Solusi
Sulit Perang Saudara Suriah
Smith Alhadar ; Penasihat
pada The Indonesian Society for Middle East Studies
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 22 Juni 2012
KENDATI
sejak Maret 2011 protes rakyat Suriah terhadap rezim Presiden Basharal-Assad
dan gencatan senjata rezim itu dengan kelompok oposisi telah disepakati untuk
dimulai pada 12 April 2012, konflik bersenjata kedua pihak belum juga berakhir.
Bahkan
terjadi eskalasi perang dalam beberapa hari terakhir sehingga setiap hari
puluhan korban berjatuhan. Perkembangan terakhir menunjukkan pertikaian rezim
Al-Assad dan kaum oposisi makin memprihatinkan menyusul terjadinya tiga kali
genosida, yang menyebabkan puluhan anak-anak dan wanita tewas mengenaskan.
Pembantaian
terakhir terjadi pada 8 Juni di Kota Daraa, yang menewaskan sekitar 20 orang.
Dua hari sebelumnya terjadi pembantaian di Distrik Al-Khubeir dekat Kota Hama,
yang membunuh sekitar 100 orang. Pada 25 Mei lalu, tak kurang dari 108 warga
sipil di Houla tewas, termasuk 32 anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Rezim
Al-Assad mengklaim pembantaian di Houla itu--yang mendapat kecaman dunia
internasional--dilakukan kelompok teroris.
Namun,
Ketua Misi Pengawasan PBB di Suriah (UNSMIS) Mayor Jenderal Robert Mood
menyatakan pihaknya menemukan bukti-bukti penggunaan meriam artileri dan tank.
Hal tersebut memberi indikasi kuat bahwa pelakunya rezim Al-Assad yang tidak
menoleransi aksi unjuk rasa warga Houla.
Karena
mendapat gempuran brutal dari pasukan pemerintah, pihak oposisi bersenjata
(FSA) mengintensifkan serangan balasan di seluruh kota dan desa Suriah. Sejak
itu, (13/6), Kepala Pasukan Penjaga Perdamaian PBB Herve Ladsous mengungkapkan
Suriah kini terseret ke dalam medan perang saudara secara penuh. Tiga hari
kemudian, UNSMIS-yang merasa tidak aman lagi-menghentikan operasi mereka. Hal
itu semakin membuka peluang bagi rezim Al-Assad untuk meningkatkan serangan
terhadap pemberontak yang mengakibatkan 80 orang tewas.
Sulitnya
mendamaikan kubu oposisi dan rezim Al-Assad disebabkan faktor internal dan
eksternal. Faktor internal berupa kenyataan bahwa Presiden Bashar al-Assad dan
orang-orang dekatnya meyakini mereka bisa mengatasi kaum oposisi yang lemah
secara militer karena hanya menggunakan senjata ringan ala kadarnya.
Terlebih,
militer Suriah memiliki senjata-senjata yang canggih. Hal itu tidak
mengherankan karena militer Suriah dirancang untuk menghadapi Israel. Itu
berbeda dengan revolusi di Tunisia dan Mesir, militer kedua negara sejak awal
mendukung revolusi. Di Suriah, militer mendukung penuh rezim Bashar al-Assad. Juga,
berbeda dengan revolusi di Libia dan Yaman, militer terpecah antara mendukung
revolusi dan mereka yang memihak rezim berkuasa.
Di Suriah, militer relatif utuh. Memang ada satudua personel militer yang
membelot ke pihak oposisi, tapi jumlahnya tidak signifikan dan bersifat
individu.
Faktor
eksternalnya, rezim Presiden Bashar al-Assad didukung Iran, Rusia, dan China. Dua
negara yang disebut terakhir merupakan anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB
yang mendukung Bashar al-Assad, sedangkan Iran memasok senjata ke rezim Suriah.
Dua
faktor tersebut membuat segala sanksi dan tekanan politik Liga Arab, Turki, dan
Barat atas Suriah tidak berdampak signifikan. Sebagaimana diketahui, pada 1 2
November tahun lalu, Liga Arab menghentikan keanggotaan Suriah. Setelah itu,
Raja Abdullah II dari Yordania menyeru kepada Presiden Bashar al-Assad agar
mundur. Seruan yang sama disampaikan Per dana Menteri Tur k i Tayyip Erdogan.
Terkait
dengan ketidakpedulian Damaskus atas semua tekanan dan sanksi itu, negara-negara
Arab dan AS tampaknya telah mengirim senjata kepada FSA karena sebelumnya
mereka telah mengancam akan melakukan hal tersebut. Kalau bukan dari mereka,
dari mana FSA memperoleh senjata?
Untuk
menghentikan perang saudara yang semakin berkecamuk dan menciptakan perdamaian
di Suriah, utusan khusus PBB-Liga Arab Kofi Annan menganjurkan Barat, khususnya
AS dan Prancis yang ingin melakukan intervensi militer di Suriah sebagaimana
yang mereka lakukan terhadap Libia, membujuk Rusia dan China untuk menerima
inisiatif perdamaian baru. Inisiatif itu berupa pembentukan kelompok kontak
baru untuk Suriah yang melibatkan sejumlah negara Barat, Rusia, dan China.
Kelompok
tersebut akan menawarkan solusi politik kepada pemerintah Suriah dan oposisi.
Solusi politik baru itu antara lain penyelenggaraan pemilu parlemen dan
presiden untuk menggantikan Al-Assad dan penyusunan konstitusi baru. Keluarga
Al-Assad ditawari suaka politik di Rusia atau Iran.
Karena
tak mau ditekan komunitas internasional dan ingin mempertahankan rezim Presiden
Bashar al-Assad, Rusia tengah berusaha membentuk payung internasional untuk
mewujudkan solusi Suriah, model solusi Taif
yang mengakhiri perang saudara di Libanon (1975-1990). Taif adalah kota di Arab Saudi yang menggelar konferensi tokohtokoh
Libanon dan Arab pada 1989 untuk mengakhiri perang saudara. Dalam konferensi Taif, disepakatilah pembagian kekuasaan
di Libanon berdasarkan agama, mazhab agama, dan sekte. Rusia ingin meniru model
solusi Taif dengan menawarkan
pembagian kekuasaan di antara kekuatan politik di Suriah sebagai solusi krisis
dan mengakhiri dominasi Partai Baats yang berkuasa di Suriah lebih dari 40
tahun.
Dalam
perkembangan terakhir terkait dengan solusi atas krisis politik dan perang
saudara di Suriah, Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin
mengeluarkan pernyataan bersama setelah keduanya berbicara selama hampir 2 jam
di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Los Cabos, Meksiko, pada 18
Juni. Kedua pemimpin itu sepakat gelombang kekerasan dan pertumpahan darah di
Suriah segera diakhiri.
Dua
negara yang selama ini berseberangan itu menekankan perlunya rakyat Suriah
menentukan masa depan mereka sendiri secara demokratis. Putin mengatakan ia dan
Obama menyepakati banyak titik temu mengenai Suriah. Meski demikian, kedua
pemimpin tak menyampaikan rencana langkah-langkah konkret untuk menghentikan
kekerasan di Suriah.
Tampak
jelas Putin tidak ingin pembicaraan mengenai solusi masalah Suriah berhenti
pada soal lengsernya Presiden Bashar al-Assad.
Pembicaraan
mengenai proses politik di Suriah bagi pihak Rusia tidak hanya difokuskan pada
apakah Assad akan mundur dan kapan ia mundur. Putin ingin pembicaraan lebih
luas soal itu, seperti apa yang akan terjadi setelah Al-Assad mundur. Memang
selama ini Rusia menuduh AS tidak punya kebijakan terhadap isu Suriah dan hanya
menginginkan AlAssad lengser sehingga apa yang terjadi di Irak pascaSaddam
Hussein bisa terulang di Suriah.
Selama
solusi konkret dan dapat diterapkan segera belum dapat dilakukan, gelombang
kekerasan terus terjadi saat pasukan pemerintah bentrok dengan pasukan
pemberontak di Distrik Bab al-Amr, Kota Homs. Organisasi Pemantau Hak Asasi
Manusia Suriah yang bermarkas di London menyatakan sekitar 1.000 keluarga
terjebak di Homs yang dikepung ribuan tentara dan milisi propemerintah pada 19
Juni lalu. ●
Perundingan jalan terus dan pembantaian juga jalan terus...jika keputusan belum juga dapat menyelesaikan perang saudar di Surya...?
BalasHapusAdalah keuntungan besar bagi negara Israel karena ada perang suadara di Surya, kalau sesama islam ada perpecahan...? bagaimana islam dapat menghancurkan negara Israel...?
Dan kelihat disini ada kekuasaan Allah sedang bermain dinegara muslim Timur tengah.