Rabu, 06 Juni 2012

RUU Dikti dan Amanat Konstitusi


RUU Dikti dan Amanat Konstitusi
Asril ; PNS di Kemenko Kesra, Alumnus Pasca Sarjana IPB Bogor
SUMBER :  SUARA KARYA, 6 Juni 2012


Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU Dikti) sedang dalam pembahasan pemerintah dan DPR. Diharapkan pertengahan tahun 2012 ini, draft RUU Dikti bisa disahkan menjadi Undang-undang. RUU Dikti dimaksudkan untuk melengkapi ketentuan hukum penyelenggaraan pendidikan nasional. Amandemen keempat UUD1945 membuktikan bahwa urusan pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Pasca amandemen ke-empat UUD 1945, telah disahkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).

Setiap peraturan perundang-undangan dibuat untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban yang jelas dan tegas di tengah masyarakat. Demikian pula dengan UU yang berkaitan dengan pendidikan nasional, yaitu UU Sisdiknas, UU BHP dan RUU Dikti. Tetapi, kenyataannya, masalah justru bisa ditimbulkan oleh keberadaan sebuah UU. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terkait UU Sisdiknas yang "digugat" oleh masyarakat, MK memutuskan untuk membatalkan Penjelasan Pasal 53 Ayat (1) dan memberi tambahan kata "ikut" pada Pasal 6 Ayat (2) sehingga menjadi, Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

UU BHP juga digugat oleh masyarakat dan MK kemudian menyatakan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tanggal 30 Desember 2009.

Polemik lain yang masih tersisa dalam UU Sisdiknas adalah tentang biaya pendidikan. Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas tegas menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar tidak memungut biaya. Namun, pada banyak pasal lain tegas pula disebutkan bahwa peserta didik dan masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pendanaan pendidikan. MK telah menolak permohonan judicial review terkait ketentuan biaya pendidikan dalam UU Sisdiknas, sehingga diartikan bahwa pengenaan biaya pendidikan kepada peserta didik tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktiknya, di sekolah masih terjadi pungutan-pungutan yang tidak bisa dibedakan dengan biaya pendidikan. Ada juga pungutan yang diberi judul "sumbangan sukarela" yang besarnya ditetapkan oleh pihak sekolah. Banyak orangtua murid tidak berdaya karena anak-anak mereka tersandera sebagai peserta didik. Di sisi lain, tidak sedikit orangtua mengeluhkan mahalnya biaya untuk mengikuti jenjang pendidikan tinggi. Artinya, Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas hanya menjadi hiasan belaka.

Ada tiga hal pokok yang menjadi sorotan terhadap substansi RUU Dikti (http://www.dpr.go.id/id/ruu/kesejahteraan-rakyat/Komisi10/136/RUU-tentang-Pendidikan Tinggi).

Pertama, mengenai status perguruan tinggi negeri (PTN), baik yang umum maupun khusus, yang terdapat pada Pasal 41, yang menyebutkan adanya status PTN Badan Hukum.

Kedua, mengenai pengelolaan keuangan pada PTN dalam Pasal 83 yang menyatakan bahwa penerimaan PTN dari masyarakat (mahasiswa, orangtua mahasiswa dan/atau donatur) tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan pada Pasal 84 yang menyatakan bahwa pola pengelolaan dana PTN selain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara, juga bisa menggunakan pola mandiri dan pola Badan Layanan Umum (BLU).

Ketiga, Pasal 85 menyatakan bahwa PTN dapat menyelenggarakan badan usaha atau portofolio usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Status PTN berbadan hukum seharusnya tidak dimunculkan lagi dalam RUU Dikti, karena sudah ada Putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Dalam Putusan tersebut, MK memerintahkan agar frasa "badan hukum pendidikan" dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.

Dengan pertimbangan dan penjelasan yang sama, maka MK juga membatalkan UU BHP. Apabila ketentuan tentang ini tetap dipaksakan, penulis yakin kelak MK akan membatalkan pula pasal ini. Lain halnya apabila ketentuan tentang badan hukum itu dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan perguruan tinggi swasta?

Pengelolaan keuangan PTN, khususnya yang berkaitan dengan penerimaan dari masyarakat tidak dimasukkan dalam PNBP. Kenapa demikian? Padahal jika dimasukkan PNBP maka secara otomatis akan mengikuti ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Menjadi aneh ketika pengelolaan keuangan di PTN dirancang untuk dikelola secara tersendiri dan tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. PTN adalah milik pemerintah, dibiayai dengan dana negara, dan menerima pendelegasian dari pemerintah untuk melaksanakan tugas pemerintah dalam menyediakan pelayanan pendidikan tinggi yang merupakan amanat konstitusi. Apabila dikelola tersendiri, dikhawatirkan menjadi penyebab tingginya biaya kuliah di PTN.

Dalam RUU Dikti, PTN diberi kesempatan untuk menyelenggarakan badan usaha. Sekalipun dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini akan menyebabkan PTN tidak fokus pada upaya mencerdaskan bangsa. Perlu dikemukakan kembali bahwa PTN adalah pengemban tugas pemerintah yang diamanatkan konstitusi, yaitu untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Bukankah segala kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dapat terlaksana meskipun PTN tidak mempunyai badan usaha? Kebutuhan modal untuk badan usaha bisa menjadi alasan bagi PTN untuk menetapkan biaya kuliah yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar