Rio+20
dan Pembangunan Berkesinambungan
Jeffrey D Sachs ; Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute di
Columbia University, Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Millennium Development Goals
Sumber : KORAN
TEMPO, 22 Juni 2012
Salah satu penerbitan ilmiah terkemuka di
dunia, Nature, baru saja merilis
rapor sekolah yang pedas menjelang dibukanya Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20
mengenai pembangunan berkesinambungan. Nilai yang diberikan pada pelaksanaan
ketiga traktat yang ditandatangani pada akhir KTT Bumi Rio pada 1992 adalah
sebagai berikut: perubahan iklim F, keanekaragaman hayati F, dan upaya
mengatasi desertifikasi F. Apakah umat manusia sebagai sang murid masih bisa
mengelak dikeluarkan dari sekolah?
Kita sudah mengetahui setidak-tidaknya selama
satu generasi bahwa dunia membutuhkan jalan menuju koreksi. Bukannya
menggerakkan ekonomi dunia dengan bahan bakar fosil, kita perlu menggunakan
lebih banyak tenaga alternatif rendah karbon, seperti tenaga angin, tenaga
surya, dan tenaga panas bumi. Bukannya berburu, menangkap ikan, dan membuka
lahan tanpa mengindahkan dampaknya terhadap spesies lainnya, kita perlu
mengatur laju produksi pertanian, perikanan, serta penebangan hutan kita sesuai
dengan daya dukung lingkungan. Bukannya membiarkan masyarakat paling rentan di
dunia tanpa akses layanan keluarga berencana, pendidikan, dan kesehatan dasar,
kita perlu mengakhiri kemiskinan ekstrem serta menurunkan angka kesuburan yang
terus melonjak di negara-negara miskin di dunia.
Singkatnya, kita perlu mengakui, dengan
jumlah penduduk 7 miliar saat ini, dan 9 miliar menjelang pertengahan abad ini,
semua saling terkait dalam suatu ekonomi global yang high-tech serta padat energi, kemampuan kolektif kita untuk
menghancurkan sistem yang mendukung keberlanjutan hidup kita (life support system) sungguh luar biasa.
Namun konsekuensi dari tindakan yang kita lakukan tidak kita sadari sehingga,
tanpa disadari pula, kita sudah berada di tepi jurang kehancuran.
Ketika kita menyalakan komputer dan lampu,
kita tidak menyadari emisi karbon yang dihasilkannya. Ketika kita bersantap di
meja makan, kita tidak menyadari penggundulan hutan akibat pertanian yang tidak
berkesinambungan. Dan ketika miliaran tindakan yang kita lakukan itu bersatu menciptakan
kelaparan serta banjir di sebagian dunia lainnya, mendera rakyat miskin di Mali
dan Kenya yang rentan kekeringan, tidak banyak di antara kita yang menyadari
bahaya keterkaitan global ini.
Dua puluh tahun yang lalu, dunia mencoba
menangani realitas ini melalui serangkaian traktat dan undang-undang
internasional. Perjanjian yang ditandatangani pada KTT Rio yang pertama itu
sungguh menjanjikan: arif, berpandangan jauh ke depan, bersemangat publik, dan
berfokus pada prioritas global. Namun kesepakatan ini belum berhasil
menyelamatkan kita.
Traktat-traktat itu hidup dalam bayangkan
siklus politik, imajinasi, dan media sehari-hari kita. Para diplomat datang ke
konferensi yang diadakan tahun demi tahun untuk melaksanakan perjanjian itu,
tapi hasil utama yang dicapainya adalah pengabaian, penundaan, dan percekcokan
mengenai penafsiran hukum. Dua puluh tahun sudah berlalu, kita cuma memperoleh
tiga angka F untuk dibanggakan.
Adakah jalan lainnya? Jalan melalui
undang-undang internasional melibatkan pakar hukum dan diplomat, tapi tidak
melibatkan pakar rekayasa, ilmuwan, serta tokoh masyarakat di garis depan
pembangunan berkesinambungan. Di jalan ini berserakan rintangan tersembunyi
mengenai pemantauan, kewajiban yang mengikat, negara-negara yang masuk Lampiran
I dan non-Lampiran II, serta ribuan penafsiran hukum lainnya, tapi gagal
memberikan bahasa yang membahas kelanjutan hidup umat manusia itu sendiri.
Kita punya ribuan dokumen, tapi tidak
berhasil berbicara dengan jelas satu sama lain. Apakah kita mau menyelamatkan
diri kita sendiri dan anak cucu kita? Mengapa kita tidak berkata demikian? Pada
KTT Rio+20, kita harus berkata demikian, dengan jelas, tegas, dan dengan cara
yang berujung pada penyelesaian masalah serta pengambilan tindakan, bukan
cekcok serta membela diri. Karena politikus mengikuti opini, bukan memimpin
opini publik, publik itu sendiri yang menuntut kelanjutan hidupnya sendiri,
bukan para pejabat terpilih yang seharusnya menyelamatkan kita. Tidak banyak
pahlawan dalam bidang politik, dan menanti datangnya politikus bakal memakan
waktu terlalu lama.
Maka hasil paling penting yang diharapkan
dari Rio bukan berupa traktat, klausul yang mengikat, atau komitmen politik
lagi, melainkan harus merupakan seruan global diambilnya tindakan. Di seantero
dunia, desakan terus meningkat untuk menempatkan pembangunan berkesinambungan
pada pusat pemikiran dan tindakan global, terutama untuk membantu generasi muda
menghadapi tiga tantangan mendasar--kesejahteraan ekonomi, kebersinambungan
lingkungan, dan inklusivitas sosial--yang bakal menandai era mereka. Rio+20
bisa membantu mereka menghadapi tantangan ini.
Bukannya traktat yang baru, tapi marilah kita
mengadopsi dari Rio+20 ini serangkaian Sustainable
Development Goals (SDGs) yang
bakal menginspirasi suatu generasi untuk bertindak. Seperti Millennium Development Goals yang
membuka mata kita akan kemiskinan ekstrem, dan yang memajukan aksi global
memerangi AIDS, tuberkulosis, serta malaria, SDGs bisa membuka mata generasi
muda hari ini terhadap perubahan iklim, punahnya keanekaragaman hayati, dan
bencana penandusan lahan. Kita masih bisa mewujudkan ketiga traktat Rio itu
dengan menempatkan masyarakat di garis depan upaya ini.
SDGs untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem;
membebaskan sistem energi dari karbon; memperlamban laju pertumbuhan populasi;
memajukan pasokan pangan yang berkesinambungan; melindungi lautan, hutan, dan
daratan kering; serta menangani ketidaksetaraan masa ini bisa memperkokoh suatu
generasi yang menyelesaikan masalah. Para pakar rekayasa dan teknologi dari
Silicon Valley sampai Sao Paolo, Bangalore, dan Shanghai punya
gagasan menyelamatkan dunia yang masih mereka rahasiakan. Universitas di
seantero dunia merupakan rumah dari ribuan siswa serta tenaga pengajar yang
berniat mengatasi masalah praktis di lingkungan komunitas dan negeri mereka.
Dunia usaha, setidak-tidaknya yang baik, sadar bahwa mereka tidak bisa
berkembang dan memotivasi para pekerja dan konsumen kecuali mereka menjadi
bagian dari solusi itu sendiri.
Dunia sudah siap bertindak. Rio+20 bisa
membantu menggerakkan satu generasi yang akan mengambil tindakan itu. Masih ada
cukup waktu bagi umat manusia untuk mengubah nilai F menjadi A dalam rapor
sekolahnya dan lulus dalam ujian akhirnya nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar