Siasat
Menghadapi Para Pencuri Ikan
AM Hendropriyono ; Jenderal TNI (Purn);
Mantan Sekretaris
Pengendalian Operasional Pembangunan RI
SUMBER : KOMPAS, 11
Juni 2012
Para nelayan tradisional atau armada nelayan
rakyat pasti lega ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo
mengemukakan, ”Kapal ikan ilegal yang sudah ditetapkan untuk dirampas oleh
negara dapat dilelang atau dihibahkan kepada kelompok nelayan.”
Namun, kebijakan terobosan tersebut tak akan
ada artinya jika sistem peradilan perikanan kita juga tak melakukan terobosan.
Proses hukum berlarut-larut kerap membuat kapal-kapal pencuri ikan yang
tertangkap keburu rusak, bahkan tenggelam sebelum keputusan pengadilan turun.
Kecepatan proses hanya terjamin untuk waktu antara penangkapan oleh kapal
patroli—baik oleh polisi perairan maupun TNI AL—sampai dengan sebagai tahanan
jajaran kejaksaan. Dari kejaksaan sampai ke pengadilan cukup memakan waktu, dan
yang paling lama adalah menunggu vonis dari pengadilan. Selama menunggu proses
itu, jajaran kejaksaan harus ”titip” sampai bertahun-tahun kepada administrator
pelabuhan tempat.
”Titip” begitu lama tanpa ada dana
pemeliharaan yang memadai tentu saja mengakibatkan kebanyakan kapal tersebut
rusak, bahkan tenggelam. Belum lagi masalah ikan curian yang tertangkap
biasanya ”menguap” entah ke mana. Meski demikian, beberapa di antara kapal
tahanan kejaksaan itu ada juga yang berhasil sampai ke tahap keputusan
pengadilan yang bersifat inkracht, berkekuatan hukum tetap. Kapal ini kemudian
dirampas oleh negara dan dapat mengikuti proses pelelangan atau hibah oleh
Kementerian Keuangan.
Bentuk Tim Terpadu
Proses dari penangkapan oleh jajaran
eksekutif ke yudikatif dan kembali lagi ke eksekutif itulah yang butuh waktu
sampai berlarut-larut. Kapal yang dilelang, yang masih dalam keadaan layak
pakai, biasanya jatuh kembali ke tangan pemilik semula, sebab si pemenang
lelang biasanya broker yang terkait
dengan si pemilik kapal. Akibatnya, kapal-kapal yang pernah ditahan itu
kemudian kembali digunakan untuk mencuri ikan lagi.
Guna mengatasi proses hukum yang
berlarut-larut, yang mengakibatkan mubazirnya kapal-kapal rampasan negara,
pemerintah dapat membentuk tim. Tim terdiri atas Direktur Pengawasan Kapal pada
Kementerian Kelautan dan Perikanan; jaksa tinggi dari kantor Jaksa Agung Muda
Pembinaan; Direktur Pembinaan Kekayaan Negara dari Ditjen Anggaran, Kementerian
Keuangan; dan Wakil Kabareskrim Polri atau Asisten Teritorial Kepala Staf Umum
TNI (bergantung siapa yang menangkap).
Tim bertugas mengikuti proses hukum, sejak
penangkap menyerahkan kepada jajaran kejaksaan sampai dengan penghibahan barang
rampasan negara itu kepada kelompok nelayan. Proses di pengadilan dapat lebih
lancar jika tim menunjukkan komitmen moralnya kepada jajaran yudikatif. Hakim
di pengadilan negeri setempat biasanya juga lalu akan bersandar lebih pada
legalitas moral daripada hal-hal yang kurang relevan, yang terkait dengan
legalitas hukum semata.
Dengan legalitas moral, keputusan hakim
bertujuan demi kemanfaatan bagi nelayan dan rasa keadilan ketimbang semata-mata
untuk kepastian hukum. Kelompok nelayan penerima hibah harus yang tergabung dalam
koperasi nelayan. Ini agar lebih mudah terawasi pemanfaatannya oleh jajaran
dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan cara itu, biasanya—sambil menunggu
persetujuan resmi dari Menteri Keuangan—tim sudah dapat melakukan serah terima
kepada koperasi nelayan-rakyat.
Jika alternatif vonis hibah yang ditempuh
hakim, ada beberapa kendala kronis bersifat inheren yang harus diingat.
Nelayan-rakyat kita belum banyak yang mampu jadi nakhoda kapal ikan para
pencuri atau menjadi kepala kamar mesin, apalagi menjadi fishing master dari kapal-kapal yang dihibahkan, yang biasanya
berupa kapal-kapal besi berbobot mati 140-150 GRT dan berperlengkapan jejaring
ikan canggih. Di sini giliran yang bermain adalah kaum oportunis. Mereka
beralasan melakukan usaha kerja sama dengan nelayan, yang akhirnya menjual
kapal tersebut ke pasar. Ujung-ujungnya pembelinya juga pemilik lama atau
paling tidak anggota dari mafia pencuri ikan di perairan kita.
Gudang Pendingin
Sejarah mencatat, sejak era Soeharto hingga
kini ada satu hal yang selalu terwariskan, yaitu kita tidak mampu menangkap
ikan kita sendiri dan kita juga tak mampu mengatasinya, apalagi mencegah
pencurian itu. Alternatif siasat yang paling tepat kini adalah membangun
gudang-gudang pendingin di beberapa kota pelabuhan di Indonesia.
Para pencuri
asing tak perlu kita kejar-kejar lagi, tetapi biar menjual ikan hasil tangkapan
mereka ke gudang-gudang pendingin kita. Bagi mereka, cara ini juga lebih
menguntungkan daripada harus menjual dengan kembali berlayar ke negaranya yang
jauh. Tentu saja harganya harus yang menguntungkan bagi kedua pihak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar