Senin, 11 Juni 2012

Tiadanya Keadaban Politik


Tiadanya Keadaban Politik
Benny Susetyo ; Sekretaris Dewan Nasional Setara
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 09 Juni 2012


KOMISI X DPR berharap kasus proyek sport center Hambalang, Bogor, Jawa Barat, lekas selesai, baik di pembangunan maupun pengusutan kasus hukumnya di KPK. “Kita ingin persoalan ini cepat selesai, tidak berlarut-larut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Syamsul Bachrie, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).
Kasus tersebut menunjukkan kepada publik rusaknya keadaban politik di negeri ini. 
Perselingkuhan elite politik dengan pemodal akhirnya merusak tata nilai dalam berpolitik. Ketika elite politik dengan mudah memainkan proyek pemerintah lewat mekanisme di bawah tangan, politik korup pun menjadi cara berpikir, bertindak, dan berelasi penguasa negeri.

Kasus Hambalang juga menjadi contoh betapa kekuasaan itu sendiri cenderung korup sebagaimana adagium Actonian. Walaupun kita menyadari bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan, pemberantasan korupsi sering berjalan di tempat. Itu menjadi lebih ironis karena kekuasaan itu sendiri begitu dekat aroma korupsi. Kini publik pun bertanya-tanya, masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh? Kekalutan publik itu disebabkan sinyalemen adanya tindakan-tindakan kekuasaan yang dinilai hanya akan memperlemah pemberantasan korupsi.

Semenjak awal kita semua sudah menyadari bahwa tugas pemberantasan korupsi begi tu berat. Itu sangat berat karena korupsi sudah mendarah daging (internalized) di tubuh birokrasi. Apalagi kita tidak me makai strategi ‘amputasi’ untuk membersihkannya. Kita hanya perlahan dan berhatihati memilih onak duri yang bersemayam di dalamnya.

Kesadaran bahwa pemberantasan korupsi merupakan tugas berat tentu saja menyadarkan kita bahwa langkah tersebut bukan pekerjaan semalam. Ada proses yang terencana dan sistematis untuk mengembalikan keadaban pemerintahan kita menuju governance yang good dan clean.

Harus diperhatikan secara saksama bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Itu menyangkut substansi. Kita belum sampai pada proses inti `pemerintahan yang bersih' itu sendiri. Kita baru tahap citra pemerintahan yang bersih. Di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih itu, publik secara sadar masih melihat dengan jelas begitu banyak kasus korupsi yang belum terungkap. Masih begitu banyak onak duri yang mengganjal perjalanan menuju pemerintahan yang sehat dan bersih dengan tingkat korupsi yang begitu minimal.

Budaya Jalan Pintas

Sejauh ini proses pemberantasan korupsi masih boleh dikatakan `setengah hati'. Koruptor kakap masih berkeliaran. Mereka yang berada dalam proses pengadilan pun bahkan sedang sibuk mempersiapkan kebebasan mereka. Pemberantasan korupsi belum menjadi agenda utama penataan bangsa ini ke depan. Peperangan dengan ja lan bertobat masih dilakukan secara maksimal. Mereka yang ditangkapi hanyalah para koruptor kelas teri. Kategori kelas kakap belum banyak yang tersentuh. Tak mengherankan bila kemudian muncul idiom-idiom baru yang cukup ironis. Ada ‘karpet merah’, ada ‘tebang pilih’, dan seterusnya. Pemerintah belum menunjukkan peperangan terbuka dan terang-terangan dengan mereka-mereka yang telah mencuri uang negara.

Bangsa ini sudah lama tak berdaya melepaskan diri dari jerat budaya korupsi. Suka tidak suka, sebagai budaya, korupsi merupakan sesuatu yang melekat dalam diri bangsa ini. Korupsi bahkan seolah-olah sudah menjadi pola kehidupan bangsa ini dan bagian tak terpisahkan. “Kalau tidak korupsi, tidak Indonesia,“ begitulah guyonan masyarakat kita merasakan budaya korupsi ini.

Korupsi terjadi dan membentuk mentalitas. Hal itu tidak lepas dari kultur bangsa. Begitu membudayanya dan sistematisnya korupsi seakan-akan telah membuat bangsa ini tak berdaya menghadapinya. Itu tak lain karena bangsa ini telah lama dihidupi strategi berkehidupan yang disebut sebagai `jalan pintas'. Kultur `jalan pintas' itulah yang membuat elite politik hanya sibuk memperkaya diri sendiri dan melupakan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.

Kebijakan yang dibuat sekadar untuk meraih popularitas daripada secara serius bagaimana mengusahakan rakyat untuk hidup lebih mandiri. Budaya itu membuat bangsa ini sangat bergantung kepada segala sesuatu yang bersifat material. Ada kecenderungan ironis bah wa menjadi elite politik sekaligus melekat hak untuk meneruskan tradisi masa lalu yang bernama korupsi.

Di semua tempat dan semua level kehidupan terjadi korupsi. Korupsi tidak pandang bulu, terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Sementara hukum yang mengadilinya agak pilih pilih bulu.

Praktik seperti itulah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi kesengsaraan orang lain. Padahal, jelas bahwa korupsi akan mengakibatkan kemiskinan masyarakat. Busung lapar, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan kesenjangan merupakan deretan permasalahan bangsa yang berujung langsung pada perilaku korupsi. Kita menyadari itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sungguh ironis.

Mengapa berbagai kenyataan tersebut tidak membuat kita menyelesaikan akar masalahnya secara tuntas? Kalau korupsi berhasil diberantas dan tumbuh budaya baru, masalahma salah kebangsaan yang berderet itu pada saatnya juga akan ikut terselesaikan secara serta-merta.

Korupsilah biang keladi persoalan-persoalan tersebut. Budaya korupsi yang dilakukan sebagian pejabat publik dan sebagian masyarakat telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Bangsa ini seolah-olah tak berdaya melawan karena korupsi bahkan sudah sering menjadi pola kebijakan politik yang dianggap lumrah.

Kita harus secepatnya mencari jalan keluar untuk meng atasinya. Mengatasi korupsi ti dak sekadar lewat sebuah kebijakan politik semata-mata. Dibutuhkan sebuah alternatif lain, yakni bagaimana mencari penjelasan seterang-terangnya mengapa korupsi itu timbul. Korupsi bisa saja terjadi karena pola kehidupan yang cenderung materialistis dan berbiaya tinggi (high cost economic).

Pola perilaku seperti itu, suka tidak suka, telah menjadi bagian kultur kehidupan publik. Akibatnya ruang publik tak berdaya dan telah tergadaikan untuk menghadapi `monster-monster' yang begitu dominan dalam mengatur kehidupan.

Sudah banyak contoh dan dampak dari kebuasan korupsi yang membudaya seperti ini. Kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan semua ini di depan mata kita. Korupsi harus dibasmi sampai akar-akarnya. Kita mesti menciptakan sistem dan budaya baru yang bebas dari korupsi.

Semua itu menjadi sia­-sia belaka ketika penguasa hanya menggunakan retorika politik tanpa keutamaan dan kemauan untuk memutus tali sejarah kelam di negeri ini. Saatnya keadaban politik dibangun dengan menciptakan tradisi, yakni membersihkan partai politik korup dengan politik bersih diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar