi di Kemendagri.
Pada 2010 lalu, media
massa ramai mewartakan dua orang pejabat Kemendagri
terlibat kasus perjalanan
dinas fiktif. Kedua pejabat itu `cuma' divonis satu tahun penjara dan denda
Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan. Akan tetapi, keduanya tidak
pernah sedetik pun merasakan `manisnya' hotel prodeo. Hebatnya lagi, keduanya
tidak diberhentikan dari jabatannya, apalagi dipecat dari PNS. Malahan, si
pelapor kasus korupsi itu yang dipecat sebagai pejabat eselon IV.
Lantas, bagaimana surat
edaran mendagri bisa ditaati daerah? Sementara, Kemendagri malah
mengistimewakan pejabatnya yang sudah terpidana korupsi. Surat edaran
itu sejatinya bak menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Kalau saja
transparansi pengisian jabatan di setiap level pemerintahan di kedepankan,
tentu tidak akan seperti ini kejadiannya. Publik bisa mengontrol kelakuan
birokrasi. Publik pun dapat mengetahui mengapa seseorang dilantik sebagai
pejabat, baik alasan integritas, kompetensi, maupun prosedur yang ber laku.
Transparansi sebuah jabatan akan membebaskan birokrasi dari fitnah KKN dalam
promosi seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar