Selasa, 05 Juni 2012

No Wamen, No Cry


No Wamen, No Cry
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER :  SINDO, 5 Juni 2012


Setiap menjawab pertanyaan mengenai konstitusionalitas wakil menteri (wamen), saya pelesetkan saja judul lagu reggae Bob Marley yang terkenal pada awal 1970-an: No Wamen, No Cry.

Saya memang sering ditanya soal wamen yang pengujiannya diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Desember 2011. Atas pertanyaan demikian, saya lebih menahan diri, tidak berkomentar banyak. Satu dan lain hal karena pengujian tersebut tentu berkait erat dengan saya pribadi selaku wakil menteri hukum & HAM. Saya memilih menyampaikan posisi dan pendapat hukum pada saat yang tepat.

Waktunya saya rasa sudah tiba. Hari ini, pukul 11.00 WIB, Selasa, 5 Juni 2012, MK akan membacakan putusan konstitusionalitas wamen. Putusan sudah ditetapkan, maka tulisan ini akan menjadi pelengkap dokumentasi sejarah bagaimana saya pribadi melihat konstitusionalitas wamen, tentu dari sisi hukum tata negara, bidang yang selama ini saya geluti.

Menjunjung Tinggi Etika

Sebelum masuk pada pendapat hukum mengenai konstitusionalitas wamen, saya ingin berbagi cerita bagaimana etika beperkara kami tegakkan dalam proses penanganan kasus ini. Saya sebenarnya tidak ingin terlibat jauh dengan perkara ini, yang sangat terkait dengan posisi saya selaku wamenkumham.

Namun, dalam satu kesempatan rapat koordinasi yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Presiden memerintahkan saya untuk ikut terlibat aktif. Maka, jadilah mayoritas dalam persiapan penanganan kasus ini saya ikut mengoordinasikan beberapa ahli hingga mempersiapkan seluruh argumentasi hukum yang disampaikan ke hadapan meja merah MK. Memang, saya tetap tidak pernah hadir langsung dipersidangan, hal mana untuk menjaga tidak terjadinya benturan kepentingan dalam proses persidangan perkara tersebut.

Selama proses perkara ini berlangsung, beberapa kali saya bertemu dengan para hakim konstitusi. Dengan semangat saling menghormati, meskipun kesempatan terbuka lebar, kami menjunjung tinggi etika di antara para pihak yang sedang terkait perkara di MK. Tidak pernah kami dalam kesempatan bertemu memperbincangkan perkara wamen. Dalam satu kesempatan, Ketua MK Profesor Mahfud MD mengirimkan pesan singkat, menanyakan undangan pengukuhan guru besar saya pada awal Februari lalu yang belum beliau terima.

Saya balas dengan permohonan maaf tidak bisa mengantar langsung undangan tersebut. Saya katakan untuk saling menjaga serta agar tidak timbul fitnah jika kami bertemu di tengah perkara wamen yang tengah berlangsung, undangan terpaksa saya kirimkan melalui kurir. Pada 6 Februari 2012, ketika acara pengukuhan saya selaku guru besar hukum tata negara dilangsungkan di Balai Senat UGM, beberapa hakim konstitusi, termasuk Prof Mahfud, juga hadir. Pada kesempatan itu pun kami sama-sama menahan diri tidak membicarakan perkara wamen. Sekali lagi untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi etika penanganan perkara.

Pada kesempatan lain, di bulan Maret lalu, saya bersama hakim konstitusi Hamdan Zoelva diundang menjadi pembicara di Medan. Kami duduk berdampingan selama beberapa jam diskusi berlangsung. Sekali lagi, tidak ada satu titik-koma pun, pada kesempatan yang sangat leluasa itu, kami memperbincangkan perkara wamen. Pertemuan saya terakhir dengan Profesor Mahfud adalah ketika pada hari Sabtu lalu kami sama-sama menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Darmono, Wakil Jaksa Agung. Pada kesempatan itu pun kami berbincang tanpa sedikit pun membahas perkara wamen. Hanya menjelang berpisah, Pak Mahfud sambil tersenyum berkata, “Hari Selasa ya.”
Saya pun hanya tersenyum, memahami maksud Pak Mahfud. Hanya itulah komunikasi kami sehingga, meskipun banyak kesempatan bertemu dan berkomunikasi, tidak satu titik-koma pun kami memperbincangkan perkara wamen. Itulah etika yang kami junjung tinggi bersama-sama.

Konstitusionalitas Wamen

Pengujian konstitusionalitas wamen didukung ahli sekelas Profesor Yusril Ihza Mahendra dan Doktor Margarito Kamis. Mereka berpendapat bahwa norma atas wamen bertentangan dengan UUD 1945. Pada dasarnya, dalam permohonan disampaikan tiga argumen, pertama, posisi wamen tidak pernah diatur dalam UUD. Kedua, posisi wamen memboroskan anggaran negara.

Ketiga, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri. Atas ketiga argumen tersebut, saya berbeda pendapat. Soal tidak diaturnya suatu posisi di dalam UUD 1945 tidak otomatis berarti posisi tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pemahamannya tidak sesempit dan sesederhana itu. Jika hanya demikian kriteria konstitusionalitas wamen, alangkah banyaknya posisi yang harus diatur di dalam UUD dan alangkah banyaknya posisi yang tidak diatur sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Ambil saja contoh Kejaksaan Agung, KPK, dan masih banyak institusi atau posisi lain yang tidak diatur dalam UUD 1945, toh semuanya tetap sesuai dan tidak lantas bertentangan dengan UUD 1945. Adapun mengenai pemborosan anggaran dan potensi konflik, semuanya adalah asumsi yang tidak terkait dengan isu konstitusionalitas. Semua posisi tentu terkait dengan anggaran. Tapi bukan berarti adanya anggaran demikian menyebabkan suatu posisi otomatis bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian pula, setiap posisi tentu mempunyai potensi konflik, tetapi—sekali lagi—adanya potensi konflik bukan berarti suatu posisi otomatis bertentangan dengan konstitusi. Jika setiap jabatan yang membawa konsekuensi anggaran dan ada potensi konfliknya langsung divonis bertentangan dengan UUD,tidak ada satu pun jabatan yang konstitusional. Karena, setiap posisi atau jabatan pasti membutuhkan anggaran dan ada potensi konfliknya. Persoalan bagaimana anggaran itu lebih efisien dan tidak timbul konflik adalah wilayah implementasi, yang bukan merupakan persoalan norma konstitusi.

Apalagi, dalam sejarah Indonesia, wamen juga pernah eksis tanpa pernah dipersoalkan konstitusionalitasnya. Demikian pula banyak negara di dunia mempraktikkan eksistensi wamen tanpa ada persoalan konstitusionalitas sedikit pun. Bahwasanya pernah ada calon wamen yang gagal dilantik, itu karena ada syarat yang tidak terpenuhi, yaitu syarat wamen harus pernah menjabat sebagai eselon IA. Namun, syarat itu diatur dalam peraturan Presiden dan telah diubah. Tentu saja Presiden berhak mengubah peraturan yang dibuatnya sendiri, termasuk menghilangkan syarat eselon IA bagi wamen.

Dengan penghilangan syarat eselon tersebut, Presiden sebenarnya mengarahkan posisi wamen—sebagaimana menteri—sebagai jabatan negara yang pengisiannya secara politik (political appointee) sehingga, kalaupun ada yang perlu dipersoalkan mengenai norma wamen dalam UU Kementerian Negara, itu adalah penjelasannya yang mengatakan wamen adalah pejabat karier. Penjelasan demikian justru membatasi hak prerogatif Presiden dalam memilih wamen.

Saya berpendapat, penjelasan mengenai “pejabat karier” itu yang harus dihilangkan karena bertentangan dengan kewenangan konstitusional Presiden. Itulah intisari argumentasi saya yang juga dituangkan dalam jawaban maupun kesimpulan pemerintah dalam persidangan di MK. Bagaimana putusan MK? Kita tunggu saja hari ini. Apa pun putusannya, saya siap. Kita semua wajib menghormati serta melaksanakannya.

Yang pasti, kalaupun eksistensi wamen dibatalkan, saya lebih dari siap untuk kembali mengajar di Kampus UGM. Berjuang untuk Indonesia yang lebih baik, tidak boleh tergantung posisi, serta harus siap dari posisi apa saja. No Wamen, No Cry. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar