Kamis, 13 Desember 2012

Membangkitkan Nasionalisme Pangan


Membangkitkan Nasionalisme Pangan
Posman Sibuea ;  Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatra Utara dan Direktur Center for National Food Security Research
MEDIA INDONESIA, 12 Desember 2012


AKHIR November 2012, Expo Pangan dan Gebyar Kuliner Nusantara berlangsung di Medan. Event itu pantas dijadikan momentum kebangkitan nasionalisme pangan karena memperkenalkan kembali budaya makan masyarakat Sumatra Utara, manggadong (mengonsumsi ubi). Sebuah pola makan berbasis kearifan lokal berbahan dasar ubi jalar.

Warga Sumut, khususnya dari komunitas Batak Toba, pada zaman prakemerdekaan sangat akrab dengan ubi jalar dan ubi singkong rebus sebagai makanan pembuka. Beberapa potong ubi rebus dikonsumsi sebelum makan nasi. Tak mengherankan jika semua warga etnik Batak yang lahir dan besar di bona pasogit (kampung halaman) mengetahui dan mengenal istilah manggadong. Pasalnya, baik saat makan siang maupun malam, manggadong bisa dinikmati bersama dengan anggota keluarga lainnya. Meski saat itu manggadong dilakukan karena masyarakat masih mengalami kemiskinan. Jika ditelisik budaya makan berbasis singkong ini adalah sebuah kearifan lokal yang patut diangkat kembali guna menumbuhkan nasionalisme pangan di tengah masyarakat.

Namun setelah beras menjadi makanan pokok di seluruh negeri, manggadong dilupakan. Mengonsumsi ubi rebus dianggap identik dengan orang miskin dan ubi pun menjadi makanan inferior. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi napas kearifan lokal manggadong. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism.

Kearifan Lokal

Persoalan pangan seharusnya tidak dimainkan dalam irama pasar global. Sejarah telah mencatat bahwa unsur yang mampu menjamin keberlanjutan ketersediaan pangan di tengah keluarga adalah kearifan lokal dan keanekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal. Nenek moyang kita telah membuktikan itu untuk penguatan kedaulatan pangan (food sovereignity).

Bahan pangan lokal mulai dari jagung, sagu, sorgum, hingga puluhan jenis umbi-umbian tersebar di seantero negeri dengan kualitas gizi setara (bahkan melebihi) beras.

Namun, kedaulatan pangan yang diwariskan para leluhur perlahan tapi pasti digadaikan para pejabat negara yang punya hobi berdagang kepada negara maju yang menganut paham ekonomi neoliberal. Kampanye masif produk pangan olahan terigu yang dilakukan negara-negara penghasil gandum selama 40 tahun lebih berhasil menggeser kearifan lokal ke produk pangan global. Roti dan mi `balap' instan berbahan terigu menjadi makanan keseharian kita. Manggadong tinggal kenangan. 

Dalil Henry Kissinger `control oil and you control nations; control food and you control the people' terus menggema sehingga sebagian besar produk pangan dunia ada dalam genggaman Amerika Serikat. Jargon Amerika Serikat memberi makan dunia menjadi fakta.

Di tengah kian rapuhnya kedaulatan pangan di negeri agraris ini, Indonesia dibanjiri makanan impor. Jumlah pangan impor sudah mencapai 70%. Total pangan impor setiap tahun meningkat dan devisa negara yang dihabiskan pada 2011 mencapai Rp125 triliun. Devisa sebesar itu setara dengan APBD sebuah kabupaten/kota di Indonesia selama 125 tahun. Kita sudah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal.

Senjata Ampuh

Penjajahan secara fisik untuk mengendalikan negara miskin sudah ditinggalkan.
Mengendalikan pangan lewat penguasaan ilmu dan teknologi pertanian menjadi senjata ampuh guna melemahkan ketahanan bangsa lain. `Food is the weapon' adalah ungkapan untuk mempertegas pentingnya posisi pangan dalam kehidupan berbangsa.
Ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia. Harga pangan menjadi bola liar yang sulit dikendalikan, menggelinding mendominasi konstelasi dan arsitektur geopolitik.

Persoalan utama yang acap merapuhkan pilar ketahanan pangan adalah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Perubahan iklim telah berdampak langsung pada penurunan produksi pangan global di tengah pertambahan penduduk dunia yang signifikan. Solusinya harus ditangani secara multisektoral dan holistik.

Kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan lahan pekarangan dalam memperkokoh sumber penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan pangan. Untuk itu, beras analog yang bahan dasarnya dari ubi jalar (bebilar=beras ubi jalar) patut mendapat perhatian sebagai makanan pokok pendamping. Dari sejumlah hasil penelitian, selain mayoritas pola pangan beras, masih ada dua pola pangan minoritas. Pertama, pola beras, jagung, dan singkong di Nusa Tenggara Timur. Kedua, pola beras, ubi, dan sagu di Maluku dan Papua.

Ditilik dari nilai gizinya, beras analog yang sudah difortifikasi tidak kalah lagi dengan nilai gizi beras gabah. Ubi jalar memiliki zat gizi yang baik sebagai sumber antioksidan dan memiliki indeks glisemik rendah yang cocok untuk penderita diabetes. Pada awalnya sebagian masyarakat pasti menolak untuk mengonsumsi beras analog. Namun dengan sosialisasi yang baik dari aspek gizinya, produk beras analog akan bisa diterima.

Pemerintah patut menyadari, krisis pangan yang terjadi di beberapa negara telah menimbulkan gejolak politik yang mampu menggulingkan rezim penguasa. Haiti, Tunisia, dan Mesir adalah serpihan contoh. Peristiwa yang sama terjadi pada era Soeharto. Krisis ekonomi 1997 memicu langkanya bahan pangan.
Harga bahan pangan meningkat tiga kali lipat.

Belajar dari peristiwa tersebut, pemerintahan SBY patut membangkitkan kembali nasionalisme pangan di seluruh negeri. Tendangan bola pertama sudah dimulai dari Medan dengan mengenalkan kembali budaya makan lokal manggadong. Di daerah lain pasti ada kearifan lokal sejenis.

Membangkitkan kembali nasionalisme pangan kian penting maknanya di tengah perjalanan waktu dan isyarat zaman yang memosisikan pangan sebagai kekuatan politik. Pangan sesungguhnya identik dengan senjata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar