Di Balik
Dinding Istana
Febri Diansyah ; Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum ICW
|
KOMPAS,
13 Desember 2012
"Mendorong
tronton mogok”. Terasa sangat sulit mengharap ketegasan
dan keseriusan pemerintahan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi.
Mari kita lihat sikap Presiden terhadap
kembali bergejolaknya relasi KPK-Polri setelah KPK menyidik indikasi korupsi
di Korps Lalu Lintas Polri. Awalnya, pada pidato 8 Oktober 2012 kita mulai
menemukan ketegasan sikap Presiden. Namun, sayang, pidato itu jadi terkesan
tak berwibawa ketika dalam realita masih ditemukan pergesekan berkepanjangan
Polri dan KPK. Sebutlah gugatan Korlantas Polri terkait penyitaan alat bukti,
penarikan penyidik yang sedang menangani kasus korupsi, dan bahkan proses
kriminalisasi terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang belum berhenti
hingga kini. Di mana Presiden SBY?
Dinding Istana
Salah satu persoalan yang disinggung dalam
pidato 8 Oktober adalah tarik-menarik penyidik KPK yang bertugas di Polri.
”Saya akan segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang tepat, baik untuk
KPK dan kemudian juga baik untuk Polri”, demikian diungkapkan Presiden.
Peraturan dimaksud adalah PP No 63/2005 tentang SDM KPK. Presiden ingin merevisi
sejumlah pasal. Dua bulan berselang, revisi PP yang dijanjikan tak kunjung
ada.
Yang terjadi justru tarik-menarik di
tingkat kementerian. Kementerian PAN keberatan dengan perpanjangan masa tugas
pegawai dan penyidik KPK. Angka 8 tahun sebagai masa tugas maksimal sempat
muncul dari seorang utusan kementerian ke KPK, seperti diungkapkan seorang
pemimpin KPK di media massa.
Padahal, tanpa direvisi pun masa tugas
maksimum pegawai KPK di PP 63 sudah 8 tahun. Dan, jika ini sempat terjadi,
KPK akan lumpuh. Betapa tidak, 45 pelaksana tugas selain polisi dan jaksa
akan berhenti dari lembaga ini. Padahal, mereka orang-orang andal yang
bertugas di bagian pengaduan masyarakat, penyelidikan, dan bagian sentral
lain di KPK.
Hingga akhir 2012, KPK mengungkapkan setidaknya
31 penyidik KPK telah ditarik Mabes Polri dan 13 lain terancam ditarik. Jika
ini terus terjadi, sementara Presiden tetap ”bersembunyi” di balik dinding
istana, niscaya Maret 2013 KPK akan kehabisan penyidik dari Polri. KPK akan
lumpuh. Koruptor akan bersorak-sorai.
Padahal, KPK sedang memulai penyidikan
skandal dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun, indikasi korupsi Hambalang
dengan proyek Rp 2,5 triliun dengan tersangka terbaru menteri aktif dari
Partai Demokrat, proyek pengadaan Al Quran yang menjerat politisi Golkar,
sederet kasus mantan Bendahara Demokrat, Nazaruddin, mafia anggaran, dan
kasus lain.
Hal itu tentu tak boleh dibiarkan. Ada dua
hal yang harus dilakukan KPK. Pertama, memperjuangkan 28 penyidik yang alih
status jadi pegawai tetap KPK dan kedua, mengangkat penyidik KPK di luar
polisi dan jaksa. Dua tugas berat KPK ini tentu akan menghadapi perlawanan
dari pihak yang tak ingin KPK kuat.
Untuk poin pertama, sikap Presiden tampak
mendua. Selain revisi PP No 63 ternyata tak mengatur lebih lanjut alih tugas
ini, dukungan politik terhadap 28 penyidik yang telah diangkat menjadi
pegawai tetap KPK pun nyaris tak terdengar. Presiden cenderung kompromistis
dengan mengatakan, ”Saya akan lakukan hal yang baik untuk KPK, baik juga
untuk Polri.” Sebuah utopia ketika ada indikasi perlawanan balik saat KPK
menangkap seorang jenderal dalam kasus dugaan korupsi.
Padahal, aturan hukum di Pasal 7 PP No
63/2005 jelas mengatur. Pegawai negeri yang dipekerjakan, termasuk penyidik
Polri dapat beralih status menjadi pegawai tetap KPK, dan jika mereka sudah
diangkat, ia diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Artinya? Menjadi
kewajiban Polri memberhentikan dengan hormat penyidik itu dan mereka bisa
bertugas maksimal di KPK. Kita tahu, Polri menolak patuh pada PP No 63 dengan
alasan, para penyidik harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Apa dasar
hukumnya? Tak jelas.
Alih Status
Selain PP No 63/2005, ada dua aturan lain
yang patut ditinjau, yaitu PP No 15/2001 yang diubah tiga kali menjadi PP No
8/2010 tentang Pengalihan Status Anggota TNI dan Anggota Polri menjadi PNS
Jabatan Struktural; dan PP No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Dua
aturan hukum itu yang sering dikutip para petinggi Polri terkait alih status
penyidik KPK.
Dengan membandingkan ketiga peraturan,
ternyata yang berlaku dalam kasus ini hanya PP No 63/2005 tentang SDM KPK.
Sebab, memang peraturan ini satu-satunya yang membahas KPK, sementara dua
lainnya tidak. PP No 15/2001 tentang Alih Status Anggota Polri tak bisa
menjangkau KPK karena yang dapat beralih status adalah anggota Polri untuk
jabatan struktural. Penyidik di KPK tak termasuk jabatan struktural
sebagaimana dijelaskan PP No 100/2000 yang mengatur khusus pengangkatan PNS
dalam jabatan struktural. Pegawai KPK bukan PNS. Apalagi, KPK tak termasuk 10
instansi sipil yang disebut oleh perubahan ketiga PP Alih Status Polri dan
TNI itu.
Bagaimana dengan PP No 1/2003 tentang
Pemberhentian Anggota Polri? Bukankah jika PP SDM KPK mengatakan penyidik
harus diberhentikan dengan hormat, konsekuensi hukumnya berlaku syarat
pemberhentian di PP No 1/2003 ini? Tidak. Pertama, ruang lingkup alasan
pemberhentian dengan hormat di PP ini hanya empat, salah satunya yang paling
dekat adalah alasan ”pertimbangan khusus kepentingan dinas”. Dari uraian Pasal
7 PP No 1/2003, ini tak bisa berlaku pada pegawai KPK. Karena pemberhentian
anggota Polri di sini adalah untuk dinas yang beralih-status jadi PNS seperti
mengacu pada PP No 15/2001. Dua peraturan ”internal” Polri ini tak berlaku
untuk alih status penyidik di KPK menjadi pegawai tetap.
Singkatnya, kausalitas ”pengangkatan
menjadi pegawai tetap KPK” di PP No 63/2005 haruslah ditempatkan sebagai
salah satu alasan khusus lain untuk pemberhentian dengan hormat. Dan, hal ini
berlaku mutatis mutandis, tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu.
Begitulah penjelasan sederhana ”kemelut
hukum” penyidik KPK dan kebutuhan nyata dukungan pemerintah terhadap kerja
KPK. Jangan sampai karena KPK sedang menangani indikasi korupsi Century dan
baru saja menetapkan kader ”kesayangan” Demokrat, Andi Mallarangeng sebagai
tersangka, ada keengganan Presiden sebagai Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat mendukung KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar