Laporan Akhir
Tahun Bidang Politik dan Hukum
Efektivitas
Kabinet Tak Cukup dengan Imbauan
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
Sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, tahun 2012 merupakan tahun berat bagi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Tantangan dan persoalan muncul silih berganti menguji kepemimpinannya,
khususnya soal efektivitas pemerintahan. Maklumlah, yang dibangun ”koalisi
gemuk”.
Tidak
hanya itu, pusaran praktik kongkalikong yang koruptif di lingkungan kabinet
juga menjadi ujian cukup berat. Efektivitas pemerintahan Yudhoyono tahun ini
mulai diuji ketika pemerintah mengajukan rencana mengurangi subsidi bahan
bakar minyak pada Maret lalu.
Koalisi
enam partai yang dibangun Yudhoyono ternyata bukan jaminan bagi pemerintah
untuk mendapatkan dukungan politik. Rencana menaikkan harga BBM agar
subsidinya bisa dialihkan ke sektor lain pun kandas karena sebagian besar
kekuatan politik di parlemen tidak setuju.
Situasi
tersebut memunculkan pertanyaan akan efektivitas pemerintahan Yudhoyono. Ia
dinilai tidak mampu meyakinkan publik dan sebagian besar kekuatan politik di
parlemen. Mesin politik yang paling bisa diandalkan oleh Yudhoyono, Partai
Demokrat, terbukti gagal memenangi pertarungan di parlemen.
Mengutip
studi Juan Linz dan Arturo Velenzuela di Amerika Latin, Hanta Yuda AR
menulis, presidensialisme yang diterapkan di atas struktur politik
multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan
parlemen. Ketimbang parlementarisme yang dipadukan dengan multipartai atau
presidensialisme yang dipadukan dengan sistem dwipartai, kombinasi
presidensialisme dan multipartai seperti di Indonesia lebih mendorong
hubungan eksekutif dan legislatif menjadi deadlock. Pemerintahan pun dapat
menjadi tidak efektif (Presidensialisme Setengah Hati, 2010).
Efektivitas
pemerintahan di bawah Yudhoyono bukan hanya terkait dinamika koalisi
pendukung pemerintah di parlemen. Di internal kabinet yang diisi menteri dari
beragam latar belakang partai, soliditas dan loyalitas kabinet juga acap kali
dipertanyakan publik. Dalam beberapa rapat kabinet, Presiden justru meminta
agar menteri fokus pada tugas-tugas kementerian.
Presiden
memang tidak bisa melarang menterinya berpolitik, khususnya menjelang Pemilu
2014. Loyalitas menteri yang berlatar parpol diuji pada tahun-tahun menjelang
pemilu. Bahkan, loyalitas menteri yang tak berlatar parpol, tetapi dinilai
sering bermanuver politik, juga diuji menjelang pemilu.
Staf
Khusus Presiden Bidang Informasi dan Komunikasi Heru Lelono bahkan
menyatakan, Presiden akan lebih sering mengingatkan menterinya untuk lebih
fokus dan memberikan kinerja terbaik di akhir pemerintahan.
Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya, isu yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan
penegakan hukum masih menjadi tantangan terbesar bagi Yudhoyono pada 2012. Ia
dinilai kurang melakukan ”intervensi positif” yang bermanfaat bagi percepatan
pemberantasan korupsi. Ketegangan antara Polri dan KPK akibat penanganan
kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri merupakan contoh.
Ketegangan
di antara kedua lembaga penegak hukum itu melebar menjadi tekanan publik yang
cukup masif untuk meminta Presiden memberikan sinyal tentang ”siapa harus
melakukan apa”. Situasi itu berkembang sedemikian rupa sehingga berpotensi
besar dapat menjadi tekanan politik serius kepada Presiden. Ketika Yudhoyono
memberikan pernyataan, situasi pun mereda.
Beberapa
orang yang sangat dekat dengan Presiden menceritakan, Yudhoyono sebelumnya
enggan memberikan sinyal tentang ”siapa harus berbuat apa” karena ia
berkeyakinan, sekadar sinyal sekalipun merupakan bentuk intervensi yang akan
merusak sistem demokrasi. Namun, situasi konkret tampaknya menuntut hal yang
berbeda.
Kombinasi
isu korupsi dan pemerintahan yang efektif dihadapi Yudhoyono ketika
Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyampaikan bahwa banyak praktik kongkalikong
masih terjadi antara pejabat kementerian dan anggota DPR. Sebelumnya,
Presiden hingga 13 kali mengingatkan kabinetnya mengenai praktik kongkalikong
yang harus dihindari.
Langkah
Dipo melaporkan dugaan kongkalikong di sejumlah kementerian ke KPK mendapat
apresiasi. Namun, di sisi lain, langkah itu menimbulkan pertanyaan, mekanisme
pengawasan/ pencegahan internal macam apa yang ada di tubuh kementerian
sehingga pemerintah sampai harus mengadu ke KPK?
Praktik
dugaan korupsi dan kongkalikong di kementerian pada periode kedua
pemerintahan Yudhoyono patut mendapat sorotan tajam. Kasus terakhir, dugaan
korupsi Hambalang, menjadi tantangan paling berat bagi Yudhoyono. Orang dekat
Yudhoyono sejak menjadi presiden pada 2004, Andi A Mallarangeng, ditetapkan
sebagai tersangka.
Manuver
politik yang dilakukan pejabat dari parpol, entah itu untuk mendapatkan
keuntungan material atau pencitraan di publik demi 2014, besar kemungkinan
kian marak pada tahun depan. Persoalan efektivitas pemerintahan pun kembali
mencuat. Tentu saja cara mengatasinya tidak cukup lewat imbauan yang
diberikan Yudhoyono. (A Tomy Trinugroho/C Wahyu Haryo
PS) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar