Selasa, 18 Desember 2012

Budak, Polisi dan “Bocah” Tidur


Budak, Polisi dan “Bocah” Tidur
Mohamad Sobary ;  Budayawan
SINDO, 17 Desember 2012


Penyair Lebanon, yang banyak di antara puisi-puisinya ditulis di Boston, mengguncangkan dunia hanya dengan puisi. Dia— Khalil Gibran—mungkin memang penyair agung di segala zaman. Dia pernah menulis dalam corak dialog antara dua orang. 

Orang pertama mengatakan, “Kalau kau temukan seorang budak tertidur, sedang bermimpi tentang kebebasan, biarkan dia tetap dalam tidurnya.” Orang kedua mengatakan sebaliknya: “Bangunkan dia agar dia tahu kenyataan hidup yang dihadapinya.” Kita bebas mengambil pilihan. Apa pun pilihan kita, di sana ada landasan filosofi mengenai kebebasan.Saya memilih untuk tetap membiarkannya. 

Budak, yang hidup tertindas, tak pernah boleh merasa memiliki pencapaian dalam hidup karena satu tugas selesai, bukan berarti tiba masa istirahat. Tugas dan perintah baru segera muncul, tak hentihentinya, terus-menerus. Dan boleh jadi apa yang dikerjakannya serba-tak memuaskan hati tuannya. Dalam situasi penuh penindasan seperti itu, apa salahnya bila kita membiarkannya menikmati kebebasan, biarpun itu hanya dalam mimpi? 

Kemuliaan Makna Tidur 

Patut dicatat di sini, budak tidak bisa mengadakan revolusi. Di Amerika saja, rajanya demokrasi dan hak asasi manusia—katanya—, budak menuntut hak asasinya dengan pengorbanan berdarah-darah dan Martin Luther King, pelopor terkemuka yang berteriak “I Can Not Wait” itu akhirnya ditembak, tak sekadar berdarah-darah. “Kesimpulan kita?” “Merdeka dan bebas itu dilarang.” 

Tentu saja, yang melarang itu mentalitas yang tak begitu menghargai makna kebebasan bagi umat manusia, yang semua lahir untuk bebas. Bawaan sejak lahir kita bebas. Langit memberi kebebasan itu. Tapi bumi tak berdaya ketika kebebasan itu dirampas orang-orang kuat yang tak peduli kekuatannya mengakibatkan penderitaan. Maka, menghentakkan budak yang sedang bermimpi kebebasan itu—apa pun alasan politik dan filosofinya— bagi saya merupakan sebuah kekerasan yang tak manusiawi. 

Dan itu dengan sendirinya melanggar hak asasi manusia,menurut cara hidup Amerika, katanya. Kapan budak boleh menikmati kebebasan kalau bukan dalam mimpi, suatu prakondisi politik sejati dan kenikmatan sejati sebelum kelak pada akhirnya angkat senjata dan berteriak merdeka? Budak, yang lahir turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya untuk tetap menjadi budak, tak bisa membayangkan makna kebebasan sebelum dia mengalami dan merasakan nikmatnya bermimpi tentang kebebasan. 

Cara—sekadar cara—untuk merdeka pun dia tidak tahu. Tapi mimpi, perlawanan bawah sadar itu, akan menuntunnya perlahan dan menunjukkan strategi menuju kemerdekaan. Jadi, Gibran salah jika budak yang sedang bermimpi kebebasan dalam tidurnya itu dibangunkan. Dia salah dan kejam bagi kemanusiaan yang merana dan tersia-sia dari abad ke abad itu. Di sini kita jadi tahu, tidur itu penting maknanya bagi mereka yang mendambakan kebebasan. Kita, pendeknya, tak boleh meremehkan arti tidur karena—sekali lagi bagi budak—di sana ada momentum kebebasan. 

Polisi Tidur Bekerja Efektif 

Di masyarakat kita banyak idiom tentang tidur dan lucu-lucu. Kita punya idiom “polisi tidur”. Ini sangat serius. Sekali lagi, tidur menjadi demikian penting maknanya. Siapa pun sebenarnya yang dulu menciptakan idiom “polisi tidur” itu, kelihatannya memang untuk membela polisi. “Membela polisi?” “ Ya. Membela polisi.” Percaya atau tidak, idiom itu merupakan simbol yang sangat jelas bahwa dalam keadaan tidur pun polisi tetap mengatur lalu lintas, dengan efisien. 

Di mana ada polisi tidur, di situ tak mungkin ada kendaraan kebut-kebutan. Polisi tidur bekerja dengan tenang. Di situ tentara pun taat pada polisi, biarpun sang polisi sedang tidur.Ini luar biasa. Tapi jangan ceritakan hal ini kepada orang Papua. Maknanya akan sangat berkebalikan. Konstruksi kesadaran orang Papua tentang tidur berbeda. Tidur harus berhubungan dengan sesuatu yang lain. Syahdan, ada orang Papua membonceng sepeda motor orang Jawa. 

Mereka melintasi sebuah kompleks perumahan. Terpaksa, si Jawa mengendalikan motornya dengan pelan. Dia berkata, dengan nada seperti meminta maaf: “Di sini banyak polisi tidur.” “Polisi tidur?” si Papua menegaskan. “Ya,” jawab si Jawa. “Mabukkah mereka semalam?”tanya si Papua, yang baginya, mabuk dan tidur itu memiliki hubungan kausalitas yang jelas. Tidur, seperti disebut di atas, ada hubungan dengan sesuatu,yaitu “mabuk”. 

Secara simbolik, kita mengenal jenis tidur yang merupakan perlawanan pasif, penolakan, dan sikap tak setuju pada penguasa. Perlawanan itu dilakukan oleh Komba Karna yang tak setuju sama sekali kepada kakaknya, rajanya, Dasamuka, yang berwatak durangkara. Maka, Komba Karna pun pergi menyingkir di tempat sepi untuk tidur. Dan hidupnya hanya semata tidur itu. Ibu-ibu,di dalam hampir semua rumah tangga, si ibu mengajari anak-anak untuk tidur secara tertib dan disiplin.Sesudah pekerjaan rumah selesai, anak-anak “digiring” ke tempat tidur. 

Jam sepuluh malam mereka harus sudah tidur agar jam lima pagi sudah siap menghadapi urusan sekolah. Ibu-ibu sering membujuk dan tiap malam membujuk atau menyadarkan perlunya hidup disiplin. Tapi dasar “bocah”, mereka tetap “bocah”. Kadang minta didongengi dulu baru tidur. Besok, jam dua atau tiga, sesudah pulang sekolah, mereka harus istirahat siang. Harus tidur lagi. Harus dibujuk lagi. 

Disadarkan lagi. Ini sebuah perjuangan berat bagi kaum ibu. Juga bagi ibu asrama. Jika di ruang mereka terasa sepi, jangan percaya begitu saja bahwa mereka tidur.Ada kalanya mereka “cekikian” tertahan- tahan. Artinya mereka tidak tidur. Tapi sepi sering berarti bahwa mereka diamdiam meloncat jendela dan kabur entah ke mana. Begitulah watak “bocah”. “Bocah” itu artinya bukan orang tua.

“Bocah” juga bukan pejabat. Antara mereka bertiga itu ada jarak sosial dan jarak kejiwaan yang sangat jauh. “Bocah” ingin tetap menjadi “bocah”, menjadi dirinya sendiri. Tak sudi membayangkan dirinya seperti orang tua, apalagi seperti pejabat dan berpikir dengan gaya pejabat. Tidak mungkin akan ada sambungan kejiwaan di antara mereka. Maka, jika ada pejabat berpidato dan “bocah” tertidur, salahkan si “bocah”? 

Kita tahu, dia bosan. Si “bocah” melakukan perlawanan secara pasif dan halus. Dia tidak berteriak ”bosan”, tapi dia mencari momentum untuk memperoleh kebebasan dengan tidur. Dalam tidur, dia tidak mendengar pidato yang tak ada isinya. Dalam tidur, dia bermimpi hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Pidato hanya siksaan. 

Lagipula apa urusannya dia dengan pejabat? Dia bukan anak buah. Dia bukan pegawai kantor. Maka, pejabat yang memaksa membangunkan “bocah” yang sedang tidur, dia musuh kaum ibu. Dan melawan kodrat “bocah” untuk bebas, untuk menjadi dirinya sendiri. “Tidur kok dilarang.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar