Rabu, 05 Desember 2012

Bila Polisi Minta Duit


Bila Polisi Minta Duit
Budi Hatees ;  Pengamat Masalah Kepolisian, Peneliti di Matakata Institute
KORAN TEMPO, 04 Desember 2012


Salut kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno. Ia meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. "Dana itu," kata Putut seperti dikutip media massa, "untuk operasional lapangan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang sifatnya sosial."
Sungguh, hampir tak pernah terdengar ada pimpinan Polri di daerah yang meminta dana secara terus terang kepada pemerintah daerah. Meskipun tak sedikit dana APBD yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan Polri, biasanya hal itu disampaikan secara diam-diam, sehingga transparansinya kurang diketahui.
Publik baru tahu setelah kepala daerah menguraikan dalam laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan APBD, bahwa ada dana APBD yang dialokasikan buat kegiatan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang memposisikan Polri sebagai pengguna dana tersebut. Laporan kepala daerah yang seperti ini biasaanya melahirkan pertanyaan: bukankah dalam APBN sudah dianggarkan dana untuk Polri?
Memang, anggaran Polri dalam APBN sesuai dengan surat edaran Menteri Keuangan tentang alokasi anggaran untuk kementerian negara/lembaga. Penggunaan anggaran itu pun sudah jelas alokasinya, termasuk untuk ragam kegiatan di lingkungan Polda, Polres, sampai Polsek. 
Setiap Polda, tergantung pada tipe Polda masing-masing, memiliki besaran anggaran yang sudah ditetapkan. Namun pada dasarnya anggaran itu dialokasikan untuk gaji personel Polri, pegawai negeri, dan ragam kegiatan yang berkaitan dengan visi, misi, tugas, dan tanggung jawab Polri sebagai lembaga negara. Termasuk juga untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti program yang disebutkan Kapolda Metro Jaya tersebut.
Meski begitu, apa yang disampaikan Kapolda Metro Jaya ini mesti disikapi secara logis. Inilah realitas yang dihadapi Polri saat ini, senantiasa kekurangan duit untuk operasional kegiatan-kegiatannya. Sekalipun ada alokasi dana dari APBN berupa DIPA Polri, tetap saja kurang untuk kebutuhan dana operasional personel Polri di lapangan. Penyebabnya, kegiatan-kegiatan Polri di lapangan acap tak terduga, jauh dari gambaran yang dibuat saat pagu DIPA Polri ditetapkan. 
Banyaknya peristiwa tak terduga yang dihadapi Polri menuntut pemakaian dana cukup besar, sehingga alokasi dana yang sudah ditetapkan membengkak. Misalnya, operasional yang harus dilakoni Direktorat Reserse Kriminal, yang acap berhadapan dengan kasus-kasus baru dan penyelesaiannya tak bisa ditunda. Begitu juga dengan Direktorat Brigadir Mobil (Brimob) yang kerap harus mempersiapkan Pasukan Anti-Huru-hara (PHH) secepatnya guna mengantisipasi terjadinya huru-hara. 
Hal ini menunjukkan bahwa Polri membutuhkan cadangan dana untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa insidental. Apalagi bila peristiwa itu menuntut tindakan cepat dari Polri untuk melakukan olah tempat kejadian perkara. Maka, yang dibutuhkan bukan hanya tambahan dana operasional, tapi juga tambahan personel di lapangan. Tak jarang Polri bagai berhadapan dengan masalah yang bak makan buah simalakama, harus membuat skala prioritas dalam menyelesaikan sebuah perkara hukum, sehingga memberi kesan seakan-akan lembaga penegak hukum ini melakukan "tebang pilih".
Kembali pada soal Kapolda Metro Jaya meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta. Harus diakui, tanpa permintaan ini sudah seharusnya kepala daerah mengalokasikan dana APBD untuk Polri sebagai stake holder pemerintah daerah dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Meski begitu, penggunaan dana APBD tersebut harus mengutamakan kaidah transparansi, sehingga nilai guna dan hasil guna dari penggunaan dana APBD itu bisa diukur dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat.
Namun, bila dikaitkan dengan rencana Kapolda Metro Jaya dengan meluncurkan program Babinkamtibmas di lingkungan masyarakat Kota Metropolitan Jakarta, ada baiknya dipikirkan kembali. Pasalnya, Polda Metro Jaya akan dihadapkan pada realitas institusi Polri yang sedang menghadapi persoalan minimnya personel Polri. 
Saat Rapat Pimpinan Polri digelar pada 17 Januari 2012, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan anggota Polri saat ini baru mencapai 387.470 personel. Jumlah itu jauh dari ideal berdasarkan standar perbandingan internasional yang seharusnya 610.533 orang. Dengan jumlah personel seperti itu, rasionya satu orang polisi bertugas melindungi lebih dari 600 warga. Dengan catatan, rasio 1:600 berlangsung dalam situasi normal.
Rasio 1:600 itu berlaku juga di lingkungan Polda Metro Jaya. Bisa dibayangkan betapa repotnya seorang anggota Polri mengawasi 600 warga Kota Metropolitan Jakarta dalam satu hari. Belum lagi bila kita mengkalkulasi luas wilayah kerja dari 600 warga yang harus dilindungi seorang polisi, dan dikonversi menjadi dana operasional. Bukan mustahil, sebagian besar dana APBD DKI Jakarta akan tersedot untuk kelancaran program Babinkamtibmas Polda Metro Jaya ini. 
Di samping itu, seluruh personel Polda Metro Jaya, terutama para brigadir, akan fokus untuk kelancaran program Babinkamtibmas ini, sehingga berbagai peristiwa yang sifatnya insidental bisa terabaikan. Alhasil, di satu sisi Polda Metro Jaya akan sukses dengan program pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi di sisi lain akan keteteran untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa insidental yang sering terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Karena itu, solusi yang paling tepat bagi Polda Metro Jaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat adalah mengupayakan agar masyarakat berperan aktif dan berpartisipasi. Ada baiknya Polda Metro Jaya lebih mengefektifkan peran Direktorat Bimbingan Masyarakat untuk membangun kembali kapital-kapital sosial masyarakat Kota Metropolitan Jakarta yang tercerabut dari ranah budayanya. 
Sudah umum diketahui bahwa masyarakat Kota Metropolitan Jakarta didominasi masyarakat modern yang berasal dari sejumlah daerah di Nusantara. Di daerah asalnya, mereka memiliki kapital-kapital sosial yang acap dibangun dan ditumbuhkan dalam pergaulan sosial di Kota Metropolitan Jakarta. Kapital-kapital sosial itu memiliki daya rekat yang kuat, sehingga kohesivitas warga yang berasal dari lingkungan budaya yang sama akan sangat kuat. 
Masyarakat seperti inilah yang memberikan dukungan penuh atas kemenangan pasangan Joko Widodo-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Masyarakat konstituen ini sangat mencintai Jokowi-Ahok, dan pasti Pemda DKI Jakarta akan sangat memperhatikan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan masyarakatnya dengan menggelontorkan program-program kerja untuk merawat komunitas-komunitas tersebut. 
Polda Metro Jaya bisa juga mensinergikan program Babinkamtibmas tersebut dengan program-program yang dirancang Pemda DKI Jakarta terkait dengan visi dan misi yang sama, sehingga kemitraan Polri dan Pemda DKI Jakarta bisa lebih diperkuat. Kemitraan antara Pemda DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya adalah kunci utama terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar