Selasa, 05 Juni 2012

Energi Indonesia Hilang Arah


Energi Indonesia Hilang Arah
Dewi Aryani ; Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan,
Kandidat Doktor Adm dan Kebijakan Publik UI Bidang Energi
SUMBER :  SINDO, 5 Juni 2012


Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 29 Mei 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato pelaksanaan penghematan energi nasional.
Inti dari pidato tersebut menghasilkan adanya lima program penghematan energi. Pertama, mengendalikan sistem distribusi di setiap SPBU dan menjaga pasokan sesuai kuota daerah. Kedua, pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan pemerintah. Ketiga, pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan. Keempat, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi. Kelima, penghematan penggunaan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah serta penghematan penerangan jalan.

Kesemuanya mulai diberlakukan pada bulan Juni 2012. Program penghematan yang disampaikan presiden SBY di atas sayangnya lebih terfokus pada BBM. Padahal energi bukanlah BBM semata. Energi merupakan suatu sistem yang kompleks dan dinamis. Kompleksitas dan kedinamisan energi ini bahkan ditujukan dengan sistemiknya dampak yang ditimbulkan oleh sistem energi. Idealnya dalam menganalisa permasalahan energi, pemerintah harus melihat energi sebagai suatu sistem. Energi sebagai suatu sistem ini didasarkan pada pemikiran systems thinking.

Menurut Ward dan Schriefer (Fahey dan Randall, 1998), systems thinking dapat dimaknai sebagai suatu proses memahami bagaimana satu elemen dapat memengaruhi elemen lain atau lingkungan tempat elemen tersebut berada. Semuanya bekerja dalam satu kesatuan dalam satu sistem. Akibat ketiadaan pendekatan yang melihat permasalahan kebijakan energi secara menyeluruh, permasalahan kebijakan energi di Indonesia semakin kompleks. Beberapa masalah tersebut di antaranya meliputi ketidakjelasan orientasi dan skala prioritas, tumpang tindih kebijakan, dan masalah dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi (termasuk ketiadaan blueprint energi yang komprehensif dan terintegrasi menyeluruh).

Ketidakjelasan orientasi dan skala prioritas terutama dapat dilihat dari tidak adanya tujuan dan arah yang jelas pada kebijakan energi. Kebijakan energi Indonesia masih berfokus pada satu sisi, yakni berorientasi pasar (market). Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap suatu sumber energi (minyak, gas bumi, batu bara) tetapi tidak meningkatkan sumber energi yang lain (energi terbarukan). Orientasi pasar ini diperkuat dengan ketiadaan skala prioritas dalam kebijakan energi. Kondisi energi fosil Indonesia yang semakin tipis tidak diimbangi dengan penggunaan energi alternatif yang lebih hemat, aman, dan terjamin.

Ketiadaan skala prioritas ini didasarkan pada kondisi kebijakan energi Indonesia yang tidak memiliki ketentuan yang menetapkan penggunaan energi prioritas. Akibatnya terjadi tumpang tindih yang memungkinkan berbenturannya kepentingan masing-masing energi. Tumpang tindih ini menjadikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber energi Indonesia terhambat dan implementasi kebijakan pun tidak berjalan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Tumpang tindih bahkan tidak hanya berada dalam skala kecil, tetapi juga dalam skala besar, yakni undang-undang. Undang-undang (UU) tentang energi yang saling tumpang tindih antara lain UU 30/2007 tentang Energi,UU No 22/2001 tentang Migas, UU No 4/2009 tentang Minerba, UU N0 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No 27/2003 tentang Panas Bumi, UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran, dan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Undang-undang ini tidak koheren satu sama lain ketika berada dalam pada lingkup kebijakan energi. Permasalahan tumpang tindih ini diperkuat dengan tidak adanya blueprint energi yang komprehensif. Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan energi tidak didasarkan pada perencanaan yang matang, bahkan pembagian (mapping) dalam penggunaan energi tidak dilakukan. Produksi energi hanya diarahkan secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor terhadap energi.

Anutan

Permasalahan di atas dapat terjadi karena pemerintah hanya seolah memahami energi dengan cara pandang yang keliru. Energi dipahami hanya sebagai BBM, energi dipahami hanya sebagai sektor yang sama dengan lainnya (yang dibuktikan dengan penempatan sektor energi sebagai sektor kedelapan oleh Bappenas). Pidato Presiden mengenai lima program penghematan energi juga memperlihatkan bahwa pemerintah hanya dapat memberikan imbauan tanpa memberikan kerangka yang komprehensif mengenai kebijakan energi nasional termasuk tidak adanya panutan.

Penghematan adalah bagian dari lifestyle, jika tidak ada anutan, imbauan hanya menjadi wacana belaka. Tidak sepatutnya penghematan didudukkan sebagai “pemaksaan” terhadap rakyat. Sepertinya rakyat dipaksa “menderita” tanpa diberi ruang untuk memilih jenis alternatif dalam pemenuhan soal energi. Maka tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa kebijakan energi yang ada saat ini menjadikan negara makin kehilangan arah dan kehilangan orientasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi untuk kesejahteraan rakyat.

Akibat disorientasi energi yang dialami Indonesia, pengelolaan dan pemanfaatan energi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat justru terkesan setengah hati. Kepentingan yang dibawa dalam setiap kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan energi bukan lagi kepentingan rakyat dan negara,tetapi telah disisipi oleh kepentingan pihak asing. Hal itu terjadi pada UU No 22/2001 tentang Migas yang oleh banyak kalangan dianggap tidak nasionalis dan justru pro-asing.
Sebenarnya Mahkamah Konstitusi telah membatalkan beberapa ketentuan dalam UU No 22/2001 tentang Migas yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tujuan NKRI. Namun pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah masih menggunakan UU ini sebagai acuan dalam pengelolaan migas Indonesia.

Komitmen

Pemerintah secara bertahap dengan komitmen yang tinggi seharusnya segera menyelesaikan satu per satu seluruh masalah tersebut. Menciptakan kejelasan orientasi energi bukan hanya melalui kejelasan frase atau kata dalam undang-undang. Lebih daripada itu, kejelasan orientasi energi harus diciptakan dengan membangun sebuah sistem energi yang kokoh melalui integrasi kebijakan dengan sektor lain yang terkait sehingga tercipta kebijakan energi yang mampu mengatur energi secara komprehensif dan berkesinambungan. Saat ini rakyat semakin resah dan terkatung-katung akibat kondisi energi, khususnya BBM yang semakin tidak menentu.

Pemerintah semakin menyengsarakan rakyat karena tidak diiringi dengan kualitas pelayanan publik yang memuaskan. Masih ada rakyat yang belum menikmati aliran listrik, bahkan air bersih, untuk kehidupan sehari-hari. Merekalah yang paling menjadi korban atas ketidakjelasan sikap pemerintah ini. Rakyat menanti langkah konkret pemerintah, bukan hanya sebatas janji dan imbauan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar