Transit
Venus: Masa Lalu dan Abad XXI
Bambang Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 1
Juni 2012
Menyaksikan Planet Venus melintasi permukaan
cemerlang piringan Matahari sebenarnya merupakan kesempatan yang jarang. Namun,
peristiwa ini menghadirkan pemecahan dasar untuk astronomi dan ilmu pengetahuan
pada zamannya.
Abad ke-18, ketika terjadi pelintasan Venus,
untuk pertama kalinya skala jarak absolut Bumi-Matahari dan jarak benar anggota
tata surya dipatrikan dalam khazanah astronomi. Sebelum itu, para astronom
menghitung skala jarak relatif anggota tata surya berdasarkan hukum Kepler
(awal abad ke-17).
Peristiwa pelintasan Venus di depan Matahari
itu kemudian mendapat nama yang secara teknis lebih tepat: transit Venus. Pada
pelintasan Venus tahun 1761 dan 1769, skala jarak relatif anggota tata surya
dikukuhkan dengan metrik. Jarak rerata Bumi-Matahari dinamai 1 satuan astronomi
(dewasa ini 1,49 juta kilometer, dengan ketelitian 300 meter setelah
disempurnakan dengan gelombang radar).
Terima kasih kepada Sir Frederick William
Herschel, astronom kerajaan Inggris yang mengusulkan agar pelintasan Venus
dimanfaatkan untuk menghitung jarak absolut Bumi-Matahari. Caranya dengan
menerapkan perhitungan sederhana segi tiga datar, yang sudah digunakan para
juru ukur tanah selama ini.
Peristiwa Langka
Peristiwa pelintasan Venus langka karena
hanya dua kali dengan selang 8 tahun dalam satu abad. Pelintasan berikutnya
akan terjadi lebih dari 105 tahun kemudian. Abad ke-20 tak ada pelintasan
Venus, tetapi abad ke-21 ini mencatat dua kali pelintasan.
Ini berkat kejelian pandangan Kopernikus
(tahun 1543) dan perhitungan Kepler sebagai peletak hukum gerak tata surya
(1627), yang meramalkan bahwa pada waktu tertentu Venus akan tampak menyilang
garis pandang Bumi ke arah Matahari.
Pelintasan Venus dapat disaksikan pada hampir
seluruh wilayah Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, juga di Australia (sampai
kutub) dan Pasifik Barat Daya. Dimulai pada 5 Juni 2012 pukul 22.15 GMT atau
tanggal 6 Juni 2012 pukul 05.15 WIB.
Tentu saja kita yang tinggal di wilayah barat
Indonesia tidak dapat melihat sentuhan pertama karena Matahari masih di bawah
ufuk. Namun, warga di wilayah tengah dan timur Indonesia dapat menyaksikannya.
Setelah itu dalam 6 jam 40 menit noktah hitam Venus akan beringsut ke timur
hingga kemudian lepas dari piringan Matahari.
Melihat sebuah planet melintas di depan
Matahari memberi sensasi emosional. Seperti halnya saat penulis melihat
pelintasan Planet Merkurius 20 tahun lalu dengan teropong di Observatorium
Bosscha, Lembang.
Pengamatan di Batavia
Ketika elemen lintasan sudah dapat ditera
dengan baik, Edmond Halley—penemu komet periodik dengan tempo 75
tahun—mengemukakan pandangan dalam The
Philosophical Transaction (1716), bahwa dengan mengetahui koordinat dua
buah lokasi di permukaan Bumi dengan cermat, transit Venus dapat dimanfaatkan
untuk menentukan dimensi tata surya dan semesta.
Halley menyarankan pengamatan di Batavia
(Jakarta). Dia minta Akademi Ilmu Pengetahuan di Belanda dan di Batavia (sudah
ada kala itu) agar menjadikan wilayah itu sebagai salah satu tempat pengamatan
transit Venus, di samping tempat lain di belahan Bumi utara. Batavia dipilih
karena dari tempat itu peristiwa transit dapat diamati dari awal hingga akhir.
Namun, siapa yang dapat melakukan pengamatan
dengan cermat dan taat asas di Batavia? Memang kala itu Batavia sudah mempunyai
”Akademi Maritim” di bawah VOC, tetapi sayang ahli matematika dan navigasinya,
Letnan Obdem, sudah pulang ke Belanda. Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang
kebingungan meminta Kapten de Haan mengamati transit Venus bersama seorang
Pendeta Gereja Portugis, Johan Mohr.
Mohr kala itu sudah memiliki observatorium
dengan teropong laut, jam, serta kuadran. Ia memperoleh warisan dari istrinya
dan mendirikan ”istana” yang dilengkapi observatorium di seberang barat
kanal—di kemudian hari bernama Molenvliet—di jalan sebelah sidatan Ciliwung.
Estate itu pada zamannya indah dan megah.
Dikelilingi oleh gedung orang kaya dan yang terpenting, pandangannya ke arah
laut bebas dari halangan. Gedung itu punya toren, menara, yang oleh lidah
Betawi mengalami transliterasi menjadi ”torong”.
Sampai tahun 1950-an jalan itu dinamai Gang
Torong, bersebelahan dengan Gang Hauber, suatu tempat yang kurang terhormat
karena telah menjadi daerah tujuan hidung belang.
Apa pun yang terjadi di Torong dan sekitarnya
tidak mengubah sejarah bahwa Batavia telah mencatatkan diri pada komunitas
ilmiah internasional. Dari sana diperoleh data penting ”transit Venus” untuk
menentukan skala jarak dalam tata surya.
Pelajaran dari pengamatan masa itu ialah
adanya embrio kerja sama internasional yang dibangun oleh ilmuwan, raja, serta
bangsawan melintasi batas negara. Pangeran Willem IV dari keluarga Oranye ikut
campur dengan memerintahkan VOC untuk membantu penelitian ilmu pengetahuan ini.
Lintas batas
Astronom Perancis meminta bantuan Pemerintah
Inggris dan Belanda walaupun negaranya sedang perang. Sebelum ekspedisi
Perancis tiba di Mauritius, Inggris telah mendudukinya. Akademi Ilmu
Pengetahuan kerajaan pun turun tangan agar pengamatan tetap berlangsung.
Czar Katherine juga memindahkan rombongannya
dari Siberia ke wilayah Asia agar pengamatan berhasil. Inggris akhirnya
berhubungan dengan Belanda, yang diwakili oleh astronom Kinkeberg (dari
Leiden). Gubernur Jenderal Mossel juga berjasa memerintahkan VOC untuk aktif
menjadi agen komunikasi dan pengangkut ekspedisi.
Adalah ironi, sains Belanda yang begitu
berkembang ternyata memperoleh data mentah paling berharga pada abad ke-18 dari
sebuah kota jajahan yang menjadi sarang nyamuk malaria.
Kini, abad ke-21 meniupkan angin baru dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tonggaknya adalah penemuan penting yang
mengisyaratkan bahwa tata surya kita bukan unikum dalam semesta. Tidak kurang
dari 700 eksoplanet telah dijejaki dengan metode transit. Eksoplanet adalah
planet di luar tata surya.
Metode transit yang digunakan memang mampu
meneliti dan mengukur ubahan cahaya bintang induk yang mengalami depresi cahaya
karena pelintasan planet, sampai ordo 0,001 persen. Namun, belum ada cara yang
definitif untuk mengetahui keberadaan, jenis, dan kerapatan angkasa
planet-planet tersebut.
Pelintasan Venus tahun 2004 oleh kebanyakan
astronom dianggap sebagai ”geladi resik” untuk mengungkap hal tersebut dengan
metode baru seperti spektroskopi dan refraksi. Refraksi dan transmisivitas
angkasa adalah ”biomarker”, penanda lapisan angkasa bermakhluk hidup atau
tidak. Spektroskopi molekul renik akan diterapkan pada pelintasan Venus 2012.
Tak kurang dari 100 buah teleskop akan
tersebar di berbagai wilayah Bumi untuk bersama mengamati pelintasan Venus.
Mudah-mudahan usaha itu tidak terganggu cuaca buruk sehingga kelak ilmuwan abad
ke-22 dapat mencatat dengan kagum keberhasilan ilmuwan abad ke-21. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar