Sabtu, 16 Juni 2012

Tayangan Euro 2012 dan Tantangan Kita


Tayangan Euro 2012 dan Tantangan Kita
Endang Suryadinata ; Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
Sumber :  SINAR HARAPAN, 16 Juni 2012


Perhelatan akbar Euro atau Piala Eropa 2012 (8 Juni-1 Juli 2012) di Polandia dan Ukraina sedang menjadi perhatian publik dunia.
 
Walau tidak ada timnas Indonesia yang bermain di ajang Euro, atmosfernya sungguh terasa di negeri ini, berkat kebaikan RCTI. Jangan lupa, di banyak negara lain, bahkan di Eropa, nonton siaran langsung di televisi juga harus membayar (TV Per Game).

Bahkan, di desa-desa pelosok dari Aceh hingga Papua, semua membicarakan Euro. Di Pasuruan malah ada suatu kawasan yang memasang semua bendera dari 16 peserta Euro. Di Makassar juga ada satu kampung yang warganya memasang bendera para peserta Euro dan jalan kampung penuh dengan pernak-pernik Euro.
 
Di tempat kongko di Surabaya seperti mal atau kafe, bukan hanya pria, beberapa wanita pun lihai dalam menganalisis Euro. Mereka juga sudah punya jago atau tim favorit masing-masing. Ada yang menjagokan Spanyol, Italia, Belanda atau Prancis.

Bukan hanya mereka, tampaknya kalau kita temui setiap orang di jalan, sawah atau di kantor, mereka tiba-tiba tampak ahli menjadi komentator bola, sebagaimana ditunjukkan para politikus kita.
Memang Euro menjadi oase tersendiri di tengah dahaga bangsa ini akan prestasi bola yang tak kunjung tiba.
 
Apalagi sepak bola kian remuk akibat kisruh dan terbelahnya kepengurusan PSSI. Di tengah kondisi demikian, hadirlah siaran langsung Euro yang menyenangkan dan menghibur sepanjang bulan ini.

Tantangan Kita

Meskipun kita masih sebatas menjadi bangsa penonton, ada baiknya momentum Euro kita manfaatkan juga untuk berefleksi diri sebagai sebuah bangsa.
 
Tentu kita tidak bangga jika hanya terus-menerus menjadi bangsa yang hanya bisa menonton kebesaran bangsa-bangsa lain yang hebat dalam menorehkan prestasi bolanya. Ini jelas menjadi tantangan bagi kita yang sungguh peduli dengan keberlangsungan dan masa depan negeri ini. Tantangan ini sebenarnya bisa dijawab lewat bola.

Apalagi sepak bola memang masih menjadi sarana paling efektif untuk merekatkan kita sebagai satu anak bangsa. Di tengah ancaman intoleransi dan kekerasan akibat beragam konflik yang bermotif SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) sepak bola, khususnya bila tim nasional kita bertanding, masih bisa menjadi kekuatan perekat atau pemersatu.
 
Sepak bola memang menjadi ajang yang tepat untuk membangkitkan patriotisme dan nasionalisme bangsa. Sayang, kisruh kepengurusan ganda PSSI menjadi bukti sepak bola kita ternyata juga sudah menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomi dari segelintir elite di negeri ini.

Memang umumnya para politikus, analis politik serta kolumnis bola di dunia sependapat bahwa sepak bola merupakan ajang terakhir nasionalisme, apalagi jika timnas yang ikut mewakili negara, bermain sebagaimana 16 timnas di ajang Euro 2012.

Sepak bola disebut sebagai benteng terakhir nasionalisme. Hal ini tentu tidak lepas dari diskursus globalisasi. Meski sepak bola disebut sebagai bagian dari kapitalisme global, nasionalisme yang muncul setiap kali timnas bermain melawan timnas negara lain tidak bisa digempur arus deras globalisasi. Ini memang terdengar seperti ada “contradicitio in terminis”.
 
Di satu sisi, sosiolog Richard Giulianatti dalam bukunya Sepak Bola, Pesona Sihir Permainan Global, menyebut sepak bola telah menjadi mesin-mesin kebudayaan massa dan menjadi bagian dari budaya pop global. Tapi di sisi lain, bisnis global yang sudah melabrak habis batas teritorial negara tidak bisa menundukkan nasionalisme.

Sejarah pun sudah memperlihatkan pada kita sekarang bahwa nasionalisme kita dahulu lahir dari konteks melawan kolonialisme. Kalau kita bicara bangkitnya nasionalisme, jangan pernah melepaskannya dari konteks kita saat ini juga tengah menghadapi gempuran neoliberalisme atau korporatokrasi global.  

Ada yang mengatakan bahwa korporatokrasi global adalah ibu dari segala macam binatang buas zaman ini. Mereka membangkitkan kerakusan yang bercokol dalam hati setiap orang dengan cara licik dan lihai lewat iklan. Inilah yang disebut konsumerisme, yaitu nafsu yang dibangkitkan dalam diri manusia untuk ingin memiliki, memakan, dan menghabiskan lebih banyak.
 
Cara lain dari korporatokrasi ini adalah membodoh-bodohi. Sering kali “pasar bebas” dan “persaingan bebas” dipaksakan kepada negara-negara miskin! Seperti Indonesia yang dipaksa membuka pasarnya atas nama “pasar bebas” dan “persaingan bebas”.

Sudah banyak bukti betapa kongkalikong kapitalis global dan kapitalis lokal sungguh mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan luar biasa. Konyolnya sebagian elite negeri ini yang punya kaitan dengan korporatokrasi justru tega hanya mencari untung untuk diri mereka sendiri sambil menjajah sesama anak bangsa.

Ini bisa terlihat dari kasus Papua yang terus menyuguhkan kekerasan akhir-akhir ini. Atau kasus pencaplokan tanah adat dan terpinggirkannya suku-suku asli yang menggantungkan diri pada hutan, yang kini kian dieksploitasi demi kepentingan investasi, khususnya tambang.
 
Memang dalam menghadapi korporasi atau korporatokrasi global, masyarakat kita sama sekali tidak terlindungi (Kompas 13/6/2012, hal 12).

Keunggulan Kompetitif

Jelas kondisi tak terlindungi itu tak bisa dibiarkan. Kita perlu mencari jalan keluar. Nasionalisme yang kompetitif mungkin bisa menjadi alternatif atau jalan keluar menghadapi gempuran korporatokrasi selalu aktual dan tidak pernah basi. Jika keunggulan kompetitif ini tidak pernah terbentuk, selama itu pula kita tidak akan pernah diperhitungkan di percaturan dunia.

Namun, bila kita punya keunggulaan kompetitif, pasti kita masih bisa berkelit, merespons keadaan dan setiap perubahan dengan bijak atau berbuat sesuatu untuk kemandirian dan keberlangsungan negeri ini. Tidak boleh terus-menerus menjadi bangsa penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar