Janji
Gunung Emas
Sukardi Rinakit ; Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Beberapa hari terakhir ini saya teringat
orang muda bijaksana dari Kebumen, Romo Jatmiko, putra tokoh yang bekerja di
belakang layar era revolusi, Romo Yudho. Dia mengatakan kepada penulis, akan
lebih sempurna jika empat pilar yang sekarang disosialisasikan sepenuh hati
oleh Taufiq Kiemas dan teman-teman Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah satu
pilar lagi, yaitu bendera Merah Putih.
Mungkin romo muda itu benar. Beberapa teman
ketika naik taksi di luar negeri sering kali malu mengaku orang Indonesia.
Mereka selalu menyebut negara lain sebagai asal mereka. Entah karena malu
dianggap berasal dari negara miskin, korup, sepak bolanya kalah melulu, atau
sarang teroris. Dengan memasukkan bendera Merah Putih sebagai pilar kelima,
kita berharap siapa pun bangga sebagai bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis
berharap pada 2014 akan lahir pemimpin nasional yang tidak hanya mahir berjanji
gunung emas (sekadar janji manis), tetapi juga mempunyai ketegasan kepemimpinan
dan sepenuh hati memanggul lima pilar kita: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, NKRI, dan Merah Putih.
Masyarakat Melodramatik
Mencermati beberapa hasil survei terakhir
tampak bahwa nama-nama yang muncul dan menjadi pilihan publik untuk Pemilu 2014
secara umum tidak bergeser dari figur-figur yang selama ini sudah beredar.
Sebagian orang pesimistis melihat fenomena itu. Saya lebih suka menempatkan
diri di sisi optimistis. Dengan satu keyakinan, setiap orang bisa berubah dan
menjadi garuda demi bangsa dan negara.
Menariknya, nama-nama yang menjadi pilihan
publik untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden pada pemilu nanti adalah
para tokoh yang selama ini dipersepsikan mempunyai ketegasan sikap dan jujur.
Untuk calon presiden, popularitas direngkuh oleh Prabowo Subianto, Megawati
Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Untuk calon wakil presiden muncul Jusuf Kalla,
Mahfud MD, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Surya Paloh.
Kecenderungan itu membuktikan, seperti sudah
saya sampaikan hampir satu dasawarsa lalu, karakter bangsa ini adalah
melodramatik. Ciri utamanya adalah mudah kasihan, mudah bosan, dan mudah lupa.
Khusus karakter mudah bosan, ditandai dengan gerak bandul preferensi masyarakat
yang selalu ekstrem.
Bosan dengan Bung Karno yang orator,
masyarakat memilih Pak Harto yang pendiam dan bekerja. Karena ia bekerja
terlalu keras sehingga menjadi eksektif (otoriter), rakyat bermimpi tentang
pemimpin yang demokratis. Abdurrahman Wahid, seorang demokrat sejati, akhirnya
menjadi pilihan. Ketika Gus Dur dianggap terlalu banyak bicara, harapan
lahirnya pemimpin yang sedikit bicara menyeruak. Megawati Soekarnoputri
akhirnya menjadi tumpuan.
Megawati yang hemat bicara jika tidak
menyangkut hal-hal penting dan mendasar akhirnya dipersepsikan kurang cerdas.
Padahal, secara rasional, jika tanpa kecerdasan, mustahil Mega mampu menjaga
soliditas PDI- P sampai sekarang. Namun, persepsi publik telanjur menebar.
Mimpi tentang pemimpin yang cerdas tak bisa dibendung. Susilo Bambang Yudhoyono
akhirnya terpilih menjadi Presiden. Sekali lagi, bandul bergerak ekstrem.
Publik kecewa dengan SBY karena meski pandai, SBY dianggap miskin ketegasan.
Karakter melodramatik tersebut boleh dinilai,
baik maupun buruk, tergantung dari paradigma penilai. Dari sudut baik, karakter
itu menandakan bahwa rakyat tidak pernah berhenti berharap. Mereka tidak pernah
berputus asa. Jika pada akhirnya mereka mendapatkan pemimpin yang tidak sesuai
harapan, mimpi baru mereka bangun. Ratu Adil mereka kreasi di alam bawah sadar.
Sikap ini melahirkan spirit ”sabar-subur”. Siapa yang sabar, di ujung
perjalanan akhirnya akan mendapatkan limpahan rahmat.
Dari perspektif negatif, karakter
melodramatik dianggap sebagai sikap tidak konsisten dan lemah. Rakyat mudah
dibohongi oleh siapa pun yang mampu memanipulasi mereka dengan komunikasi
politik dan pendekatan budaya politik yang tepat. Rakyat mudah dijadikan alat
politik oleh siapa pun yang mahir berjanji gunung emas dan mempunyai sumber
daya politik memadai.
Kuatnya karakter melodramatik pada bangsa
Indonesia secara hipotesis disebabkan oleh rendahnya pendidikan masyarakat.
Selain itu, diduga juga dipengaruhi sejarah kampung. Dominasi masyarakat tempo
dulu yang hidup di pedesaan dan menjadi petani padi sikap hidupnya cenderung
siklis, jam karet, mengikuti ketidakmenentuan secara relatif datangnya musim.
Tidak mengherankan jika sikap mereka cenderung mudah berubah tergantung siapa
yang bisa ”mendonder” alam bawah
sadar mereka dengan janji-janji gunung emas.
Menyimak figur-figur yang muncul sebagai
calon pemegang kendali republik, meski tidak sepenuhnya sesuai harapan karena
beberapa kelemahan yang melekat pada mereka, saya percaya bahwa mereka bukanlah
ahli janji gunung emas. Ini era animum
fortuna sequitur (keberuntungan mengikuti keberanian). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar