Sabtu, 09 Juni 2012

Redefinisi Makna Ariel dan Pancasila


Redefinisi Makna Ariel dan Pancasila
Amalia E Maulana ; Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
SUMBER :  SINDO, 8 Juni 2012


Ariel boleh dipenjara seribu tahun lamanya, tetapi bagi penggemarnya, Ariel tetap ”sesuatu”. Kemunculan Ariel kembali di kancah musik dan disambut Arielmania, tentu menggambarkan kekuatan sebuah brand.

Apakah makna brand Ariel masih sama seperti sebelum terkena kasus? Sudah tentu tidak. Mau atau tidak mau, brandAriel saat ini sudah mengalami era definisi baru. Oleh karena itu, penting bagi manajemen Ariel untuk segera berbenah, mengatur redefinisi brandAriel secara lebih terstruktur. Siapakah the New Ariel? Apa yang menjadi kekuatan musiknya? Bagaimana memastikan agar penggemar (lama dan baru) tidak ragu dalam berinteraksi dengannya.

Berikan alas an kuat untuk tetap datang di setiap konsernya, mendengarkan dan membeli hasil karyanya. Redefinisi sebuah brand ini mutlak dilakukan setelah terjadi guncangan terhadap makna orisinal. Pada saat brandAriel melejit, kesuksesan Ariel dengan bendera Peterpan selalu dikaitkan dengan hal-hal positif. Takdir berkata lain, pada satu titik, terjadi degradasi nilai brand, tercampur dengan aspek-aspek negatif. Ini jelas melemahkan ekuitas brandAriel. Strategi brand setelah lepas dari tragedi akan menentukan laju rekonstruksi persepsi brand Ariel ke arah aspek-aspek positif kembali.

Kontrol ulang terhadap makna brandAriel akan mengembalikan sebagian besar dari nilai-nilainya yang masih bisa diselamatkan. Ini masanya berjuang merebut kembali sisa kekuatan lama. Kaitan redefinisi brandAriel bisa dihubungkan dengan redefinisi makna ideologi Pancasila. Pancasila sebagai sebuah konsep masih tetap luar biasa cemerlang, tetapi bagaimana dengan kedekatan secara emosional dengan audience-nya saat ini? Sebagai sebuah brand (yang mengusung produk berupa ide), Pancasila telah mengalami pasang surut, seperti halnya brand-brand lain.

Belakangan, banyak media memberitakan mulai lunturnya pemahaman dan pengamalan ideologi negara kita ini. Pancasila, seperti halnya Ariel, telah mengalami guncangan terhadap maknanya. Di era Soekarno, ia dikenal sebagai alat pemersatu bangsa dan berhasil ditetapkan dalam tonggak sejarah; diakui oleh bangsa-bangsa lain. Selanjutnya, di era Soeharto, Pancasila lebih mirip sebuah doktrin penguasa. Apa pun yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa dianggap melanggar ideologi bangsa.

Tingkat kepentingan audience bergeser di era Soeharto ini. Kedudukan Pancasila yang awalnya dekat di hati masyarakat bergeser menjadi bentengbenteng semu, yang ditakuti, sehingga makna brand yang awalnya positif menjadi bercampur dengan hal-hal negatif yang diasosiasikan dengan nama brandPancasila. Jika sekarang, di era reformasi, dikatakan bahwa bangsa ini sudah semakin jauh dengan Pancasila,mungkin ini hanyalah sebuah kulminasi dari perjalanan ideologi yang hanya disakralkan tanpa pemahaman dan pengamalan nilai-nilainya dengan baik.

Bahwa keadilan semakin memprihatinkan dan kesejahteraan masyarakat semakin buruk–ini adalah contoh bahwa sudah lama penguasa kita tidak berusaha keras untuk mengamalkan ideologi Pancasila secara benar. Seperti apa Pancasila ini sebaiknya diajarkan? Pemasaran Ideologi yang baik adalah yang memberikan contoh-contoh konkret. Pelatihan yang baik adalah pelatihan langsung praktik, learning by doing istilah populernya.

Bagaimana dengan Pemerintah sendiri? Jika sinetron korupsi dan ketidakadilan masih terus berlangsung di media kita, maka tidak ada lagi yang akan menjadi role model bagi generasi penerus. Sandiwara demi sandiwara yang dipajang setiap hari akan membuat brainwash terselubung–bahwa seperti itulah para leader kita. Ini harus dihentikan.

Redefinisi Makna

Mengenal belum berarti memahami. Memahami makna brand boleh jadi masih hanya permukaannya saja,belum memahami arti yang sebenarnya. Memahami secara mendalam pun, belum tentu akan mengamalkannya bila merasa tidak ada manfaatnya. Ini adalah tantangan terberat dalam brandingide(ologi).

Dalam konteks Pancasila sebagai sebuah brand, pertanyaan: ”What’s in it for me?” harus disiapkan jawabannya oleh pengelola brand. Harus dibuat redefinisi makna Pancasila, disesuaikan dengan relevansi kehidupan generasi masa kini. Bila sudah tampak jelas manfaat buat sayanya, maka mengharapkan generasi baru bisa memahami dan mengamalkan Pancasila, menjadi lebih realistis. Apakah Pancasila bisa bangkit kembali?

Tentu saja bisa apabila Pemerintah sebagai brand guardian atau penjaga dan pengawal brand, mempunyai goodwill untuk redefinisi makna dan melaksanakannya. Demikian juga Ariel, susun ulang janji brand. Walaupun mungkin tidak bisa lagi merebut semua hati, tetapi dengan setia pada janji baru, pastikan brand ini bermakna untuk para Arielmania.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar