Sabtu, 09 Juni 2012

Memilih Pemimpin


Memilih Pemimpin
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SUMBER :  SINDO, 8 Juni 2012
 

Ingar-bingar kursus dan Kongres Pancasila IV di Balai Senat UGM telah usai.Pada satu sisi,kita bersyukur masih sedemikian banyak manusia Indonesia cinta pada Pancasila dengan semangat tinggi.

Apabila tekad dan semangat mereka terjaga dan mampu dikonsolidasikan secara rapi sebagai gerakan nasional, sungguh bukan mustahil ke depan bangsa ini akan kuat, berdaulat, dan mampu menjadi kiblat bagi bangsa asing. Ini merupakan harapan sekaligus pekerjaan rumah bagi panitia kongres dan bangsa Indonesia pada umumnya. Di balik sikap optimistis akan masa depan bangsa, tak bisa ditutup-tutupi bahwa dari kursus dan Kongres Pancasila IV ada kegelisahan, waswas, atau kekhawatiran. Hal dimaksud adalah kecenderungan sikap pragmatis dalam pemilihan umum (pemilu), baik untuk jabatan kepala daerah, anggota legislatif, maupun presiden dan wakil presiden.

Pada pesta demokrasi itu, sangat dikhawatirkan rakyat (calon pemilih) maupun (calon) pemimpin cenderung mengedepankan segi kepraktisan, dan seiring dengan itu melupakan tanggung jawab masa depan bangsa. Lebih konkret (tetapi sungguh buruk), yaitu rakyat hanya mau memilih (calon) pemimpin yang nyata-nyata mau ”membeli” suaranya. Dalam kamus politik,sikap pragmatis dapat diidentikkan dengan money politic. Pada hemat saya, ”dosa besar” eksponen reformasi bagi negeri ini adalah dibukanya keran kebebasan berbicara, bersikap, dan berperilaku begitu lebar tak terbatas alias liberal.

Apa pun boleh dilakukan dengan dalih demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan. Implikasinya,maraknya kekerasan sebagai bagian tak terpisahkan dari semua pemilu kepala daerah, anggota legislatif, atau presiden dan wakil presiden bertali-temali dengan maraknya isu money politic,hampir tidak mungkin dicegah,bahkan eskalasinya meningkat. Dalam banyak kasus, hirukpikuknya praktik money politic berupa pembelian suara dalam berbagai event politik adalah akibat langsung dari sikap pragmatis itu, yaitu menggunakan jalan pintas,yang penting tujuan tercapai, tanpa peduli apakah cara yang ditempuhnya melawan etika,moral,hukum atau tidak.

Mudah diduga mengapa seorang kandidat pemimpin melalui kader-kadernya begitu dermawan membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih. Sejatinya,mereka sedang mengadu untung melalui ”jual-beli suara rakyat”. Tak seorang pun bisa membantah bahwa demi kelangsungan pemilu, uang penting guna menunjang administrasi, sarana- prasarana, dan mobilitas. Apabila uang dimaksud sematamata untuk anggaran itu, tentu jumlahnya terbatas. Artinya, biaya pemilu bisa ditekan menjadi cukup murah, tetapi justru masalahnya bahwa sedemikian besar dana pemilu diperuntukkan menaklukkan hati pemilih.

Sikap pragmatis demikian itu sejatinya merupakan pelecehan terhadap harkat dan martabat rakyat dikarenakan memosisikannya sebagai pihak yang dapat dibeli, terutama cita-cita dan idealismenya. Dari manakah uang itu diperoleh? Kajian empiris menunjukkan ternyata ada cukong- cukongnya. Mereka itu adalah para pengusaha (calon investor) untuk berbagai proyek infrastruktur ataupun sumber daya alam setempat. Secara diam-diam telah ada memorandum of understanding (MoU) antara calon pemimpin dan calon investor tersebut.

Maka ketika jabatan betul-betul telah dimenangkan, kontrak pun segera ditandatangani. Dengan kata lain,sumber daya alam dan segala inf-rastruktur telah digadaikan lebih dulu kepada calon investor tersebut. Semakin menyesakkan dada ketika rakyat sendiri sebagai pemilih juga bersikap pragmatis. Untuk apa berpikir tentang idealisme pemimpin, toh janji-janji mereka tak bisa dipegang untuk ditepati. Rakyat telah tercekoki dengan berbagai slogan bahwa: politik itu kotor, politisi ulung adalah orang yang pandai berbohong, dan pemilu merupakan perjuangan mencari nafkah melalui jabatan.

Sikap pragmatis (calon) pemilih itu, sungguh telah berseberangan dengan slogan ”suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi, vox Dei). Slogan yang bernilai religius dan terasa anggun itu, secara perlahan tapi pasti telah bermetamorfosa menjadi suara gemerencing uang (vox populi, vox argentums). Nyatalah bahwa melalui proses reformasi, pemimpin dan rakyat sama-sama terlibat dalam sikap pragmatis. Kondisi seperti ini mengingatkan kita pada perilaku agresor pada era penjajahan.Pada era kolonialisasi itu, agresor menggunakan kekuatan senjata untuk menaklukkan pendudukan di daerah jajahannya.

Sementara era reformasi,pemimpin memperoleh jabatannya dengan cara membeli suara menaklukkan rakyat pemilih dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Setelah jabatan diperoleh, pemimpin itu tak bedanya dengan penjajah, akan berperilaku gemar memeras, menindas, dan korupsi melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya. Dihadapkan pada kondisi perpolitikan yang cenderung pragmatis itu,kiranya perlu disimak ajaran moralitas hukum bahwa pemimpin adalah cermin dari keadaan masyarakatnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menangkap aspirasi masyara-katnya, memberi contoh-keteladanan serta senantiasa berbuat baik untuk yang dipimpinnya; sedangkan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mampu memilih pemimpin yang amanah. Ajaran demikian mendorong semua komponen bangsa agar mau mawas diri, diikuti dengan usaha menangkal ter-hadap kecenderungan sikap pragmatis yang semakin menggejala itu.Koreksi sosial perlu dilakukan secara menyeluruh,dan hal demikian dilakukan mulai dari diri masing-masing.

Janganlah memilih pemimpin atau merasa layak menjadi pemimpin, sedangkan kesadaran diri membisikkan bahwa ada orang lain yang lebih pantas, cakap, dan bijaksana daripada dirinya. Saya yakin, ajaran mo-ralitas hukum di atas sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.Agar nilai-nilai itu mengejawantah sebagai budaya bangsa, marilah kita pikirkan bersama strategi pelembagaannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar