Jumat, 14 Desember 2012

Meninjau Peninjauan Kembali


Meninjau Peninjauan Kembali
Samsul Wahidin ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unmer Malang
JAWA POS, 13 Desember 2012


PUTUSAN sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) telah jatuh, dan sesuai dengan hukum putusan itu bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusannya tegas -Achmad Yamanie (AY), hakim agung diberhentikan (dipecat) secara tidak hormat (mana ada dipecat dengan hormat). Pemecatan ini merupakan ukiran cacat sejarah untuk penegakan hukum, khususnya hakim pada level Mahkamah Agung. Baru pertama ini MKH menyidangkan dan menjatuhkan putusan pemecatan untuk seorang hakim agung, sebuah pelajaran penting.

Dalam bahasa pengembangan suatu kasus, pemberhentian itu merupakan pintu masuk untuk penyelidikan dan penyidikan tentang ada atau tidak adanya tindak pidana yang dilakukan. Sebab, MKH memutus berdasar wewenang pada kode etik. Masih ada aspek hukum yang justru menjadi ukuran keadilan bagi penegakan hukum sejati.

Sama halnya dengan ditahannya Djoko Susilo pada kasus korupsi simulator SIM, penahanan jenderal polisi itu merupakan pintu masuk penyidikan lebih lanjut dari kasus itu. Kalau ada kemungkinan atasannya atau pihak lain yang bertanggung jawab, harus diproses secara hukum. 

Ditersangkakannya Andi Mallarangeng adalah pintu masuk untuk penyidikan kasus megakorupsi Hambalang. Siapa tahu ada aktor lain yang, setidaknya selevel menteri, juga harus bertanggung jawab secara hukum. 

Bedanya, kasus Andi Mallarangeng tidak melalui sidang kode etik menteri. Kasus simulator SIM tidak melalui sidang kode etik kepolisian. Satu dan lain hal, di situ ada indikasi kuat tindak pidana korupsi yangg secara langsung ditangani KPK.

Berbeda pada sidang AY, diawali dengan sidang kode etik karena indikasi penyimpangannya adalah pada penyimpangan terhadap kode etik hakim. Hal ini secara yuridis memenuhi ketentuan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No: 022/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pada ketentuan SKB itu diatur berbagai klausul tentang keharusan hakim, termasuk hakim agung (yang dijuluki Mr Justice), atau bahkan wakil Tuhan di muka bumi, untuk taat kepada pedoman etika. Di sana ada 10 etika yang harus dijadikan dasar perilaku hakim, yaitu keharusan berperilaku adil, berperilaku jujur, arif dan bijaksana, dan bersikap mandiri. Berikutnya hakim juga harus berintegritas tinggi, bertanggung jawab dan menjunjung tinggi harga diri. Hakim juga harus berdisiplin tinggi dan berperilaku rendah hati, serta bersikap profesional.

Manakala ada pelanggaran, ketentuan hakim yang diusulkan untuk dikenai sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI diberi kesempatan membela diri di Majelis Kehormatan Hakim. Hal itu sudah dilakukan dan putusannya bahwa AY terbukti melanggar kode rtik hakim tersebut dan sanksinya adalah diberhentikan tidak dengan hormat.

Secara pribadi, titian karir AY yang sudah lebih dari separo usia manusia (40 tahun) berakhir dengan tidak khusnul khotimah. Tragis dan miris.

Pintu Kebenaran 

Pasca dijatuhkannya putusan atas pelanggaran etika itu membuka pintu masuk untuk hal berikut. Pertama, putusan PK itu dijatuhkan oleh sebuah majelis hakim. Sangat masuk akal jika hal itu tidak semata dilakukan AY sendiri, dalam arti hanya dia yang bertanggung jawab. Apalagi, posisinya sebagai anggota. Dua hakim agung yang merupakan ketua dan satu anggota seharusnya juga disidang. Ini memang sedang dijadwalkan, dan AY menjadi saksinya.

Harapan publik, tentu sebagai (mantan) hakim agung dirinya akan membuka ada atau tidaknya kongkalikong atas jatuhnya putusan PK tersebut sejujur-jujurnya. 

Dalam peradilan pidana, putusan PK pada dasarnya dijatuhkan atas dasar ada atau tidaknya novum (bukti baru). Novum bernilai secara yuridis dan akan mengubah sebuah putusan yang telah final proses hukumnya jika bernilai sebagai sebuah bukti baru dalam arti bukti itu belum dikemukakan ketika proses sidang berlangsung pada peradilan justisiabelen, atau tingkat pertama dan banding serta pada peradilan kasasi.

Jika itu dikemukakan pada awal putusan yang dijatuhkan, putusan akhirnya tidak akan seperti ketika tidak ada novum tersebut. Karena itu, logika hukum (legal reasoning)-nya jelas, bahwa jika ada novum baru dan secara yuridis diterima, itu berarti kualifikasinya hanya memilih antara: fakta hukum terbukti atau tidak terbukti. 

Pada kasus Hanky Gunawan, terbukti bahwa dirinya adalah pemilik pabrik sabu. Hukumannya 15 tahun, ketika banding menjadi 18 tahun dan ketika kasasi, pidananya adalah hukuman mati. Pada putusan PK, ketika hukuman diturunkan (kembali) menjadi 15 tahun, statusnya tetap. Fakta hukumnya tetap, dia sebagai gembong narkoba. Hal ini menjadi kejanggalan telanjang.

Kedua, penyidikan dari aspek hukum harus dilakukan terhadap seseorang yang tidak lagi berstatus pejabat negara. Pada status ini seseorang bisa dikenai ketentuan pidana perubahan terhadap dokumen publik. Pada kasus Gayus Tambunan, jaksa Cyrus Sinaga dijatuhi hukuman karena mengganti rentut (rencana tuntutan), yang merupakan dokumen publik. AY pun dapat dan seharusnya diklarifikasi berdasar ketentuan ini.

Ketiga, kendati dalam putusan hakim ada asas bahwa tiap putusan menang atau kalah, benar atau salah selalu ada pertimbangannya, patut diduga dalam putusan tersebut ada permainan. Hendaknya putusan tersebut menjadi dasar untuk meninjau kembali putusan yang dijatuhkan. Asas bahwa di sini ada miscarriage of justice (peradilan sesat) perlu dikaji kebenarannya. Manakala ada indikasi bahwa dalam putusan PK yang ditangani AY itu ada penyimpangan hukum, putusan PK harus dibatalkan.

Di sini perlu dilakukan eksaminasi terhadap putusan tersebut sehingga diperoleh kekuatan dan kepastian atas ada atau tidaknya terjadi miscarriage of justice               tersebut. Tidak perlu ngotot dengan aturan normatif bahwa putusan PK itu final and binding, tapi catatan bahwa kalau memang terjadi penyimpangan, harus ditinjau kembali. Jadi PK di atas PK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar