Menelisik
Kerja Sama KPK dan Pajak
Chandra Budi ; Bekerja
di Direktorat Jenderal Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
Sumber : KORAN
TEMPO, 16 Juni 2012
Dalam konferensi pers setelah tertangkapnya
oknum pegawai pajak TH dan oknum wajib pajak JG, Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengemukakan bahwa penangkapan
tersebut merupakan hasil kerja sama antara KPK dan Direktorat Jenderal Pajak (5
Juni 2012). Sehari sebelumnya, dalam konferensi pers di KPK menjelang tengah
malam, ada wartawan yang mempertanyakan apakah kerja sama tersebut terjadi
setelah tertangkapnya TH dan JG. Seakan tidak percaya bahwa Ditjen Pajak juga
turut memberi andil positif bagi terkuaknya kasus ini. Di lain pihak, dalam
acara talk show di salah satu TV swasta, seorang pengamat perpajakan
berpendapat bahwa Ditjen Pajak tega menjebak pegawainya demi popularitas
semata. Lantas, apakah benar ada ”kerja sama” antara KPK dan Ditjen Pajak dalam
kasus ini? Mekanisme apa yang terjadi di Ditjen Pajak sehingga dapat bekerja
sama dengan KPK? Tulisan ini akan menjawabnya.
Kerja Sama
Kerja sama antara KPK dan Ditjen Pajak
bukanlah sesuatu hal yang baru. Pada saat era pimpinan KPK jilid pertama, pada
23 Februari 2005, telah ditandatangani nota kesepahaman antara KPK dan Ditjen
Pajak. Nota Kesepahaman ini bertujuan meningkatkan efektivitas pelaksanaan
pemberantasan korupsi dan juga untuk mengatasi tindak pidana di bidang
perpajakan. Secara nyata, kerja sama antara KPK dan Ditjen Pajak dilakukan
dalam 10 bentuk aktivitas, di antaranya tukar-menukar data dan atau informasi
serta distribusi formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Dalam aktivitas tukar-menukar data dan atau
informasi tersebut, dimungkinkan pemberian data dan atau informasi oleh Ditjen
Pajak ke KPK berupa hasil pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak yang
menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Agar tidak melanggar
ketentuan kerahasiaan jabatan sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka Menteri Keuangan memberi kewenangan kepada
Dirjen Pajak untuk menyampaikan data dan atau informasi perpajakan dimaksud.
Dengan demikian, arus data dan informasi dari Ditjen Pajak ke KPK atau
sebaliknya sudah sangat lancar.
Kerja sama KPK dengan Ditjen Pajak tidak
terbatas pada bidang penindakan saja, tapi juga meliputi edukasi dan pencegahan
korupsi. Di bidang pencegahan, misalnya, Ditjen Pajak telah mewajibkan lebih
dari 50 persen pegawainya atau sekitar 17 ribu pegawai untuk menjadi wajib
lapor LHKPN. Hampir semua jenjang jabatan diwajibkan, meliputi Dirjen Pajak,
direktur, Kepala Kantor Pajak, kepala seksi, pemeriksa pajak, account
representative (AR), penelaah keberatan, juru sita pajak, bendahara, dan
panitia pengadaan.
Kerja sama selanjutnya di bidang pencegahan
akan lebih berfokus pada kajian sistem atau assessment proses bisnis di
Ditjen Pajak, sehingga akan teridentifikasi tingkat kerawanan setiap proses
bisnis terhadap korupsi. Di masa mendatang, Ditjen Pajak akan terus berkomitmen
melakukan upaya pencegahan korupsi dengan menjalankan berbagai program
antikorupsi. Selain penerapan sistem “peniup peluit” (whistle blowing system),
Ditjen Pajak menjalankan upaya penanganan dini terhadap pegawai yang terkait
dengan perkara pidana. Bagi pegawai pajak yang menjadi saksi, tersangka, atau
diberitakan oleh media massa terlibat tindak pidana, kepadanya dilakukan
pemeriksaan dugaan pelanggaran disiplin pegawai. Apabila terbukti melanggar
disiplin pegawai, pegawai tersebut dapat segara dijatuhi hukuman disiplin
pegawai agar tidak mengganggu tugas dan fungsi Ditjen Pajak.
Peniup Peluit
Keberhasilan kerja sama antara KPK dan Ditjen
Pajak mutlak didukung oleh proses di Ditjen Pajak itu sendiri. Khusus di bidang
pidana perpajakan yang melibatkan oknum wajib pajak dan oknum pegawai pajak,
sangat diperlukan data dan informasi pendahuluan yang valid. Direktorat Jenderal
Pajak tidak dapat hanya mengandalkan satu unit khusus di bidang penindakan,
tapi harus melibatkan pihak internal dan masyarakat luas.
Sistem “peniup peluit” yang dikembangkan oleh
Ditjen Pajak mengatur ihwal kewajiban melaporkan segala bentuk pelanggaran yang
didengar, diketahui, maupun dialami oleh seluruh pegawai pajak atau masyarakat.
Dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pelapor dan adanya penghargaan untuk
mereka yang menjadi si peniup peluit, sistem ini diharapkan mampu menarik
perhatian pegawai Ditjen Pajak dan masyarakat untuk berpartisipasi secara
aktif. Agar sistem ini berjalan efektif, Ditjen Pajak telah membuka saluran
pengaduan secara luas, mulai dari saluran telepon, e-mail, call
center, sampai surat tertulis. Tahun 2011, telah diterima sebanyak 115
pengaduan, dan 58 pengaduan di antaranya dilanjutkan dengan tahapan
investigasi.
Tidak tertutup kemungkinan ada pengaduan yang
berindikasi tindak pidana korupsi. Karena tidak memiliki kewenangan pada kasus
tindak pidana korupsi, Ditjen Pajak menggandeng institusi penegak hukum untuk
mengungkap kasus tersebut. Selain itu, penanganan kasus pengaduan berindikasi
korupsi sampai dengan melibatkan penegak hukum diharapkan mampu memberikan efek
jera kepada oknum pegawai pajak. Tetapi sangat tidak adil apabila oknum pegawai
pajak saja yang diganjar, sedangkan perbuatan tersebut dilakukan berdua.
Direktorat Jenderal Pajak sangat nyaman (firm) apabila oknum wajib pajak
juga dihukum seberat-beratnya. Cara pas untuk menyeret keduanya adalah dengan menangkap
basah mereka ketika bertransaksi.
Maka, tertangkapnya TH dan JG sangatlah logis
sebagai buah dari kerja sama KPK dengan Ditjen Pajak yang terjalin sejak 2005,
ditambah dengan penerapan sistem peniup peluit. Harapannya, kasus ini tidak
hanya berdampak positif bagi Ditjen Pajak agar menjadi lebih bersih lagi,
tetapi juga memberi energi baru pada setiap usaha pemberantasan korupsi di
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar