Pancasila,
Ideologi Terbuka
Yohan Wahyu ; Litbang
KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 4
Juni 2012
Pancasila tidak ”jatuh dari langit” meskipun
nilai-nilai hakikinya merupakan hasil penggalian dari bumi Nusantara ini.
Proses dialektika menjadi ruang bagi lahirnya dasar negara yang kini dinilai
banyak orang ditanggalkan itu.
Boleh jadi, Soekarno dalam pidatonya di
Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), 1 Juni
1945, sudah memperkirakan, gagasannya soal dasar negara akan menimbulkan
reaksi. Tidak heran jika kemudian Soekarno menyiapkan sejumlah versi jika
gagasannya tidak mendapat tempat di sidang tersebut.
Atas usulan seorang ahli bahasa, Soekarno
menawarkan nama Pancasila dengan lima dasar, yakni Kebangsaan, Internasionalisme,
Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan. Jika Pancasila tidak disepakati, Bung
Karno menawarkan skenario kedua dengan Trisila yang terdiri dari Sosio
Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Jika ini pun tidak diterima,
Soekarno menawarkan versi ketiganya, yakni dasar dari semua sila Pancasila,
hanya ada satu semangat, yakni gotong royong.
Panggung dialektika soal dasar negara ini
tidak lepas dari tarik-menarik antara kekuatan nasionalis sekuler dengan
nasionalis Islam. Kelompok pertama lebih menginginkan dasar negara bertumpu
pada aspek kebangsaan, sedangkan kelompok lain berharap Islam. Puncaknya,
sebuah tim kecil yang berjumlah sembilan orang dibentuk untuk merumuskan
kembali redaksional dasar negara yang kemudian menghasilkan apa yang disebut Piagam
Jakarta 22 Juni 1945.
Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta tak
ubahnya hasil kompromi, khususnya di asas pertama dasar negara, yakni
”ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Penambahan tujuh kata selain Ketuhanan dalam sila tersebut bagi golongan Islam
saat itu dianggap penting sebagai bentuk pengakuan (Yudi Latif, 2011).
Namun, naskah Pancasila kembali berubah
setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk pada 12 Agustus
1945. Selain memilih Soekarno-Hatta sebagai pasangan Presiden dan Wakil
Presiden, PPKI juga menyetujui naskah ”Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD
1945 tanpa ”tujuh kata”. Rumusan yang baru, yakni ”Ketuhanan Yang Maha Esa”,
digunakan hingga kini. Pencoretan tujuh kata merupakan peran Hatta mendekati
tokoh-tokoh Islam demi menjaga persatuan bangsa.
Pergulatan pemikiran soal dasar negara belum
berhenti. Tahun 1958, perdebatan soal dasar negara kembali terjadi di
Konstituante, dewan pembuat undang-undang hasil Pemilu 1955. Partai-partai
Islam seperti Masyumi, NU, Perti, dan Sarekat Islam menghendaki Islam sebagai
dasar negara. Sementara partai-partai nasionalis lebih menghendaki Pancasila.
Perdebatan berakhir dengan Dekrit Presiden Soekarno yang di antaranya berisi
kembali ke UUD 1945, demokrasi terpimpin, dan pembubaran Konstituante. Dengan
kembali ke UUD 1945, otomatis Pancasila tetap menjadi dasar negara.
Perdebatan soal Pancasila ”terhenti” di era
Orde Baru. Depolitisasi dilakukan untuk membatasi ruang gerak rakyat, terutama ke
politik. Azyumardi Azra mencatat, organisasi sosial kemasyarakatan melakukan
reorientasi menjadi ”gerakan kultural” daripada gerakan politik, terutama
dengan kebijakan asas tunggal, akhir 1980-an (Kompas, 25 April 2007).
Orde Baru lebih memosisikan Pancasila sebagai
ideologi negara yang harus ”diselamatkan” dari apa pun. Negara begitu masif
menggelar penataran Pancasila bagi seluruh warga. Pancasila dijadikan mitos
meskipun sejatinya adalah realitas.
Di era reformasi, muncul ”negasi” kepada
Pancasila seperti negasi terhadap semua praktik Orde Baru yang menyimpang.
Menarik mengingat pemahaman Nurcholish Madjid
tentang Pancasila. Cak Nur melihat Pancasila sebagai produk pikiran modern,
ideologi yang dinamis, tidak statis. Kedinamisan Pancasila menjadikannya
sebagai ideologi terbuka yang tidak mungkin mendapat tafsiran sekali jadi untuk
selama-lamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar