Membangkitkan
Nasionalisme Pangan
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatra Utara dan Direktur Center for
National Food Security Research
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Desember 2012
AKHIR November 2012, Expo Pangan dan Gebyar
Kuliner Nusantara berlangsung di Medan. Event itu pantas dijadikan momentum
kebangkitan nasionalisme pangan karena memperkenalkan kembali budaya makan
masyarakat Sumatra Utara, manggadong (mengonsumsi ubi). Sebuah pola makan
berbasis kearifan lokal berbahan dasar ubi jalar.
Warga Sumut, khususnya dari komunitas Batak
Toba, pada zaman prakemerdekaan sangat akrab dengan ubi jalar dan ubi
singkong rebus sebagai makanan pembuka. Beberapa potong ubi rebus dikonsumsi
sebelum makan nasi. Tak mengherankan jika semua warga etnik Batak yang lahir
dan besar di bona pasogit (kampung halaman) mengetahui dan mengenal istilah
manggadong. Pasalnya, baik saat makan siang maupun malam, manggadong bisa
dinikmati bersama dengan anggota keluarga lainnya. Meski saat itu manggadong
dilakukan karena masyarakat masih mengalami kemiskinan. Jika ditelisik budaya
makan berbasis singkong ini adalah sebuah kearifan lokal yang patut diangkat
kembali guna menumbuhkan nasionalisme pangan di tengah masyarakat.
Namun setelah beras menjadi makanan pokok di
seluruh negeri, manggadong dilupakan. Mengonsumsi ubi rebus dianggap identik
dengan orang miskin dan ubi pun menjadi makanan inferior. Keterlibatan korporasi
transnasional dalam industri pangan telah menghabisi napas kearifan lokal
manggadong. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang
menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food
capitalism.
Kearifan Lokal
Persoalan pangan seharusnya tidak dimainkan
dalam irama pasar global. Sejarah telah mencatat bahwa unsur yang mampu
menjamin keberlanjutan ketersediaan pangan di tengah keluarga adalah kearifan
lokal dan keanekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal. Nenek moyang kita
telah membuktikan itu untuk penguatan kedaulatan pangan (food sovereignity).
Bahan pangan lokal mulai dari jagung, sagu, sorgum, hingga puluhan jenis
umbi-umbian tersebar di seantero negeri dengan kualitas gizi setara (bahkan
melebihi) beras.
Namun, kedaulatan pangan yang diwariskan para
leluhur perlahan tapi pasti digadaikan para pejabat negara yang punya hobi
berdagang kepada negara maju yang menganut paham ekonomi neoliberal. Kampanye
masif produk pangan olahan terigu yang dilakukan negara-negara penghasil
gandum selama 40 tahun lebih berhasil menggeser kearifan lokal ke produk
pangan global. Roti dan mi `balap' instan berbahan terigu menjadi makanan
keseharian kita. Manggadong tinggal kenangan.
Dalil Henry Kissinger `control oil and you control nations;
control food and you control the people' terus menggema sehingga sebagian
besar produk pangan dunia ada dalam genggaman Amerika Serikat. Jargon Amerika
Serikat memberi makan dunia menjadi fakta.
Di tengah kian rapuhnya kedaulatan pangan di
negeri agraris ini, Indonesia dibanjiri makanan impor. Jumlah pangan impor
sudah mencapai 70%. Total pangan impor setiap tahun meningkat dan devisa
negara yang dihabiskan pada 2011 mencapai Rp125 triliun. Devisa sebesar itu
setara dengan APBD sebuah kabupaten/kota di Indonesia selama 125 tahun. Kita
sudah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal.
Senjata Ampuh
Penjajahan secara fisik untuk mengendalikan
negara miskin sudah ditinggalkan.
Mengendalikan pangan lewat penguasaan ilmu dan teknologi pertanian menjadi senjata ampuh guna melemahkan ketahanan bangsa lain. `Food is the weapon' adalah ungkapan untuk mempertegas pentingnya posisi pangan dalam kehidupan berbangsa.
Ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang
menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia. Harga pangan menjadi
bola liar yang sulit dikendalikan, menggelinding mendominasi konstelasi dan
arsitektur geopolitik.
Persoalan utama yang acap merapuhkan pilar
ketahanan pangan adalah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang masih
tinggi. Perubahan iklim telah berdampak langsung pada penurunan produksi
pangan global di tengah pertambahan penduduk dunia yang signifikan. Solusinya
harus ditangani secara multisektoral dan holistik.
Kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan lahan
pekarangan dalam memperkokoh sumber penganekaragaman konsumsi pangan
merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan pangan. Untuk itu, beras analog
yang bahan dasarnya dari ubi jalar (bebilar=beras ubi jalar) patut mendapat
perhatian sebagai makanan pokok pendamping. Dari sejumlah hasil penelitian,
selain mayoritas pola pangan beras, masih ada dua pola pangan minoritas.
Pertama, pola beras, jagung, dan singkong di Nusa Tenggara Timur. Kedua, pola
beras, ubi, dan sagu di Maluku dan Papua.
Ditilik dari nilai gizinya, beras analog yang
sudah difortifikasi tidak kalah lagi dengan nilai gizi beras gabah. Ubi jalar
memiliki zat gizi yang baik sebagai sumber antioksidan dan memiliki indeks
glisemik rendah yang cocok untuk penderita diabetes. Pada awalnya sebagian
masyarakat pasti menolak untuk mengonsumsi beras analog. Namun dengan
sosialisasi yang baik dari aspek gizinya, produk beras analog akan bisa
diterima.
Pemerintah patut menyadari, krisis pangan yang
terjadi di beberapa negara telah menimbulkan gejolak politik yang mampu
menggulingkan rezim penguasa. Haiti, Tunisia, dan Mesir adalah serpihan
contoh. Peristiwa yang sama terjadi pada era Soeharto. Krisis ekonomi 1997
memicu langkanya bahan pangan.
Harga bahan pangan meningkat tiga kali lipat.
Belajar dari peristiwa tersebut, pemerintahan
SBY patut membangkitkan kembali nasionalisme pangan di seluruh negeri.
Tendangan bola pertama sudah dimulai dari Medan dengan mengenalkan kembali
budaya makan lokal manggadong. Di daerah lain pasti ada kearifan lokal
sejenis.
Membangkitkan kembali nasionalisme pangan kian
penting maknanya di tengah perjalanan waktu dan isyarat zaman yang
memosisikan pangan sebagai kekuatan politik. Pangan sesungguhnya identik
dengan senjata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar