Pemimpin,
Pernyataan, dan Pelayanan
Gede Prama ; Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri, Fasilitator
Meditasi di Bali Utara
SUMBER : KORAN
TEMPO, 7 Juni 2012
Tatkala mantan Presiden Amerika Serikat
George W. Bush, mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, dan Perdana
Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dilempar orang, ia tidak hanya bercerita
tentang menurunnya wibawa lembaga kenegaraan, tapi juga mewartakan keprihatinan
dunia kepemimpinan.
Kelangkaan pemimpin berkualitas sejujurnya
bersifat interaktif. Nyaris semua persoalan berputar-putar rumit tanpa
terobosan berarti. Pada saat yang sama, tuntutan masyarakat akan kualitas
pemimpin juga naik. Apalagi di zaman kebebasan media, yang disebut berita
adalah keburukan pemimpin, sehingga citra pemimpin tidak sebaik dulu. Dalam
sejumlah keputusan penting, pemimpin malah dijadikan tontonan. Diberi tepuk
tangan sambil jempol tangan ditunjukkan mengarah ke bawah sebagai tanda
mengecewakan.
Tidak adil meletakkan semuanya pada pemimpin.
Ada memang pemimpin yang membuat sejarah, tapi sejarah juga membuat pemimpin.
Ketidakpekaan pemimpin akan tanda-tanda zaman sehingga kerap ketinggalan
sejujurnya adalah hasil peradaban manusia yang mendewakan akal secara
berlebihan. Akal kerap berjanji bahwa ia bisa menguasai dunia.
Dan ternyata
melalui sejumlah "kecelakaan kepemimpinan", klaim tersebut tidak
terbukti.
Dalam sejumlah kekisruhan politik yang melibatkan jumlah uang berlimpah,
bagian akal yang dipilih adalah yang bisa membantu seseorang menumpuk uang dan
mempertahankan kekuasaan. Ini membuat dunia kepemimpinan berwajah amat
menyentuh hati. Dalam kisah Libya dengan Muammar Qadhafi malah lebih
mengenaskan, pemimpin harus turun dengan cara mengenaskan. Dalam cerita
Ferdinand Marcos di Filipina bahkan jasadnya pun tidak diperkenankan pulang.
Sebagai bahan penggalian, cermati dialog
pemimpin dan pengikut. Sejujurnya, jarang ada dialog, yang kerap terjadi adalah
monolog bertabrakan dengan monolog. Cerita ditutupnya jalur pengiriman hasil
tambang di Kalimantan oleh penduduk setempat karena menuntut bahan bakar
bersubsidi lebih banyak lagi menunjukkan, baik pemimpin maupun rakyat sama-sama
sedang melakukan monolog. Dialog mungkin terjadi bila kedua kubu menyisakan
ruang untuk orang lain. Ketegangan terjadi karena pikiran kedua kubu sama-sama
didominasi keyakinan bahwa "saya benar, maka harus didengar". Telah
lama manusia dicengkeram oleh keyakinan ini. Apa lagi yang ada di balik ini
kalau bukan pendewaan akal secara berlebihan. Akibatnya, terjadi keterpisahan
antara pemimpin dan rakyat. Sifat terbuka, rendah hati, serta pelayanan kerap
dimasukkan ke kotak tolol dan menderita.
Padahal Socrates pernah berpesan,
satu-satunya alasan kenapa seseorang disebut bijaksana adalah menyadari bahwa
ia tidak tahu apa-apa. Filsuf Karl Popper lebih rendah hati lagi dengan
mengatakan ia tidak tahu apa-apa. Ahli fisika di zaman Newton pernah dengan
pongah menyebut bahwa tertinggal sedikit lagi pertanyaan tentang alam semesta
yang belum terjawab. Tapi, saat mekanika kuantum lahir, ternyata masih terlalu
banyak ketidaktahuan manusia akan alam semesta. Itu menyangkut ilmu eksakta
bernama fisika, tidak terbayang apa yang terjadi dalam ilmu manusia yang jauh
lebih rumit.
Dalam ilmu kepemimpinan ditulis, pikiran
seperti parasut, berguna kalau dibuka. Bila parasutnya tidak terbuka (baca:
pikiran tidak terbuka), pemimpin jatuh dengan tubuh yang hancur. Ini pelajaran
terpenting yang ditulis Muammar Qadhafi dan Ferdinand Marcos dalam sejarah
kepemimpinan. Sekaligus menyisakan pekerjaan rumah, bagaimana sebaiknya
pemimpin membuka parasut pikirannya.
Sudah dicatat dalam sejarah panjang
kepemimpinan, pemimpin terlalu banyak mengemukakan pernyataan, sehingga ruang
untuk pertanyaan dan pelayanan tidak tersisa. Itu sebabnya, di tingkatan
kepemimpinan yang lebih tinggi, pertanyaan menunjukkan kualitas seseorang. Saat
krisis terjadi, pemimpin berkualitas rendah akan bertanya emosi "mau
apa?", pemimpin agung dengan tersenyum tenang bertanya "ada
apa?", sebagai pembuka dialog. Dialog tidak selalu membawa kepastian
keberhasilan, kerap malah membawa penyadaran betapa bodohnya manusia.
Lebih-lebih bila pertanyaan dialogis
dibimbing oleh spirit kepemimpinan yang menyentuh hati, jauh dari marah dan
dendam. Mungkin itu sebabnya, Desmond Tutu memberi judul karyanya dengan No
Future Without Forgiveness. Tanpa memaafkan, tidak ada masa depan. Mahatma
Gandhi di akhir hidupnya bercerita, ia bahagia setelah hatinya tidak lagi
berisi orang yang layak dimusuhi. Thich Nhat Hanh menyebut hidup yang bebas
permusuhan sebagai peace is every step. Kedamaian ada di tiap langkah.
Mungkin itu sebabnya, Jalaluddin Rumi menyebut agamanya dengan agama cinta.
Murid di jalan meditasi mengerti, pikiran
bisa jadi kawan, bisa jadi lawan. Bila dilatih meditasi, pikiran adalah kawan
mengagumkan. Bila tidak dilatih, pikiran menjadi ibu penderitaan. Nyaris semua
penyakit psikis khususnya--termasuk dalam hal ini pemimpin yang mengalami
kecelakaan--berkaitan dengan pikiran yang tidak terlatih. Itu sebabnya, pikiran
tidak terlatih digambarkan sebagai air terjun yang ganas. Semuanya diterjang
sehingga menimbulkan luka di mana-mana. Awalnya, meditasi melatih pikiran menjadi
air sungai yang mengalir lembut sejuk melalui belajar menyaksikan apa saja yang
muncul dengan penuh penerimaan dan pengertian. Kemudian pikiran diminta
"istirahat" melalui konsentrasi. Ujungnya, meditasi membawa pikiran
pulang ke samudra. Di rumah (home) samudra ia berjumpa kedalaman.
Ternyata hujan tidak melakukan penambahan, kemarau tidak melakukan pengurangan
(baca: pujian tidak melahirkan kecongkakan, cacian berhenti menjadi awal
pertengkaran). Kendati demikian, samudra tidak pernah berhenti melayani makhluk
dalam jumlah tidak berhingga. Sesampai di sini baru mungkin pemimpin berhenti
menjadi tontonan, mulai menjadi tuntunan. Ia menuntun tidak dengan pernyataan,
melainkan dengan pelayanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar