Pintu Kampus
Negeri bagi Orang Daerah
Darmaningtyas ; Pengamat Pendidikan
|
KORAN
TEMPO, 07 September 2012
Kondisi perguruan tinggi negeri
yang sangat didominasi oleh orang-orang Jawa tersebut kurang bagus untuk
menumbuhkan wawasan kebangsaan maupun untuk ketahanan nasional.
Berita yang menggembirakan untuk
dunia pendidikan adalah sebanyak 749 siswa SMA/SMK sederajat dari Papua dan
Papua Barat mendapat beasiswa khusus melalui jalur affirmative action untuk
mengikuti kuliah strata satu di 32 perguruan tinggi negeri, antara lain UI,
UGM, ITB, ITS, Unair, Undip, Unpad, Unhas, dan perguruan tinggi negeri lain
yang sudah tergolong mapan. Para lulusan SMTA tersebut akan mengambil bidang
studi kedokteran, teknik sipil, teknik elektronika, ekonomi, akuntansi, dan
bidang lainnya.
Rencananya, mulai 2013, beasiswa yang sama akan diberikan
kepada siswa dari daerah khusus lain, seperti Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur
(NTT), dan Aceh. Biaya kuliah mereka yang diterima melalui jalur afirmasi itu
ditanggung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan biaya hidupnya
ditanggung oleh pemda setempat.
Kebijakan ini merupakan hal baru
yang patut diapresiasi. Saya pribadi gembira dan mendukung penuh kebijakan
affirmative action (diskriminatif positif) ini. Sebab, hanya dengan cara
semacam itu anak-anak di Papua (di dalamnya Papua Barat), Maluku Utara, NTT,
dan mereka yang tinggal di kepulauan terluar dapat kuliah di perguruan tinggi
negeri (PTN) terkemuka, yang kebetulan semuanya ada di Jawa. Hal itu mengingat
pendidikan dasar hingga menengah mereka tertinggal jauh dari pendidikan di
Jawa, sehingga mustahil mereka akan lolos masuk ke PTN-PTN terkemuka melalui
jalur undangan maupun seleksi bersama nasional. Sedangkan bila tidak sempat
kuliah di PTN-PTN terkemuka di Jawa, mustahil pula mereka dapat memperbaiki
ketertinggalan dalam pembangunan daerahnya. Di sisi lain, peran PTN terkemuka
sebagai jembatan emas kehidupan tidak dapat dinikmati oleh semua warga.
Atas dasar pengalaman semacam
itulah, penulis selalu mengingatkan pentingnya kebijakan affirmative action
untuk masyarakat yang tinggal di wilayah Indonesia timur dan di daerah
kepulauan lainnya, agar mereka dapat kuliah di PTN terkemuka. Perjuangan untuk
mengegolkan kebijakan affirmative action
ini termasuk melalui lobi kepada anggota Komisi X DPR RI dan Dirjen Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Djoko Santoso, pada saat
penyusunan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan diatur dalam UU Pendidikan Tinggi,
posisinya menjadi kuat karena mau tidak mau harus terimplementasikan.
Pada awalnya, penulis mengusulkan
satu pasal khusus untuk mengatur hak-hak mereka dari pulau tertinggal untuk
dapat kuliah di PTN terkemuka di Jawa. Tapi kompromi politiknya dalam
pembahasan RUU Pendidikan Tinggi adalah dijadikan satu dengan mereka yang tidak
mampu secara ekonomis, sehingga bunyi pasal 74 ayat (1) itu adalah: "PTN
wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik
tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
Program Studi." Cetak tebal dari penulis sebagai bukti diakomodasikannya
usulan tersebut dalam peraturan perundangan yang baru. Yang tambah
menggembirakan lagi adalah pasal tersebut langsung diimplementasikan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai Tahun Ajaran 2012/2013 ini.
Belajar dari Sejarah
Apa yang penulis usulkan itu
sebetulnya bukan hal baru, melainkan kebijakan yang pada masa lalu sudah
dilaksanakan oleh beberapa PTN terkemuka. Penulis masih punya kenangan indah
ketika 30 tahun lalu kuliah di UGM mempunyai kawan dari berbagai daerah, termasuk
dari Maluku, NTT, dan Papua. Hampir semua fakultas di UGM pada masa itu
mempunyai mahasiswa yang merupakan representasi dari seluruh kepulauan besar di
Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Papua), sehingga rasa bangga sebagai orang Indonesia itu muncul karena memang
bertemu dengan perwakilan warga dari seluruh Nusantara.
Manuel Kaisiepo, mantan Menteri
Daerah Tertinggal pada masa Presiden Gus Dur, adalah putra asli Papua yang
sempat kuliah di UGM pada dekade 1970-an. Rektor kedua UGM, Prof Dr Herman
Johanes, adalah mahasiswa Pulau Rote, NTT. Kondisi yang sama itu ditemui di
ITB, UI, dan IPB. Salah seorang ahli fisika terkemuka di ITB berasal dari
Papua. Para putra Papua dan NTT yang menjadi tokoh masyarakat atau ilmuwan
terkemuka itu adalah produk dari kebijakan pendidikan masa lalu yang adil.
Sayang, kebijakan pendidikan
tinggi yang adil dan beradab itu kemudian hilang akibat proses kapitalisasi dan
liberalisasi PTN selama satu dekade terakhir, yang menjadikan materi sebagai
dasar penerimaan mahasiswa baru. Pada 10 tahun terakhir setelah pembentukan PT
BHMN, pernah dalam kurun waktu lima tahun awal PT BHMN, beberapa PTN didominasi
oleh lulusan dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi),
karena mereka memiliki kemampuan untuk membayar tinggi.
Tapi sejak 2010, ketika
pemerintah menerapkan kebijakan bahwa mahasiswa yang diterima melalui seleksi
bersama secara nasional minimum 60 persen dari total mahasiswa baru, mulai
terjadi penyebaran asal mahasiswa baru, meski tetap didominasi oleh Jawa,
Sumatera, dan Bali saja.
Kondisi perguruan tinggi negeri
yang sangat didominasi oleh orang-orang Jawa tersebut kurang bagus untuk
menumbuhkan wawasan kebangsaan maupun untuk ketahanan nasional. Bagaimana
mungkin PTN terkemuka di Jawa berperan menumbuhkan wawasan kebangsaan,
sedangkan interelasi mereka hanya dengan sesama suku dan etnis saja? Atas dasar
itulah maka kebijakan pendidikan yang sudah terbukti baik pada masa lalu perlu
dikembangkan lagi pada saat ini.
Pertukaran Dosen
Ide affirmative action ini satu paket dengan pertukaran dosen
antarpulau, baik dari PTN terkemuka maupun PTN terbelakang. Pertukaran dosen
amat diperlukan untuk saling belajar tentang budaya yang berkembang di setiap
PTN. Bagi dosen dari PTN terkemuka, dengan mengajar di PTN terbelakang,
diharapkan mereka mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan di PTN
terbelakang. Karena itu, dosen yang dikirim ke daerah bukan sekadar ahli dalam
bidangnya, tapi juga mampu menjadi inspirasi bagi orang lain untuk bertindak
lebih baik. Sedangkan bagi dosen dari PTN terbelakang yang dikirim ke PTN
terkemuka, diharapkan mereka dapat ngangsu
kawruh (berguru) di PTN terkemuka. Dengan demikian, ketika kembali ke PTN
asalnya, mereka dapat membawa semangat perubahan untuk maju. Substansi affirmative action dan pertukaran dosen
itu adalah pemerataan kualitas PTN serta pertukaran wawasan agar memunculkan
pemahaman terhadap wawasan kebangsaan yang tinggi. Fungsi PTN sebagai jembatan
emas untuk pembangunan bangsa tetap harus dikedepankan.
Tentu saja, kebijakan affirmative action tidak boleh hanya
berhenti pada memberikan kuota saja, tapi juga memberikan bimbingan secara
khusus, baik melalui program matrikulasi sebelum masa kuliah dimulai maupun
dalam pembelajaran sehari-hari. Sebab, tanpa ada pembimbingan khusus, para
mahasiswa dari daerah terbelakang akan susah mengikuti kuliah. Sebaliknya, bila
dosen harus menyesuaikan dengan kemampuan mereka, proses belajar secara
keseluruhan dapat terhambat.
Karena itu, pembimbingan khusus
mutlak diperlukan. Pembimbingan secara khusus tersebut dapat dilakukan oleh
dosen muda atau mahasiswa senior dengan diberi insentif oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dengan fokus perhatian pada beberapa mata kuliah
pokok saja. Selebihnya didorong belajar sendiri. Betul ini sedikit ribet, tapi
itulah konsekuensi dari kebijakan pendidikan yang adil dan beradab. Sebab, bila
tidak mau ribet, kesenjangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa akan terus
terjadi, dan dampaknya kurang bagus untuk ketahanan nasional. Selain itu,
keberadaan PTN terkemuka pun bukannya berkontribusi memecahkan masalah bangsa,
sebaliknya justru menambah masalah bangsa. Sekarang dibalik: bagaimana PTN
terkemuka turut memecahkan persoalan bangsa, terutama menyangkut soal
kesenjangan sosial dan kesenjangan antardaerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar