Paradigma
Pembangunan Sosial
Haryono Suyono ; Ketua
Umum PWRI
SUMBER : SUARA
KARYA, 11 Juni 2012
Gonjang-ganjing di Yunani dan banyak negara Eropa lainnya,
termasuk debat besar di Amerika Serikat (AS), dewasa ini, sebagian besar
disebabkan negara-negara tersebut menganut pembangunan dan jaminan sosial yang
sangat royal kepada rakyatnya di masa lalu. Ini menyeret negara-negara tersebut
mengambil utang besar dan sangat diberatkan dengan adanya pembayaran cicilan
dan bunga yang makin membesar.
Namun, upaya untuk mengubah paradigma pembangunan dan jaminan
sosial bagi rakyatnya sukar dilakukan karena rakyat sudah sangat terbiasa
dimanja oleh berbagai jaminan yang tidak membawa dampak besar ketika jaminan
itu diberikan untuk penduduk yang kecil jumlahnya. Tetapi, manakala besaran
jaminan dan jumlah yang dijamin makin membengkak, maka beban negara untuk memberikan
jaminan itu menjadi semakin besar.
Perubahan secara gradual yang dilakukan oleh banyak negara,
dimulai dengan perubahan kurikulum pada berbagai perguruan tinggi yang
menghasilkan tenaga pembangunan sosial di Eropa, Amerika, bahkan di Asia yang
dipelopori India tidak atau kurang menarik perhatian. Tampaknya mereka tetap
silau dengan pelayanan sosial yang dilakukan oleh negara-negara dengan
kebijakan social welfare yang
memberikan pelayanan sosial serba gratis seakan seperti memberikan charity yang
dilakukan dan dianggap sebagai kewajiban negara terhadap rakyatnya yang miskin
dan menderita.
Menjelang Hari Keluarga Nasional 2012, akhir bulan ini, ada
baiknya para penyelenggara negara makin peka dan mulai memikirkan perubahan
paradigma pembangunan yang bersifat charity dan mengubahnya menjadi pembangunan
yang didasarkan atas hak-hak asasi manusia (HAM). Yaitu, memberikan kesempatan
pilihan intervensi pembangunan secara mandiri dan demokratis.
Contoh yang sangat menyolok adalah gembar-gembor-nya pelayanan
kontrasepsi, pendidikan dan kesehatan gratis dan lainnya yang dapat diperoleh
oleh keluarga miskin di Puskesmas atau pusat pelayanan lainnya. Alangkah
indahnya kalau pasangan usia subur muda yang harus antri ke Puskesmas diberikan
dukungan pemberdayaan ekonomi yang memadai. Sehingga, mereka tidak perlu
pagi-pagi ke Puskesmas yang jauh dari tempat tinggalnya sekedar untuk mengambil
pil atau pelayanan lain yang gratis. Kalau pasangan usia subur itu mendapat
dukungan pemberdayaan ekonomi yang memadai, bisa memperoleh penghasilan,
sehingga bisa dengan mudah memperoleh supply
pil dari jaringan Posdaya atau Posyandu di kampungnya.
Dana untuk pemberian subsidi secara besar-besaran untuk pelayanan
pil atau kontrasepsi lain secara gratis ini dapat diperbantukan kepada keluarga
miskin untuk kegiatan usaha mikro yang ada di pedesaan. Sehingga, keluarga
miskin dapat dientaskan dari lembah kemiskinan dan memberi kesempatan bidan dan
dokter secara reguler mengadakan pelayanan yang bermutu di desa-desa atau di
tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh penduduk pedesaan. Misalnya, dilakukan
pada sore atau malam hari diluar jam kerja biasa.
Kegiatan itu dapat menolong dikembangkannya pelayanan kontrasepsi
dan kesehatan secara mandiri atau pelayanan sosial lainnya yang tidak lagi
berkonotasi gratis, tetapi harus diambil pada saat jam kantor atau jam-jam
dimana penduduk biasa dapat bekerja dan berdagang di pasar atau warung.
Perubahan paradigma seperti ini akan menempatkan seluruh penduduk, utamanya
penduduk usia subur muda dan dinamik dalam arus pembangunan.
Dengan demikian tenaga potensial bukan diberi serba gratis, tidak
bekerja karena harus antri pada fasilitas umum, tetapi mereka harus bekerja.
Sehingga, menumbuhkan fasilitas-fasilitas baru yang memberi lapangan kerja yang
lebih luas, sekaligus membebaskan pemerintah dari hutang yang makin membengkak
karena harus memberi pelayanan serba gratis kepada rakyat.
Perubahan paradigma ini menempatkan pos pemberdayaan keluarga
(Posdaya) yang mulai ditanggapi diberbagai konperensi internasional sebagai
salah satu jalan keluar di mana rakyat banyak memperoleh pemberdayaan secara
paripurna. Rakyat banyak terutama keluarga miskin muda, mulai diperkenalkan
dengan paradigma persiapan untuk bekerja keras, gotong royong dan mandiri.
Sehingga, muncul gagasan hidup bersubsidi silang dalam pemeliharaan kesehatan,
kesejahteraan antar generasi dan antar keluarga kaya dan miskin. Keluarga muda
diharapkan memberikan sumbangan besar kepada akumulasi modal yang dapat
mendorong pemberian sumbangan pada keluarga yang sama di usia yang lebih tua
tetapi sumbangannya lebih ringan. Atau keluarga miskin yang sumbangannya dalam
pundi bersama yang lebih kecil dibandingkan dengan keluarga kaya yang bisa
memberi sumbangan pada pundi bersama dalam jumlah yang lebih besar.
Gotong royong yang diatur dalam sistem yang adil itu memberi
jaminan bahwa pelayanan pembangunan sosial tidak perlu gratis dan
dibeda-bedakan tetapi dapat memberikan treatment yang sama, karena bebannya
ditanggung seluruh keluarga atau penduduk secara adil dan merata. Untuk itu,
diperlukan komitmen dari pemimpin bangsa untuk mengembangkan pendekatan
paradigma baru sebagai pemimpin visioner. Bukan pemimpin yang tampak hebat
dengan pelayanan gratis, tetapi sebanranya malah membebani rakyatnya dengan
pajak tinggi, utang atau pengurangan dana pembangunan secara besar-besaran.
Dalam program sosial, paradigma yang berubah ini perlu segera
dianut. Keberhasilannya akan mendorong pelayanan di desa menjadi lebih baik.
Pelayanan penduduk lansia yang jumlahnya lebih 20 juta akan berubah pada basis
keluarga. Perubahan paradigma perlu menjadi perhatian dan komitmen bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar