PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Paradigma
Baru Pembangunan
Laporan Diskusi Panel
Terbatas KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Pengantar Redaksi
Indonesia akan menghadiri konferensi
lingkungan sedunia, Rio+20, tanggal 20-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil,
bertema ”Masa Depan yang Kita Inginkan”.
Menyambut konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, harian ”Kompas” bekerja
sama dengan Oxfam menyelenggarakan
diskusi panel terbatas. Panelis adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden,
Prof Dr Emil Salim; staf ahli Menteri Lingkungan Hidup, Dana A Kartakusuma;
Wakil Ketua Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Kamar Dagang dan Industri
Indonesia Shinta Widjaja Kamdani; Koordinator Forum Masyarakat Sipil untuk
Keadilan Iklim Siti Maimunah, serta moderator Hendro Sangkoyo dari Sekolah
Demokratik Ekonomika. Diskusi juga mengundang penanggap aktif yang mewakili
berbagai organisasi masyarakat madani. Laporan diskusi disajikan berikut ini
serta di halaman 6 dan 7.
Pemerintah Indonesia dan organisasi
masyarakat madani akan menghadiri Konferensi PBB tentang Pembangunan
Berkelanjutan itu. Konferensi ini memperingati 20 tahun Konferensi PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) pada 1992 di Rio de Janeiro serta 10 tahun
Pertemuan Puncak Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg,
Afrika Selatan.
Konferensi Rio+20 fokus pada dua topik, yaitu
ekonomi hijau (green economy) dalam
konteks pembangunan berkelanjutan untuk penghapusan kemiskinan dan kerangka
institusi untuk pembangunan berkelanjutan. Ada tiga pilar sebagai kerangka
konferensi: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan. Ada tujuh area pembahasan
prioritas, yaitu penciptaan lapangan kerja, keamanan pangan dan pertanian
berkelanjutan, kota-kota yang berkelanjutan, energi, air, pemanfaatan laut,
serta kesiapan menghadapi bencana.
Meski membawa tema yang menyuarakan
kepedulian pada masalah sosial dan lingkungan serta keseimbangan pembangunan
antara negara kaya dan negara berkembang, pengalaman dari rangkaian konferensi
lingkungan sebelum ini menimbulkan keraguan tercapainya pembangunan yang adil.
Isu utama pada dasarnya tidak berubah, yaitu
benturan kepentingan dalam perdagangan, sektor finansial, dan teknologi yang
menjadi kepentingan kelompok negara kapitalis. Dalam konteks lingkungan,
terutama perubahan iklim, pencemaran per kapita negara maju berdasarkan
pelepasan karbon ke udara lebih besar daripada negara berkembang.
Untuk mengompensasi pencemaran di negara
kaya, muncul skema-skema penyelamatan lingkungan, salah satunya melalui alih
teknologi. Kenyataannya, alih teknologi tidak terjadi karena menyangkut
keberlanjutan dan maksimalisasi kekayaan korporasi negara maju. Pembagian
manfaat yang adil antara negara kaya dan negara berkembang juga tak terwujud.
Ekonomi hijau sebagai pembangunan
berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan dan sosial, dalam praktiknya,
dimanfaatkan negara kaya untuk terus membangun seperti biasa demi memaksimalkan
keuntungan. Contohnya, penanaman pohon dianggap menyelesaikan pencemaran
karbon, benih tanaman pangan hasil rekayasa genetika serta benih tahan banjir
dan kekeringan diproduksi korporasi transnasional sehingga membuat petani
negara berkembang tergantung. Skema mengompensasi pencemaran karbon di negara
kaya dilakukan dengan membantu pembangunan negara berkembang asalkan memelihara
lingkungan, biasanya berupa hutan. Intinya, tidak terjadi perubahan paradigma
pembangunan yang menguras sumber daya alam meski menggunakan label ekonomi
hijau.
Perubahan Paradigma
Ada nada pesimistis konferensi Rio+20 akan
membawa hasil nyata untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Karena itu, muncul suara agar Indonesia
melakukan perubahan paradigma pembangunan untuk memperkuat dalam negerinya.
Dengan cara itu Indonesia dapat mengambil peran menjadi jembatan antara negara
kaya dan negara berkembang.
Syaratnya, pembangunan ekonomi bukan lagi
mengejar pertumbuhan tinggi, tetapi optimalisasi pertumbuhan. Pembangunan yang
hanya mengejar pertumbuhan berdampak pada masyarakat sosial berupa kemiskinan
dan ketimpangan serta lingkungan dalam wujud perubahan iklim dan merosotnya
keanekaragaman hayati. Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) untuk menurunkan
hingga separuh jumlah orang miskin pada 2015 cenderung tidak akan tercapai.
Akar kerusakan sosial dan lingkungan adalah
gagalnya pasar menampung kebutuhan sosial dan lingkungan dalam pasar ekonomi.
Jasa sosial dan lingkungan tidak punya nilai karena tidak punya ”harga pasar”.
Udara, misalnya, dianggap barang bebas sehingga orang merasa bebas mencemari.
Pembangunan berkelanjutan Indonesia harus
beralih dari sekadar pembangunan ekonomi menjadi pembangunan ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Bukan hanya pemerintah, dunia usaha juga harus mengubah
paradigmanya dari hanya mencari untung menjadi keuntungan berkelanjutan dengan
kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Hanya dengan mengikutsertakan masyarakat
serta menjaga kohesi sosial dan membangun demokrasi substansial, Indonesia akan
tetap ada hingga setidaknya tahun 2045. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar