Senin, 04 Juni 2012

Memudarnya Jati Diri Bangsa


Memudarnya Jati Diri Bangsa
Toto Suryaningtyas ; Litbang KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 4 Juni 2012


Oleh karena itu, Saudara-saudara, ini permintaan persoonlijk batin saya. …, sebenarnya Pancasila ini sudahlah, jangan diperdebatkan lagi. Het heeft zijn nut bewezen, telah terbuktilah guna tepatnya Pancasila.” (Presiden Soekarno, peringatan lahirnya Pancasila, 5 Juli 1958, di Istana Negara Jakarta)

Bertubi-tubi serangan politik terarah ke Pancasila. Hingga 13 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, cara pandang warga bangsa terhadap Pancasila belum satu. Cuplikan pernyataan Presiden Soekarno di atas menggambarkan pecahnya cara pandang sosio-politik masa itu. Sidang-sidang Konstituante (dewan pembentuk undang-undang) berhari-hari dihangatkan dengan pertentangan pendapat, memilih falsafah Pancasila atau falsafah Pancasila yang bernuansa keagamaan.

Perdebatan terkait penerimaan Pancasila sebagai dasar negara formal memang tak lagi terjadi saat ini. ”Jarak” sosiologis masyarakat dengan Pancasila semakin dekat, paling tidak dalam tataran pengetahuan kognitif. Konteks persoalan yang dihadapi pun tak lagi soal mempertentangkan pilihan dasar negara, tetapi lebih pada perebutan wacana publik atas definisi praktis Pancasila.

Pada masa Orde Baru, definisi politik diarahkan agar organisasi sosial politik menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Kini, syarat itu ”melunak”. Ambil contoh, Undang-Undang Politik (UU Nomor 2 Tahun 2008, Pasal 9) yang mengubah ketentuan asas tunggal parpol dengan ”tak bertentangan dengan Pancasila”. Tengok pula implikasi definisi ulang Pancasila dalam derivasi perundangan lain. ”Liberalisasi” kebijakan kini terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan, mulai sumber daya alam, komunikasi, penanaman modal, investasi, hingga pertanahan. Pasal 33 UUD 1945 pun terkena komodifikasi dalam amandemen.

Tak dimungkiri, definisi Pancasila mengalami tegangan sosial politik akibat definisi yang berbeda-beda pada tiap rezim yang berkuasa. Pada masa Soekarno, Pancasila adalah jati diri bangsa untuk mempersatukan. Di masa Soeharto, Pancasila menjadi alat politik yang melayani rezim. Kini, Pancasila mengalami kekosongan makna, dan perlahan menjadi ”dongeng sejarah”, semua orang mengetahui ceritanya tetapi tak lagi mengalami atau melaksanakan nilai-nilainya.

Mengenal Pancasila

Lambat disadari, problem yang mengemuka setelah 14 tahun reformasi adalah kekosongan definisi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sejumlah kalangan mulai sadar munculnya paham menyimpang, seperti fundamentalisme dan liberalisme masif akibat absennya Pancasila sebagai jati diri dalam kehidupan berbangsa.

Padahal, ruang kosong dalam ideologi itu sebenarnya menanti diisi aliran gagasan yang sudah lama dikenang publik. ”Kehampaan” itu bukan dalam arti ketiadaan aturan dan pemahaman, tetapi dalam perilaku dan kesadaran etis. Menyitir pengamat politik Yudi Latif, Pancasila mengalami problem ”inflasi luar biasa” akibat pengumbaran kata-kata yang menjadikannya pepesan kosong (Kompas, 27 Mei 2011).

Pengetahuan tentang Pancasila sebenarnya ada. Dalam jajak pendapat terbaru terlihat hampir seluruh responden (90 persen) yang mendengar kata ”Pancasila”, pertama-tama mengartikan frasa itu dalam benak mereka adalah dasar negara, sumber hukum, panutan langkah, dan persatuan. Tak satu pun jawaban responden memberi makna di luar makna umum sebagai cara pandang hidup berbangsa, apalagi memberi arti maupun nada (tone) negatif.

Merunut jajak pendapat Kompas tentang Pancasila lima tahun terakhir, terlihat konsistensi jawaban responden. Salah satu yang menonjol, penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara yang nyaris seluruh responden (sekitar 95 persen). Selain penerimaan yang nyaris sempurna, penerimaan terhadap upaya sosialisasi kembali nilai-nilainya juga meningkat.

Hampir seluruh responden (93,3 persen) menilai, pemahaman kembali nilai Pancasila kepada masyarakat sangat penting. Hanya 4,9 persen yang menilai tidak perlu. Padahal, pertanyaan yang dilemparkan kepada publik adalah persetujuan diadakannya kembali penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang menuai kritik di masa lalu.

Berbagai kondisi krisis yang dialami saat ini dipandang sebagai akibat semakin ditinggalkannya jati diri bangsa yang termuat dalam Pancasila. Lebih tiga perempat responden menilai, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia saat ini semakin jauh dari harapan. Demikian juga kepemimpinan para elite negeri yang dinilai mayoritas responden (80 persen) makin tak jelas menentukan arah.

Semakin tipisnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan negara setali tiga uang dengan makin hilangnya gambaran sosok panutan dari para pemimpin. Separuh lebih responden dalam rangkaian jajak pendapat tentang tokoh bangsa minggu lalu menyatakan, saat ini tak ada sosok yang bisa jadi panutan hidup kenegarawanan di tengah globalisasi dan liberalisasi berbagai bidang.

Kekhawatiran bangsa ini sedang berada di tubir jurang krisis kebangsaan juga terekam makin kuat tatkala melihat terus turunnya tingkat kepuasan publik terhadap penyelenggaraan negara baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial (Kompas, 23 April 2012). Meninggalkan Pancasila sama artinya meninggalkan jati diri bangsa.

Hal itu sudah diingatkan Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1958, ”A Nation without faith can not stand” (Sebuah bangsa tanpa kepercayaan tak akan mampu bertahan). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar