Sabtu, 23 Juni 2012

Solusi Sulit Perang Saudara Suriah


Solusi Sulit Perang Saudara Suriah
Smith Alhadar ;  Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2012


KENDATI sejak Maret 2011 protes rakyat Suriah terhadap rezim Presiden Basharal-Assad dan gencatan senjata rezim itu dengan kelompok oposisi telah disepakati untuk dimulai pada 12 April 2012, konflik bersenjata kedua pihak belum juga berakhir.

Bahkan terjadi eskalasi perang dalam beberapa hari terakhir sehingga setiap hari puluhan korban berjatuhan. Perkembangan terakhir menunjukkan pertikaian rezim Al-Assad dan kaum oposisi makin memprihatinkan menyusul terjadinya tiga kali genosida, yang menyebabkan puluhan anak-anak dan wanita tewas mengenaskan.

Pembantaian terakhir terjadi pada 8 Juni di Kota Daraa, yang menewaskan sekitar 20 orang. Dua hari sebelumnya terjadi pembantaian di Distrik Al-Khubeir dekat Kota Hama, yang membunuh sekitar 100 orang. Pada 25 Mei lalu, tak kurang dari 108 warga sipil di Houla tewas, termasuk 32 anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Rezim Al-Assad mengklaim pembantaian di Houla itu--yang mendapat kecaman dunia internasional--dilakukan kelompok teroris.

Namun, Ketua Misi Pengawasan PBB di Suriah (UNSMIS) Mayor Jenderal Robert Mood menyatakan pihaknya menemukan bukti-bukti penggunaan meriam artileri dan tank. Hal tersebut memberi indikasi kuat bahwa pelakunya rezim Al-Assad yang tidak menoleransi aksi unjuk rasa warga Houla.

Karena mendapat gempuran brutal dari pasukan pemerintah, pihak oposisi bersenjata (FSA) mengintensifkan serangan balasan di seluruh kota dan desa Suriah. Sejak itu, (13/6), Kepala Pasukan Penjaga Perdamaian PBB Herve Ladsous mengungkapkan Suriah kini terseret ke dalam medan perang saudara secara penuh. Tiga hari kemudian, UNSMIS-yang merasa tidak aman lagi-menghentikan operasi mereka. Hal itu semakin membuka peluang bagi rezim Al-Assad untuk meningkatkan serangan terhadap pemberontak yang mengakibatkan 80 orang tewas.

Sulitnya mendamaikan kubu oposisi dan rezim Al-Assad disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kenyataan bahwa Presiden Bashar al-Assad dan orang-orang dekatnya meyakini mereka bisa mengatasi kaum oposisi yang lemah secara militer karena hanya menggunakan senjata ringan ala kadarnya.

Terlebih, militer Suriah memiliki senjata-senjata yang canggih. Hal itu tidak mengherankan karena militer Suriah dirancang untuk menghadapi Israel. Itu berbeda dengan revolusi di Tunisia dan Mesir, militer kedua negara sejak awal mendukung revolusi. Di Suriah, militer mendukung penuh rezim Bashar al-Assad. Juga, berbeda dengan revolusi di Libia dan Yaman, militer terpecah antara mendukung revolusi dan mereka yang memihak rezim berkuasa.
 
Di Suriah, militer relatif utuh. Memang ada satudua personel militer yang membelot ke pihak oposisi, tapi jumlahnya tidak signifikan dan bersifat individu.

Faktor eksternalnya, rezim Presiden Bashar al-Assad didukung Iran, Rusia, dan China. Dua negara yang disebut terakhir merupakan anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang mendukung Bashar al-Assad, sedangkan Iran memasok senjata ke rezim Suriah.

Dua faktor tersebut membuat segala sanksi dan tekanan politik Liga Arab, Turki, dan Barat atas Suriah tidak berdampak signifikan. Sebagaimana diketahui, pada 1 2 November tahun lalu, Liga Arab menghentikan keanggotaan Suriah. Setelah itu, Raja Abdullah II dari Yordania menyeru kepada Presiden Bashar al-Assad agar mundur. Seruan yang sama disampaikan Per dana Menteri Tur k i Tayyip Erdogan.

Terkait dengan ketidakpedulian Damaskus atas semua tekanan dan sanksi itu, negara-negara Arab dan AS tampaknya telah mengirim senjata kepada FSA karena sebelumnya mereka telah mengancam akan melakukan hal tersebut. Kalau bukan dari mereka, dari mana FSA memperoleh senjata?

Untuk menghentikan perang saudara yang semakin berkecamuk dan menciptakan perdamaian di Suriah, utusan khusus PBB-Liga Arab Kofi Annan menganjurkan Barat, khususnya AS dan Prancis yang ingin melakukan intervensi militer di Suriah sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Libia, membujuk Rusia dan China untuk menerima inisiatif perdamaian baru. Inisiatif itu berupa pembentukan kelompok kontak baru untuk Suriah yang melibatkan sejumlah negara Barat, Rusia, dan China.

Kelompok tersebut akan menawarkan solusi politik kepada pemerintah Suriah dan oposisi. Solusi politik baru itu antara lain penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden untuk menggantikan Al-Assad dan penyusunan konstitusi baru. Keluarga Al-Assad ditawari suaka politik di Rusia atau Iran.

Karena tak mau ditekan komunitas internasional dan ingin mempertahankan rezim Presiden Bashar al-Assad, Rusia tengah berusaha membentuk payung internasional untuk mewujudkan solusi Suriah, model solusi Taif yang mengakhiri perang saudara di Libanon (1975-1990). Taif adalah kota di Arab Saudi yang menggelar konferensi tokohtokoh Libanon dan Arab pada 1989 untuk mengakhiri perang saudara. Dalam konferensi Taif, disepakatilah pembagian kekuasaan di Libanon berdasarkan agama, mazhab agama, dan sekte. Rusia ingin meniru model solusi Taif dengan menawarkan pembagian kekuasaan di antara kekuatan politik di Suriah sebagai solusi krisis dan mengakhiri dominasi Partai Baats yang berkuasa di Suriah lebih dari 40 tahun.

Dalam perkembangan terakhir terkait dengan solusi atas krisis politik dan perang saudara di Suriah, Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan pernyataan bersama setelah keduanya berbicara selama hampir 2 jam di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Los Cabos, Meksiko, pada 18 Juni. Kedua pemimpin itu sepakat gelombang kekerasan dan pertumpahan darah di Suriah segera diakhiri.

Dua negara yang selama ini berseberangan itu menekankan perlunya rakyat Suriah menentukan masa depan mereka sendiri secara demokratis. Putin mengatakan ia dan Obama menyepakati banyak titik temu mengenai Suriah. Meski demikian, kedua pemimpin tak menyampaikan rencana langkah-langkah konkret untuk menghentikan kekerasan di Suriah.

Tampak jelas Putin tidak ingin pembicaraan mengenai solusi masalah Suriah berhenti pada soal lengsernya Presiden Bashar al-Assad.

Pembicaraan mengenai proses politik di Suriah bagi pihak Rusia tidak hanya difokuskan pada apakah Assad akan mundur dan kapan ia mundur. Putin ingin pembicaraan lebih luas soal itu, seperti apa yang akan terjadi setelah Al-Assad mundur. Memang selama ini Rusia menuduh AS tidak punya kebijakan terhadap isu Suriah dan hanya menginginkan AlAssad lengser sehingga apa yang terjadi di Irak pascaSaddam Hussein bisa terulang di Suriah.

Selama solusi konkret dan dapat diterapkan segera belum dapat dilakukan, gelombang kekerasan terus terjadi saat pasukan pemerintah bentrok dengan pasukan pemberontak di Distrik Bab al-Amr, Kota Homs. Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah yang bermarkas di London menyatakan sekitar 1.000 keluarga terjebak di Homs yang dikepung ribuan tentara dan milisi propemerintah pada 19 Juni lalu.

1 komentar:

  1. Perundingan jalan terus dan pembantaian juga jalan terus...jika keputusan belum juga dapat menyelesaikan perang saudar di Surya...?

    Adalah keuntungan besar bagi negara Israel karena ada perang suadara di Surya, kalau sesama islam ada perpecahan...? bagaimana islam dapat menghancurkan negara Israel...?

    Dan kelihat disini ada kekuasaan Allah sedang bermain dinegara muslim Timur tengah.

    BalasHapus