Karut-Marut
Demokrasi
Mochtar Naim ; Sosiolog
|
KOMPAS,
30 November 2012
Almarhum Harry J Benda, profesor ilmu
politik di Yale University, ketika saya menjadi mahasiswa-peserta dalam
kuliahnya tentang ”Sejarah Perpolitikan
di Indonesia” di universitas tersebut pada pengujung 1950-an, secara
datar mengatakan bahwa di Indonesia pada dasarnya tidak ada dan tidak dikenal
yang namanya demokrasi seperti yang dikenal di dunia Barat.
Di Indonesia, sejak semula sampai era
kolonial dan era pra-kemerdekaan, malah tak ada dan tak dikenal yang namanya
hak asasi manusia dengan segala ranting dan ranggas parafernalianya dalam
sistem dan struktur pemerintahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan mereka. Yang
ada ialah feodalisme yang bersifat absolut, etatik, sentripetal, nepotik,
bahkan despotik: kekayaan negara yang kaya raya ini hanya diku- asai dan
dinikmati kelompok kecil triumvirat, yaitu kerja sama himpunan penguasa
politik sipil dan militer yang pribumi, yang berkolaborasi dengan penguasa
ekonomi, industri, dan perdagangan yang konglomerat nonpri dan kapitalis
imperialis multinasional.
Di Jawa, yang sejak dulu telah juga jadi
pusat jala dari jaringan politik dan budaya yang menguasai Nusantara ini,
yang namanya ratu atau raja itu, sifat-sifat feodalisme dengan segala
embel-embelnya itu bahkan dicantumkan dalam julukan gelar kebesaran dari
rajanya yang tidak hanya mencerminkan kekuasaan yang absolut dalam urusan
mundane-keduniaan ”hamengku buwono”, tetapi juga sakral-keagamaan ”sayyidin
panoto gomo”, yang karenanya juga menguasai seluruh kekayaan bumi dan alam
serta sekalian rakyatnya yang statusnya adalah sebagai ”abdi” atau hamba
sahaya raja.
Hubungan antara abdi dan raja adalah
hubungan hierarkis-vertikal dan top-down, sementara kepuasan tertinggi dari
seorang abdi adalah kalau dia dapat mencium kaki ratu, kiasan ataupun nyata
bagi sebuah pengabdian.
Pola M dan J
Di luar Jawa yang budayanya berpola M
(Melayu)—sementara Jawa berpola J (Jawa)—relatif mengenal demokrasi tetapi
ti- dak secara individual egosentrik seperti di Barat, tetapi
komunal-kolektif-sentrifugal. Karena itu, hak asasi manusia tidak juga
dikenal secara individual egosentrik, tetapi komunal-kolektif sentrifugal.
Arti harfiah ”rakyat” itu sendiri tidak individual-egosentrik, tetapi
komunal-kolektif-sentrifugal itu.
Sifat ideal raja, meski berkuasa, adalah ”Raja adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah”. Jadinya, populis, tidak absolut. Yang diutamakan adalah right
’nan benar’, bukan might ’nan kuat, kekuasaan’ karena right is might. Dalam demokrasi di Barat dan dalam demokrasi di
dunia perpolitikan di Indonesia yang mencontoh ke Barat sekarang ini might is right. Ujung-ujungnya, semua
ditentukan kekuasaan yang dapat dibeli dengan uang. Budaya material pada
gilirannya juga menganakkan watak yang permisif dan koruptif sehingga nyaris
tak ada yang tak mungkin.
Varian budaya M kebetulan memadu secara sintetis
antara budaya adat yang si- fatnya lokal dan regional, di samping
komunal-kolektif-sentrifugal, dengan unsur syariah dari teologi Islam dengan
adagium: ABS-SBK ’Adat bersendi syarak,
syarak bersendi kitabullah’. Varian budaya M menempatkan adat di bawah
supremasi syarak juga dengan patokan adagium: ”Yang baik dari mana pun datangnya dipakai, yang buruk dari mana pun
pula datangnya dibuang”.
Budaya M yang sintetik-universal ini juga
dipakai di seluruh dunia Melayu yang mencakup Malaysia di Semenanjung; Patani
di Siam; Serawak, Brunei, dan Sabah di Borneo; dan Moro di Filipina. Di Indo-
nesia sendiri varian budaya M terimpit oleh varian budaya J karena kalah
dalam persaingan hegemoni dan kalah kuat.
Varian budaya J di Jawa, kendati secara
etnografis adalah juga etnik Melayu, orientasi budayanya adalah sinkretik,
bukan sintetik seperti di kawasan budaya M di luar Jawa itu. Dalam varian
budaya J, adagium yang berlaku adalah ”Sadaya
agami sami kemawon”, semua agama sama baik dan sama benarnya. Demikian
juga unsur budaya lainnya yang diperlakukan sebagai sama dan setara. Karena
itu, silakan pilih dan tak masalah kalau kawin-mawin antaragama dalam satu
trah atau keluarga yang sama.
Secara bernegara, karena semua agama diakui
sebagai setara, maka aspirasi kelompok Islam, kendati mayoritas, dan Islam
sendiri mengharuskan umatnya melaksanakan syariat Islam secara bermasyarakat
dan bernegara. Demi kesatuan dan persatuan bangsa, tidak boleh mendirikan
negara Islam atau menjadikan syariat untuk juga berlaku secara bernegara
walau hanya khusus untuk umat Islam (ingat nasib Jakarta Charter). Yang
muncul dan mendapat tempat di lingkungan penguasa adalah kelompok liberal
multikultural yang menolak konsep negara Islam dan menyatakan Pancasila
adalah final.
Citra Sinkretisme
Citra sinkretisme budaya J inilah yang jadi
tipe ideal sekaligus idealisme kenegaraan yang terpantul dalam filosofi NKRI:
Pancasila, yang memang berada di bawah atmosfer naungan budaya J atau
Kejawen. Kendati sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tak
hanya Islam sebagai agama yang murni berketuhanan Yang Maha Esa yang diakui
negara, tetapi semua agama.
Pada zaman Orde Lama, yang menolak adanya
Tuhan pun, seperti komunisme yang ateis, dibolehkan dan diberi hak dan
peluang sama untuk eksis dan berkegiatan seperti yang lain. Sederhana
alasannya: presiden pada waktu itu tak mau menunggang kuda berkaki tiga. Yang
keempatnya adalah PKI dengan komunismenya itu.
Walau pada masa persiapan dan awal
kemerdekaan aspirasi budaya M yang relatif demokratis cukup santer dan
menjiwai demokrasi yang diperjuangkan di awal kemerdekaan, begitu sistem
politik di NKRI ini berpindah tangan pada era Orde Lama ke tangan
proklamator—pendiri Republik itu sendiri, untuk menjadi presiden seumur hidup
dengan kekuasaan absolut tak terbatas, jadi Pemimpin Besar Revolusi, Bapak
Bangsa, dan seterusnya— maka demokrasi seperti yang dicita-citakan itu pun
sirna, hablur, dan meleleh.
Yang terjadi, penjungkirbalikan demokrasi
yang masih berupa bibit muda yang dicangkokkan dari luar itu. Pada zaman Orde
Lama dibabat dan sistem kekuasaan dikembalikan ke cara semula yang diwarisi
dari nenek moyang yang feodal-etatik-sentripetal-sinkretik
dan nepotik itu.
Kendati istilah teknis-yuridis-formal yang
dipakai tetap sama seperti yang dipa- kai di negara demokrasi maju dan
modern, baik di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan alat kelengkapan
formal kenegaraan lainnya, hanya botolnya yang baru. Anggur tua tadi
dimasukkan ke dalam botol baru sehingga yang tua yang sudah kedaluwarsa dan
tidak lagi terpakai di mana- mana, itu yang terpakai dan berlanjut kembali di
NKRI ini.
Ada yang Sudah Berubah?
Kecuali istilah dan jargon yang dipakai
baru itu, adakah secara fundamental yang sudah berubah di NKRI, baik politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya dari perjalanan sejarah bangsa dan Tanah Air
yang sudah panjang ke belakang itu?
Jawabnya, secara teknis tentu saja ada.
Kita termasuk suku bangsa di dunia ini yang ikut menikmati kecanggihan sains
dan teknologi sehingga kita ikut menikmati manfaat kemajuan sains dan teknologi
yang luar biasa itu. Namun, kitakah atau mereka yang membikinnya? Kita
ternyata hanyalah suku bangsa yang lebih suka membeli barang jadi daripada
membikin sendiri. Kita lebih suka menerima daripada memberi. Dan kita adalah
pangsa pasar yang besar dengan 240-an juta penduduk, tetapi kita pula yang
lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri.
Mungkin karena faktor geografis, karena
iklim atau zona khatulistiwa yang tongkat ditanam pun bisa tumbuh, unsur
budaya malas dan segan berjerih payah ada di sana. Dengan tanahnya yang
subur, udaranya yang berawan, dan langitnya yang suka menurunkan hujan,
dengan iklim tropis, Indonesia telah menjadi incaran dunia kapitalis dari
Barat dan Timur untuk menguasainya sejak dari sekian abad yang lalu sampai
hari ini.
Dengan menguasai ekonomi sekaligus sumber
daya alamnya, dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan udara, penguasaan
politik, sosial, dan budaya menjadi menurun. Itu persis yang para
kapitalis-im- perialis mancanegara itu lakukan. Dari du- lu sejak zaman para
penjajah dari Barat —Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda—dan secara tak
langsung juga Amerika, Jepang, Korea, China sekarang lakukan. Malah,
Indonesia sekarang ini telah masuk ke dalam kawasan emporium ekonomi China,
yang dari sono semua dikendalikan.
Pertanyaannya, sekali lagi, apa yang telah
berubah? Yang jelas kita tetap jadi obyek, bukan subyek. Kita dikendalikan,
bukan mengendalikan. Kita diatur, bukan mengatur diri sendiri. Kemerdekaan
kita karenanya adalah kemerdekaan semu. Kelihatannya merdeka, tetapi tidak
atau belum merdeka walau sudah 67 tahun merdeka. Boleh dikatakan di semua
bidang kehidupan! Demokrasi yang kita bangga-banggakan itu adalah juga
demokrasi semu: pseudo democracy.
Kelihatannya seperti kita yang mengelola sendiri, sementara kita dikelolakan
ataupun dikendalikan. Makanya, pemilu yang juga kita lakukan setiap kali
sebagai syarat berdemokrasi kita hanya membuang duit yang hasil bersihnya
kembali ke tangan kelompok triumvirat tadi.
Yang rakyat? Hanya datang sebentar ke kotak
suara, membawa jari bertinta pulang, lalu mengulangnya kembali sekali lima
tahun. Selebihnya tinggal urusan mereka para wakil rakyat yang terhormat yang
lolos terpilih dan bermain demokrasi seperti yang diinginkan oleh kelompok
triumvirat yang bekerja sama menjalankan roda kendali negara ini di semua
bidang kegiatan dan kehidupan.
Yang rakyat? Tetaplah tinggal jadi rakyat
yang dikendalikan dan hidup seperti sediakala yang dibalut kemiskinan dan
keterbelakangan seperti selama ini.
Dengan ukuran perhitungan Bank Dunia
bahwa mereka yang tergolong ke dalam penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan
kurang dari 2 dollar AS (Rp 20.000) per hari, maka lebih dari separuh
penduduk Indonesia yang 240-an juta itu masih tergolong ke dalam penduduk
miskin. Statistik kemiskinan di Asia Tenggara memperlihatkan bahwa rakyat
Indonesia tergolong ke dalam kelompok penduduk yang termiskin.
Demokrasi yang artinya adalah ”keku- asaan
di tangan rakyat”, tetapi yang terjadi adalah bahwa kekuasaan itu ada di
tangan kelompok triumvirat yang bekerja sama secara hangat dan saling
menguntungkan. Dan mereka itu, sekali lagi, adalah: (1) para penguasa negara,
sipil maupun militer, di pusat sampai ke daerah, yang etnik pribumi; (2) para
konglomerat China yang merupakan 0,8 persen penduduk tetapi menguasai 80
persen kekayaan nasional, yang menguasai jalur ekonomi dari hulu sampai ke
muara, di darat, laut, dan udara; (3) para kapitalis multinasional yang
menguasai sumber daya alam Indonesia yang tersembunyi di bawah permukaan bumi
persada dan di atasnya.
Ketiga kelompok triumvirat yang bekerja
sama secara erat dan mesra inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia dan
yang memungkinkan yang lain-lain juga berjalan.
Yang rakyat? Yang rakyat menunggu godot
yang tidak kunjung keluar dari persembunyiannya untuk terhindar dari
malapetaka berkepanjangan yang tidak diinginkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar