Selasa, 19 Juni 2012

RUU Ormas Prokepentingan Asing


RUU Ormas Prokepentingan Asing
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)    
Sumber :  SINDO, 19 Juni 2012
 

Kini DPR RI tengah membahas RUU Ormas yang menjadi inisiatif DPR RI untuk menggantikan UU RI No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU yang lama dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (dapat dilihat pada bagian Menimbang huruf c).

Maksud pemerintah baik untuk mengatur kehidupan organisasi kemasyarakatan sehingga bermanfaat bagi masyarakat luas dalam wilayah NKRI. Namun maksud dan tujuan tersebut telah “dinodai” oleh kepentingan asing yang hendak ikut masuk di dalam kehidupan ormas Indonesia. Maksud “dinodai” adalah bahwa telah diatur juga ketentuan mengenai ormas asing dalam Bab XIV Pasal 39 sd Pasal 43 dengan sejumlah syarat, hak, dan kewajibannya yang sama dengan ormas lokal (Indonesia).

Sekalipun ada ketentuan larangan bagi ormas asing (sembilan larangan), tetapi hampir mustahil kegiatan ormas asing tersebut tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan NKRI, mengganggu stabilitas dan keutuhan NKRI, melakukan kegiatan spionase, melakukan kegiatan tanpa izin operasional dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang urusan luar negeri.

Mengapa dikatakan demikian apriori? Pertama,perlu dipertanyakan mengapa ormas asing tersebut tidak bergiat di negara asalnya sendiri ketimbang harus di Indonesia. Kedua, sekalipun kegiatan ormas asing dan lokal dibatasi tidak berafiliasi dengan partai politik,tidak ada jaminan bahwa afiliasi tersebut dapat terjadi baik secara terang-terangan atau tersembunyi, dan bagaimana pengawasannya yang dikenal dalam sistem birokrasi di Indonesia telah diketahui sangat lemah.

Ketiga,lebih penting lagi bagaimana ormas asing tersebut memahami dan mengakui Pancasila dan UUD 1945 adalah filosofi dan hukum dasar NKRI (Pasal 2 dan Pasal 3) sekalipun dalam pelaksanaan kegiatannya berkerja sama dengan ormas Indonesia. Keempat, dari segi hukum, pengaturan ormas asing untuk dapat melakukan aktivitas di dalam wilayah NKRI sama saja dengan menyediakan celah hukum bagi orang asing di luar ketentuan UURI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang melanggar kedaulatan hukum NKRI yang seharusnya dipelihara dan dijaga oleh pemegang kekuasaan saat ini.

Apalagi tidak ada persyaratan tidak bertentangan dengan UU Keimigrasian Indonesia. Bahkan dari RUU Ormas ditekankan peran strategis perizinan berada pada Kementerian Luar Negeri, ketentuan yang jelas salah kaprah karena urusan di dalam negeri menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Yang benar seharusnya, izin operasional menjadi wewenang Kementerian Dalam Negeri tetapi atas pertimbangan Kementerian Luar Negeri.

Syarat ormas asing tercatat di negara asalnya dan memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia jelas syarat yang belum tentu sama dengan ketentuan UU di negara asal ormas asing tersebut. Karena pada umumnya di negaranegara maju tidak ada tata cara perizinan untuk kegiatan ormas kecuali izin usaha dagang dan pencatatan partai politik.

Bahkan syarat hanya tercatat tidak cukup jikapun memang ada ketentuan di negara asalnya, harus juga dikuatkan oleh syarat tidak termasuk ormas yang pernah melanggar ketentuan UU di negara asalnya. Kelima, ketentuan larangan bagi ormas asing (Pasal 41) tidak melakukan pengawasannya karena dengan larangan tersebut (sembilan larangan) akan menjadi beban tambahan yang tidak mudah bagi Kementerian Dalam Negeri dan aparatur intelijen dan penegak hukum.

Kesulitan tersebut juga disebabkan pertukaran informasi antar negara sekalipun yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia apalagi menyangkut informasi kegiatan suatu ormas atau partai tertentu termasuk rahasia negara yang bersangkutan dan tidak mudah untuk mengaksesnya. Khusus larangan menggalang dana dari masyarakat Indonesia, terdengar sangat anehkarena bukankah sebaliknya yang terjadi selama ini terutama sejak era reformasi di mana dana-asing masuk ke Indonesia melalui LSM atau organisasi sosial di Indonesia.

Yang seharusnya dilarang adalah memberikan dana dari ormas asing tersebut kepada ormas Indonesia atau badan hukum Indonesia atau kepada masyarakat luas. Keenam, sekalipun diatur mengenai pengawasan ormas (Indonesia dan asing) dalam Bab XV, namun keberadaan lembaga pengawas internal di ormas tentu tidak akan efektif. Apalagi sembilan larangan terhadap ormas asing khususnya bukan tugas yang cukup dibebankan kepada pengawas internal tanpa secara tegas diatur pembentukan pengawas eksternal yang ditempatkan dalam Bab XV tentang Pengawasan.

Keberadaan RUU Ormas diperlukan oleh negara saat ini dan untuk jangka panjang sepanjang tidak bertentangan dengan Bab XA UUD 1945. Akan tetapi memasukkan ketentuan yang membolehkan keberadaan ormas asing sangat potensial terjadi pelanggaran kedaulatan hukum NKRI baik kini dan di masa mendatang. Karena dalam bentuk sekecil apa pun ormas tersebut dalam aktivitas apapun akan berkaitan dengan hajat hidup 250 juta penduduk Indonesia (lihat Pasal 7, termasuk lingkup kegiatan ormas di bidang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan agama yang sangat sensitif dalam kehidupan bangsa ini yang terdiri sangat heterogen dan bersifat pluralis. Apalagi kegiatan yang berkaitan dengan penguatan demokrasi Pancasila sedangkan bagi ormas asing tersebut Pancasila bukan landasan filosofi mereka di negara asalnya. Ketentuan mengenai ormas asing dalam RUU Ormas tersebut menunjukkan kemunduran berpikir dalam mengelola wilayah kedaulatan hukum NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar