Tiadanya
Keadaban Politik
Benny Susetyo ; Sekretaris Dewan Nasional Setara
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2012
KOMISI
X DPR berharap kasus proyek sport center Hambalang, Bogor, Jawa Barat, lekas
selesai, baik di pembangunan maupun pengusutan kasus hukumnya di KPK. “Kita ingin persoalan ini cepat selesai,
tidak berlarut-larut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Syamsul Bachrie,
kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).
Kasus
tersebut menunjukkan kepada publik rusaknya keadaban politik di negeri ini.
Perselingkuhan elite politik dengan pemodal akhirnya merusak tata nilai dalam
berpolitik. Ketika elite politik dengan mudah memainkan proyek pemerintah lewat
mekanisme di bawah tangan, politik korup pun menjadi cara berpikir, bertindak,
dan berelasi penguasa negeri.
Kasus
Hambalang juga menjadi contoh betapa kekuasaan itu sendiri cenderung korup sebagaimana
adagium Actonian. Walaupun kita
menyadari bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan,
pemberantasan korupsi sering berjalan di tempat. Itu menjadi lebih ironis
karena kekuasaan itu sendiri begitu dekat aroma korupsi. Kini publik pun
bertanya-tanya, masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara
sungguh-sungguh? Kekalutan publik itu disebabkan sinyalemen adanya
tindakan-tindakan kekuasaan yang dinilai hanya akan memperlemah pemberantasan
korupsi.
Semenjak
awal kita semua sudah menyadari bahwa tugas pemberantasan korupsi begi tu
berat. Itu sangat berat karena korupsi sudah mendarah daging (internalized) di tubuh birokrasi.
Apalagi kita tidak me makai strategi ‘amputasi’ untuk membersihkannya. Kita
hanya perlahan dan berhatihati memilih onak duri yang bersemayam di dalamnya.
Kesadaran
bahwa pemberantasan korupsi merupakan tugas berat tentu saja menyadarkan kita
bahwa langkah tersebut bukan pekerjaan semalam. Ada proses yang terencana dan
sistematis untuk mengembalikan keadaban pemerintahan kita menuju governance yang good dan clean.
Harus
diperhatikan secara saksama bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra
dan pencitraan. Pemerintahan yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam
dan mendasar. Itu menyangkut substansi. Kita belum sampai pada proses inti
`pemerintahan yang bersih' itu sendiri. Kita baru tahap citra pemerintahan yang
bersih. Di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih itu, publik
secara sadar masih melihat dengan jelas begitu banyak kasus korupsi yang belum
terungkap. Masih begitu banyak onak duri yang mengganjal perjalanan menuju
pemerintahan yang sehat dan bersih dengan tingkat korupsi yang begitu minimal.
Budaya Jalan Pintas
Sejauh
ini proses pemberantasan korupsi masih boleh dikatakan `setengah hati'.
Koruptor kakap masih berkeliaran. Mereka yang berada dalam proses pengadilan
pun bahkan sedang sibuk mempersiapkan kebebasan mereka. Pemberantasan korupsi
belum menjadi agenda utama penataan bangsa ini ke depan. Peperangan dengan ja
lan bertobat masih dilakukan secara maksimal. Mereka yang ditangkapi hanyalah
para koruptor kelas teri. Kategori kelas kakap belum banyak yang tersentuh. Tak
mengherankan bila kemudian muncul idiom-idiom baru yang cukup ironis. Ada
‘karpet merah’, ada ‘tebang pilih’, dan seterusnya. Pemerintah belum
menunjukkan peperangan terbuka dan terang-terangan dengan mereka-mereka yang
telah mencuri uang negara.
Bangsa
ini sudah lama tak berdaya melepaskan diri dari jerat budaya korupsi. Suka
tidak suka, sebagai budaya, korupsi merupakan sesuatu yang melekat dalam diri
bangsa ini. Korupsi bahkan seolah-olah sudah menjadi pola kehidupan bangsa ini
dan bagian tak terpisahkan. “Kalau tidak korupsi, tidak Indonesia,“ begitulah
guyonan masyarakat kita merasakan budaya korupsi ini.
Korupsi
terjadi dan membentuk mentalitas. Hal itu tidak lepas dari kultur bangsa.
Begitu membudayanya dan sistematisnya korupsi seakan-akan telah membuat bangsa
ini tak berdaya menghadapinya. Itu tak lain karena bangsa ini telah lama
dihidupi strategi berkehidupan yang disebut sebagai `jalan pintas'. Kultur
`jalan pintas' itulah yang membuat elite politik hanya sibuk memperkaya diri
sendiri dan melupakan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.
Kebijakan
yang dibuat sekadar untuk meraih popularitas daripada secara serius bagaimana
mengusahakan rakyat untuk hidup lebih mandiri. Budaya itu membuat bangsa ini
sangat bergantung kepada segala sesuatu yang bersifat material. Ada
kecenderungan ironis bah wa menjadi elite politik sekaligus melekat hak untuk
meneruskan tradisi masa lalu yang bernama korupsi.
Di
semua tempat dan semua level kehidupan terjadi korupsi. Korupsi tidak pandang
bulu, terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Sementara hukum yang
mengadilinya agak pilih pilih bulu.
Praktik
seperti itulah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi
kesengsaraan orang lain. Padahal, jelas bahwa korupsi akan mengakibatkan
kemiskinan masyarakat. Busung lapar, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan, dan kesenjangan merupakan deretan permasalahan
bangsa yang berujung langsung pada perilaku korupsi. Kita menyadari itu, tapi
tidak bisa berbuat apa-apa.
Sungguh ironis.
Sungguh ironis.
Mengapa
berbagai kenyataan tersebut tidak membuat kita menyelesaikan akar masalahnya
secara tuntas? Kalau korupsi berhasil diberantas dan tumbuh budaya baru,
masalahma salah kebangsaan yang berderet itu pada saatnya juga akan ikut
terselesaikan secara serta-merta.
Korupsilah
biang keladi persoalan-persoalan tersebut. Budaya korupsi yang dilakukan
sebagian pejabat publik dan sebagian masyarakat telah menghancurkan sendi-sendi
kehidupan bangsa ini. Bangsa ini seolah-olah tak berdaya melawan karena korupsi
bahkan sudah sering menjadi pola kebijakan politik yang dianggap lumrah.
Kita
harus secepatnya mencari jalan keluar untuk meng atasinya. Mengatasi korupsi ti
dak sekadar lewat sebuah kebijakan politik semata-mata. Dibutuhkan sebuah
alternatif lain, yakni bagaimana mencari penjelasan seterang-terangnya mengapa
korupsi itu timbul. Korupsi bisa saja terjadi karena pola kehidupan yang
cenderung materialistis dan berbiaya tinggi (high cost economic).
Pola
perilaku seperti itu, suka tidak suka, telah menjadi bagian kultur kehidupan
publik. Akibatnya ruang publik tak berdaya dan telah tergadaikan untuk
menghadapi `monster-monster' yang begitu dominan dalam mengatur kehidupan.
Sudah
banyak contoh dan dampak dari kebuasan korupsi yang membudaya seperti ini. Kita
tidak bisa tinggal diam menyaksikan semua ini di depan mata kita. Korupsi harus
dibasmi sampai akar-akarnya. Kita mesti menciptakan sistem dan budaya baru yang
bebas dari korupsi.
Semua
itu menjadi sia-sia belaka ketika penguasa hanya menggunakan retorika politik
tanpa keutamaan dan kemauan untuk memutus tali sejarah kelam di negeri ini.
Saatnya keadaban politik dibangun dengan menciptakan tradisi, yakni
membersihkan partai politik korup dengan politik bersih diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar