Menyoal
“Nasehat untuk SBY”
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik di The Habibie Center
SUMBER : SINDO, 09
Juni 2012
Beberapa waktu lalu, pengacara senior
sekaligus mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung
Nasution meluncurkan buku Nasihat untuk Presiden.
Buku itu menceritakan pengalaman Adnan Buyung
Nasution selama menjadi anggota Wantimpres. Dalam buku itu juga dibocorkan
nasihat-nasihat yang dianggap tidak pernah digubris Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Sebagaimana kita ketahui, Wantimpres
merupakan lembaga penasihat presiden yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2006. Berbeda dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di masa
lalu, Wantimpres tidak bersifat otonom sebagai sebuah lembaga yang terpisah
dari kantor kepresidenan.
Tugas Wantimpres adalah memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan
negara. Pemberian nasihat dan pertimbangan itu wajib dilakukan Wantimpres baik
diminta ataupun tidak diminta Presiden. Penyampaian nasihat dan pertimbangan
itu dapat dilakukan secara perorangan maupun satu kesatuan nasihat dan
pertimbangan dari seluruh anggota dewan.
Watimpres menjadi wahana bagi presiden untuk
menimba kearifan dan juga sebagai tempat menemukan dasar-dasar kokoh bagi
sebuah kebijakan. Dengan begitu, sebuah kebijakan yang keluar telah dilandasi
pertimbangan-pertimbangan yang matang, cermat, dan jauh dari kontroversi.
Melanggar Etika dan Hukum
Kehadiran buku Nasihat untuk Presiden segera menuai kontroversi di ruang publik.
Ada yang memuji keberanian Adnan Buyung Nasution memublikasikan secara luas
nasihat-nasihat yang pernah ia berikan kepada Presiden SBY selama menjadi
anggota Wantimpres. Namun, tidak sedikit pula pihak yang menyesalkan penerbitan
buku itu karena tidak etis, mengingat nasihat kepada presiden seharusnya
menjadi area yang tertutup bagi publik.
Bahkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Asshiddiqie mengatakan, tindakan Adnan Buyung Nasution memublikasikan
nasihat-nasihat yang pernah ia sampaikan kepada presiden merupakan perbuatan melanggar hukum.
Tindakan itu telah melanggar ketentuan Pasal
6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan
Presiden. Pasal itu tidak membenarkan anggota Wantimpres memberikan keterangan,
pernyataan, dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana
pun. Larangan untuk membuka nasihat kepada presiden ini tidak memiliki masa
kedaluwarsa. Artinya, sampai kapan pun nasihat itu akan tetap menjadi rahasia.
Memang, kehadiran era Reformasi yang penuh
keterbukaan politik telah memberikan ruang luas bagi bangsa Indonesia untuk
menghadirkan demokrasi sebagai aturan main dalam membangun kehidupan politik
berbangsa dan bernegara.
Meskipun demikian, demokrasi tidak boleh
dilihat sebatas ruang kosong yang dapat diisi secara bebas. Hal ini
mengakibatkan demokrasi kita menjadi semacam panggung kontestasi politik yang
penuh kegaduhan dan kebisingan. Padahal, sejatinya demokrasi tidak boleh
dimaknai sebatas pada kebebasan untuk berkumpul, berserikat, berorganisasi, dan
berekspresi.
Untuk itu, dibuat aturan main (rule of the game) agar negara ini tidak
menjelma menjadi arena untuk saling memangsa (homo homini lupus), baik secara fisik maupun psikis, akibat benturan
berbagai macam kepentingan sebagaimana dikhawatirkan Hobbes.
Namun, keberadaan aturan main yang terwujud
dalam undang-undang ternyata belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak jarang muncul perilaku-perilaku
yang cenderung mengotori nilai-nilai etika politik dan mencederai demokrasi.
Dalam buku berjudul The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social
Order, Francis Fukuyama mengatakan, setiap perubahan akan mendorong
terjadinya guncangan-guncangan.
Guncangan itu terjadi karena adanya pemisahan
antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah tatanan masyarakat. Guncangan
dapat juga merupakan gegar budaya akibat ketidaksiapan menjalani perubahan di
luar kerangka nalar. Inilah tantangan demokrasi modern di tengah perubahan yang
bergulir begitu cepat.
Perilaku menyimpang tanpa mengindahkan etika
politik yang dilakukan sejumlah elite politik merupakan salah satu akibat
guncangan itu. Mereka tidak siap menjalani perubahan yang bergulir begitu
cepat, sementara di saat bersamaan mereka masih terjebak dalam nilai
(kesadaran) masa lalu.
Dalam konteks itu, kehadiran buku Nasihat untuk Presiden yang berisi
nasihat-nasihat sang penulis kepada Presiden SBY selama menjadi anggota
Wantimpres dapat dikategorikan sebagai wujud perilaku menyimpang tanpa
mengindahkan etika politik. Bukan tidak mungkin publikasi buku itu akan dilihat
publik sebagai bentuk upaya sang penulis untuk mempertahankan eksistensi diri.
Sebagai salah seorang mantan penasihat
presiden, Adnan Buyung Nasution semestinya dapat tetap menjadikan
nasihat-nasihat yang pernah ia berikan kepada presiden sebagai sebuah area
tertutup bagi publik.
Para anggota Wantimpres bertanggung jawab
hanya kepada presiden selaku pihak yang telah mengangkat dan melantik mereka.
Ini tidak jauh berbeda dengan menteri-menteri di dalam kabinet. Oleh karena
itu, alasan Adnan Buyung Nasution bahwa publikasi buku ini semata-mata sebagai
sebuah bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat terdengar absurd.
Akhirnya, di tengah euforia kebebasan dan
keterbukaan politik seperti saat ini, ekspresi kepentingan individu memang
sangat mungkin diungkapkan secara berlebihan.
Atas nama kebebasan, setiap kepentingan
individu mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli keberadaan pihak lain. Aturan
main diabaikan untuk mencapai puncak kepuasan individu bersangkutan. Oleh
karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat
dipertangungjawabkan. ●
artikel sangat bagus,menarik & bermanfaat
BalasHapussalam kenal & sukses selalu