Selasa, 18 Desember 2012

DPR, Cermin Kusam Demokrasi


Laporan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum
DPR, Cermin Kusam Demokrasi
KOMPAS, 17 Desember 2012



Kamis (6/12), Ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat M Prakosa mengumumkan, empat anggota DPR melanggar etika. Keputusan ini antiklimaks dari kasus dugaan permintaan jatah ke sejumlah badan usaha milik negara, yang pertama kali dibuka Menteri BUMN Dahlan Iskan. Disebut antiklimaks karena BK DPR menyatakan tidak mendapat cukup bukti dari kasus yang diharapkan dapat dijadikan momentum bersih-bersih di DPR.
Akibatnya, dari empat anggota DPR yang diputus melanggar etika, dua orang, yaitu Idris Laena (Fraksi Partai Golkar) dan Sumaryoto (Fraksi PDI-P), ”hanya” mendapat sanksi tingkat sedang, pindah komisi dan dilarang duduk di Badan Anggaran DPR. Dua lainnya, Achsanul Qosasi (Fraksi Partai Demokrat) dan Zulkifliemansyah (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), mendapat teguran tertulis.
Dalam putusannya, BK DPR bahkan merekomendasikan agar pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya, meminta Presiden menegur Dahlan agar lebih hati-hati mengeluarkan isu publik yang belum jelas bukti dan duduk masalahnya.
Di sisi lain, kasus Dahlan ini juga menunjukkan bahwa membongkar ”permainan” di DPR tidaklah mudah. Mekanisme yang rapi disertai besarnya kekuasaan lembaga legislatif membuat upaya membuka permainan di lembaga itu dapat berbalik menyerang diri sendiri.
Namun, permainan di DPR diyakini tetap marak terjadi. Ini terlihat dari sejumlah kasus yang terbongkar meski belum tuntas. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, Oktober lalu divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Politisi berusia 31 tahun itu terbukti terlibat suap untuk mengurus dana penyesuaian infrastruktur daerah dan kasus tindak pidana pencucian uang.
Partai Demokrat selama 1,5 tahun terakhir juga cukup direpotkan dengan dugaan korupsi dalam proyek wisma atlet untuk SEA Games di Palembang dan proyek kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, yang melibatkan sejumlah kader mereka di pemerintahan dan DPR.
Dari sejumlah kasus yang terungkap, anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR, Eva Kusuma Sundari, melihat bahwa kasus-kasus itu umumnya punya pola yang sama, yakni karena kongkalikong DPR, pemerintah, dan kontraktor. Namun, DPR menjadi pihak yang paling rusak citranya dalam praktik kongkalikong ini. Beberapa kasus yang menimpanya membuat DPR beberapa kali dipersepsikan sebagai lembaga terkorup dan sumber utama korupsi di negeri ini.
”DPR memang seperti akuarium, apa yang terjadi di dalamnya mudah terlihat dari luar. Ini berbeda dengan lembaga lain seperti pemerintah,” ujar Eva.
Politik Biaya Tinggi
Mahalnya biaya politik selalu dituding sebagai salah satu penyebab utama maraknya praktik korupsi di DPR. Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III, mengatakan, untuk kampanye Pemilu Legislatif 2014, setiap calon utama atau yang diperkirakan lolos ke Senayan membutuhkan dana sekitar Rp 2 miliar.
Padahal, kebutuhan sehari-hari seorang anggota legislatif sudah amat besar. Seorang anggota DPR harus membayar iuran partai dan aktif menyumbang jika partai ada kegiatan. Proposal permintaan bantuan dari konstituen juga selalu mengalir dan tidak dapat dibiarkan. Pendapatan resmi anggota DPR sekitar Rp 60 juta tiap bulan diyakini sering kali tidak cukup memenuhi berbagai kebutuhan itu.
”Praktik politik Indonesia memang dekat dengan uang. Dukungan umumnya didapatkan secara instan dan sangat transaksional. Ada uang abang didukung, tidak ada uang abang ditendang,” kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy.
Di sisi lain, besarnya kekuasaan DPR saat ini membuat ”mencari uang” di lembaga itu tidak sulit selama memiliki jaringan dan memahami lingkungan. Semua fungsi DPR, baik di bidang pengawasan, anggaran, maupun legislasi, jika mau dan mampu dapat ditransaksikan.
”Mereka yang paham, ibaratnya ketika melihat sebuah pilar di kompleks parlemen, sudah tahu apa yang harus ditransaksikan. Namun, mereka yang tidak paham atau menolak bermain, dan itu masih ada, dapat tidak mendapat apa-apa meski barangnya sudah amat jelas,” ujar Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari Fraksi PDI-P.
Kondisi ini yang menjadi salah satu sebab jabatan sebagai anggota legislatif tetap menarik diperebutkan meski menyadari untuk itu dibutuhkan biaya politik tidak murah. Pasalnya, insentif kekuasaan dan finansial yang didapat dari posisi itu secara umum tetap jauh lebih besar dibanding ”bayaran” yang harus diberikan.
Harga yang harus dibayar dari mahalnya biaya politik dan berbagai permainan di lembaga legislatif menjadi amat mahal. Banyaknya politisi yang diproses hukum karena terbukti terlibat korupsi hanya sebagian kecil dari harga tersebut.
Kehilangan Roh
Demokrasi sebagai jalan pembangunan rasionalitas politik berdasarkan prinsip keterbukaan, transparansi, dan ketepercayaan kehilangan roh. Sebab, di dalam pasar gelap politik tak ada lagi prinsip kepercayaan.
Sebagian besar dari bayaran itu terletak di praktik politik yang penuh transaksi di ruang-ruang gelap. Kebijakan diambil bukan karena pertimbangan rasional atau kemaslahatan publik, melainkan kepentingan sejumlah pihak yang mampu membelinya. Fungsi representasi dimanipulasi dan otoritas kekuasaan disalahgunakan.
Pada saat yang sama, saling ancam dan sandera juga terjadi di kalangan politisi karena banyak pihak memiliki celah dan kelemahan. Keadaan itu juga dapat memunculkan kartel politik untuk melindungi kepentingan masing-masing. Misalnya, disinyalir ada tim anggota DPR lintas fraksi yang sering dituding dapat mengatur agenda dan permainan di komisinya. Kondisi ini tidak hanya membuat praktik politik berikut lembaga dan aktor di dalamnya semakin tidak dipercaya dan tidak dihormati oleh rakyat, tetapi juga membuat proses demokratisasi terancam kehilangan roh, substansi, dan makna.
Tak ada kata terlambat untuk perbaikan. Parpol, lembaga legislatif, dan pilar demokrasi lain tak boleh dibiarkan makin terasing dan terjebak dalam kegelapan. Rasa lelah dan putus asa untuk mengingatkan mereka tidak boleh terjadi. Tahun 2013, yang banyak disebut sebagai tahun politik, semoga jadi momentum perbaikan yang lebih serius. (M HERNOWO) ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar