Minggu, 24 Juni 2012

Spanyol, Kaya tetapi Miskin


Spanyol, Kaya tetapi Miskin
Sindhunata ;   Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Siapa mencintai sepak bola indah, dia harus memuja kesebelasan Spanyol. Jika dia mematok keindahan jadi normatif, dia harus rela Spanyol jadi juara. Dan dia harus ikhlas pula untuk mengacungkan jari, bahwa Spanyol-lah penemu sepak bola baru di awal abad ini.

Memang, siapa tak kagum akan tiki-taka? Teknik gemilang khas Spanyol ini bisa benar-benar membuat tegang saraf lawan. Mereka bisa menguasai bola dalam ruang sesempit apa pun. Operan bola-bola pendek Xavi, Iniesta, dan kawan-kawannya begitu cermat dan tak terduga, sampai lawan sulit memperkirakannya. Ya, Spanyol dengan tiki-takanya seakan mendegradasikan lawannya menjadi orang yang kurang mampu bermain bola.

Tapi sekarang masihkah Spanyol seampuh dulu? Tidak! Di Piala Eropa 2012 ini, lebih-lebih ketika melawan Kroasia, Spanyol belum berhasil mengembangkan permainannya yang khas. Di sana sini tiki-takanya macet dan, lebih parah lagi, mandul.
Malah, hampir saja mereka terjungkal. Koran-koran Spanyol mengakui hal itu, dan menulis, untung mereka diselamatkan ketidakcermatan wasit Stark, yang seharusnya menghadiahkan dua penalti bagi Kroasia.

Tulis koran Marca: Siapa mau jadi juara Eropa, dia harus menderita. Tak pernah Spanyol gemetar seperti ini walau seperti biasanya mereka selalu menang. Dan tulis harian As: ”La Roja” seperti Barca tanpa Messi: banyak kontrol bola, unggul di atas lawan, tapi nyaris tanpa peluang gol.

Dalam babak pertama Piala Eropa ini, Spanyol seperti telah kehilangan aura ketakterkalahannya. Kendati menang atas Kroasia, pemain-pemain Spanyol meninggalkan lapangan tanpa selebrasi berlebihan, seperti biasa dilakukan tim yang lain karena kegembiraannya. Ini seakan sebuah indikasi bahwa mereka bermain jauh di bawah target yang mereka inginkan.

”Tim-tim lain tampak gembira, saling berpelukan, tapi kami tidak. Kami beranjak dari miskin menuju kaya dengan terlalu cepat dan kami tidak bisa menghargai apa yang kami miliki,” kata Vicente del Bosque.

Kiranya Del Bosque mengiaskan dengan baik kondisi Spanyol saat ini. Memang sekarang Spanyol seakan menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Setelah mengamati kembali permainan pemainnya ketika melawan Kroasia, Del Bosque berpendapat, sesungguhnya permainan mereka tidaklah jelek.

Tapi Del Bosque sadar, permainan sekadar itu bukanlah khitah Spanyol. Bermain tak sesuai dengan khitah itu, walau menang, berarti kegagalan. Mereka seperti orang kaya yang tak bisa menghargai kekayaannya. Mungkin karena mereka jadi kaya dengan terlalu cepat. Ini ada benarnya, sebab baru dalam dekade terakhir ini Spanyol meraih prestasi luar biasa. Sebelumnya, mereka selalu kandas dalam percaturan dunia bola.

Para pemain asuhan Del Bosque berharap lawan memainkan dan mengembangkan permainannya sehingga mereka juga bisa leluasa memainkan tiki-takanya. Ternyata, menghadapi Spanyol, tim lawan hanya berusaha bagaimana membela diri agar Iniesta, Xavi, dan kawan-kawannya tidak sampai mengobrak-abrik pertahanannya. Maka, melawan Spanyol, Kroasia yang adatnya ofensif menjadi tim yang lebih mengandalkan serangan balik.

”Rasanya seperti seluruh dunia melawan Spanyol,” kata Iker Casillas. ”Menghadapi kami, lawan-lawan kami melakukan apa yang tidak pernah mereka lakukan,” tambah Casillas. Singkatnya, ”melawan Spanyol, kamu tak lagi memainkan yang kamu inginkan, tapi yang dapat kamu lakukan”.

Itu juga diakui Pelatih Kroasia Slaven Bilic. ”Melawan juara dunia, kami tidak dapat mengharap bahwa kami akan menciptakan lima atau enam kans. Jika kami maju ke depan, kami membuat diri sendiri terbuka. Kuncinya, kami harus membela diri baik-baik. Kami harus melakukan penetrasi secepatnya, tapi itu pun tergantung keberuntungan,” begitu Bilic merumuskan taktik yang akan diterapkannya.

Kroasia kalah, tetapi mereka dianggap berhasil. Spanyol menang, tapi dianggap gagal. Tim lain boleh bertahan habis dan bermain defensif. Tapi kalau Spanyol melakukannya, mereka dianggap berkhianat terhadap khitahnya, tiki-taka. Kalau Spanyol menang, tapi tidak bertiki-taka secara maksimal, mereka pun dianggap bermain dengan menderita. Kalau mereka total bertiki-taka, tapi miskin gol, mereka pun dikatakan Barca tanpa Messi. Begitulah, Spanyol harus diukur dengan skala ukuran yang sama sekali berbeda dari ukuran yang normal. Dalam arti itulah mereka disebut menjadi ”korban dari kesuksesannya sendiri”.

”Kami dapat menjadi contoh bagi lawan-lawan Spanyol,” kata pemain Kroasia, Danijel Pranjic. Dan Pelatih Perancis Laurent Blanc mengakui itu. ”Kroasia telah menunjukkan bagaimana orang harus menghadapi Spanyol,” kata Blanc. Blanc sendiri mengatakan, Spanyol datang terlalu pagi bagi Perancis. Ia sadar, menghadapi Spanyol, Perancis akan sulit menguasai bola.

Apalagi, untuk sampai ke perempat final ini, Perancis harus berjalan tertatih-tatih. Siapa mengira mereka digebuk Swedia 0-2? Sekarang pun Blanc masih prihatin karena lini depan Perancis sangat tumpul. Mereka kurang ofensif. Umpan-umpan dan pasing-pasing bolanya tidak jitu. Nasri dan Benzema tak banyak menciptakan peluang, malah cenderung bermain individualistis.

”Tapi hari demi hari kami makin percaya diri,” kata Blanc. Buat Blanc, rasanya tak ada cara lain untuk melibas Spanyol kecuali memakai resep Kroasia: membuat Spanyol gagal dalam kesuksesannya, miskin dalam kekayaannya, tak percaya diri dalam tiki-takanya. Tidakkah di luar bola Spanyol juga sedang krisis di dalam, walau tampak kaya di luar? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar