Bila Polisi
Minta Duit
Budi Hatees ; Pengamat Masalah Kepolisian, Peneliti di Matakata
Institute
|
KORAN
TEMPO, 04 Desember 2012
Salut kepada
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno.
Ia meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk pembinaan
keamanan dan ketertiban masyarakat. "Dana itu," kata Putut seperti
dikutip media massa, "untuk operasional lapangan Bintara Pembina
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang sifatnya
sosial."
Sungguh,
hampir tak pernah terdengar ada pimpinan Polri di daerah yang meminta dana
secara terus terang kepada pemerintah daerah. Meskipun tak sedikit dana APBD
yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan Polri, biasanya hal itu disampaikan
secara diam-diam, sehingga transparansinya kurang diketahui.
Publik baru
tahu setelah kepala daerah menguraikan dalam laporan pertanggungjawabannya
atas penggunaan APBD, bahwa ada dana APBD yang dialokasikan buat kegiatan
pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang memposisikan Polri sebagai
pengguna dana tersebut. Laporan kepala daerah yang seperti ini biasaanya
melahirkan pertanyaan: bukankah dalam APBN sudah dianggarkan dana untuk
Polri?
Memang,
anggaran Polri dalam APBN sesuai dengan surat edaran Menteri Keuangan tentang
alokasi anggaran untuk kementerian negara/lembaga. Penggunaan anggaran itu
pun sudah jelas alokasinya, termasuk untuk ragam kegiatan di lingkungan
Polda, Polres, sampai Polsek.
Setiap Polda,
tergantung pada tipe Polda masing-masing, memiliki besaran anggaran yang
sudah ditetapkan. Namun pada dasarnya anggaran itu dialokasikan untuk gaji
personel Polri, pegawai negeri, dan ragam kegiatan yang berkaitan dengan
visi, misi, tugas, dan tanggung jawab Polri sebagai lembaga negara. Termasuk
juga untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti program yang
disebutkan Kapolda Metro Jaya tersebut.
Meski begitu,
apa yang disampaikan Kapolda Metro Jaya ini mesti disikapi secara logis. Inilah
realitas yang dihadapi Polri saat ini, senantiasa kekurangan duit untuk
operasional kegiatan-kegiatannya. Sekalipun ada alokasi dana dari APBN berupa
DIPA Polri, tetap saja kurang untuk kebutuhan dana operasional personel Polri
di lapangan. Penyebabnya, kegiatan-kegiatan Polri di lapangan acap tak
terduga, jauh dari gambaran yang dibuat saat pagu DIPA Polri ditetapkan.
Banyaknya
peristiwa tak terduga yang dihadapi Polri menuntut pemakaian dana cukup
besar, sehingga alokasi dana yang sudah ditetapkan membengkak. Misalnya,
operasional yang harus dilakoni Direktorat Reserse Kriminal, yang acap
berhadapan dengan kasus-kasus baru dan penyelesaiannya tak bisa ditunda.
Begitu juga dengan Direktorat Brigadir Mobil (Brimob) yang kerap harus
mempersiapkan Pasukan Anti-Huru-hara (PHH) secepatnya guna mengantisipasi
terjadinya huru-hara.
Hal ini
menunjukkan bahwa Polri membutuhkan cadangan dana untuk mengantisipasi
peristiwa-peristiwa insidental. Apalagi bila peristiwa itu menuntut tindakan
cepat dari Polri untuk melakukan olah tempat kejadian perkara. Maka, yang
dibutuhkan bukan hanya tambahan dana operasional, tapi juga tambahan personel
di lapangan. Tak jarang Polri bagai berhadapan dengan masalah yang bak makan
buah simalakama, harus membuat skala prioritas dalam menyelesaikan sebuah
perkara hukum, sehingga memberi kesan seakan-akan lembaga penegak hukum ini
melakukan "tebang pilih".
Kembali pada
soal Kapolda Metro Jaya meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta. Harus
diakui, tanpa permintaan ini sudah seharusnya kepala daerah mengalokasikan
dana APBD untuk Polri sebagai stake holder pemerintah daerah dalam menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat. Meski begitu, penggunaan dana APBD
tersebut harus mengutamakan kaidah transparansi, sehingga nilai guna dan
hasil guna dari penggunaan dana APBD itu bisa diukur dan bermanfaat untuk
kepentingan masyarakat.
Namun, bila
dikaitkan dengan rencana Kapolda Metro Jaya dengan meluncurkan program
Babinkamtibmas di lingkungan masyarakat Kota Metropolitan Jakarta, ada
baiknya dipikirkan kembali. Pasalnya, Polda Metro Jaya akan dihadapkan pada
realitas institusi Polri yang sedang menghadapi persoalan minimnya personel
Polri.
Saat Rapat
Pimpinan Polri digelar pada 17 Januari 2012, Kapolri Jenderal Timur Pradopo
mengatakan anggota Polri saat ini baru mencapai 387.470 personel. Jumlah itu
jauh dari ideal berdasarkan standar perbandingan internasional yang
seharusnya 610.533 orang. Dengan jumlah personel seperti itu, rasionya satu
orang polisi bertugas melindungi lebih dari 600 warga. Dengan catatan, rasio
1:600 berlangsung dalam situasi normal.
Rasio 1:600
itu berlaku juga di lingkungan Polda Metro Jaya. Bisa dibayangkan betapa
repotnya seorang anggota Polri mengawasi 600 warga Kota Metropolitan Jakarta
dalam satu hari. Belum lagi bila kita mengkalkulasi luas wilayah kerja dari
600 warga yang harus dilindungi seorang polisi, dan dikonversi menjadi dana
operasional. Bukan mustahil, sebagian besar dana APBD DKI Jakarta akan
tersedot untuk kelancaran program Babinkamtibmas Polda Metro Jaya ini.
Di samping
itu, seluruh personel Polda Metro Jaya, terutama para brigadir, akan fokus
untuk kelancaran program Babinkamtibmas ini, sehingga berbagai peristiwa yang
sifatnya insidental bisa terabaikan. Alhasil, di satu sisi Polda Metro Jaya
akan sukses dengan program pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi
di sisi lain akan keteteran untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa
insidental yang sering terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Karena itu,
solusi yang paling tepat bagi Polda Metro Jaya untuk menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat adalah mengupayakan agar masyarakat berperan aktif dan
berpartisipasi. Ada baiknya Polda Metro Jaya lebih mengefektifkan peran
Direktorat Bimbingan Masyarakat untuk membangun kembali kapital-kapital sosial
masyarakat Kota Metropolitan Jakarta yang tercerabut dari ranah budayanya.
Sudah umum
diketahui bahwa masyarakat Kota Metropolitan Jakarta didominasi masyarakat
modern yang berasal dari sejumlah daerah di Nusantara. Di daerah asalnya,
mereka memiliki kapital-kapital sosial yang acap dibangun dan ditumbuhkan
dalam pergaulan sosial di Kota Metropolitan Jakarta. Kapital-kapital sosial
itu memiliki daya rekat yang kuat, sehingga kohesivitas warga yang berasal
dari lingkungan budaya yang sama akan sangat kuat.
Masyarakat
seperti inilah yang memberikan dukungan penuh atas kemenangan pasangan Joko
Widodo-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Masyarakat
konstituen ini sangat mencintai Jokowi-Ahok, dan pasti Pemda DKI Jakarta akan
sangat memperhatikan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan masyarakatnya
dengan menggelontorkan program-program kerja untuk merawat
komunitas-komunitas tersebut.
Polda Metro Jaya bisa juga
mensinergikan program Babinkamtibmas tersebut dengan program-program yang dirancang
Pemda DKI Jakarta terkait dengan visi dan misi yang sama, sehingga kemitraan
Polri dan Pemda DKI Jakarta bisa lebih diperkuat. Kemitraan antara Pemda DKI
Jakarta dan Polda Metro Jaya adalah kunci utama terwujudnya keamanan dan
ketertiban masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar