Jumat, 15 Juni 2012

Memotong Korupsi Pajak


Memotong Korupsi Pajak
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Sumber :  SUARA MERDEKA, 15 Juni 2012


KASUS korupsi pajak kembali mencuat setelah KPK menangkap Kasi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Jatim Tommy Hendratno. Selain itu, menangkap pegawai PT Bhakti Investama James Gu-narjo (06/06/12). Ada uang Rp 280 juta yang ditemukan dalam penangkapan itu, ditengarai guna memuluskan pengurusan salah satu wajib pajak senilai Rp 3,4 miliar.

Korupsi pajak tidak hanya sekali ini, sebelumnya skandal pajak besar terungkap ke permukaan. Kasus Gayus Halomoan Tambunan, pegawai golongan III a di lingkungan Ditjen Pajak, yang memiliki rekening Rp 28 miliar dan safe deposit Rp 75 miliar.

Setelah Gayus, ada lagi pegawai pajak yang ditangkap, yakni Dhana Widyatmika yang terendus melakukan penyelewengan. Rekening uangnya berada di sejumlah bank, dan transaksi keuangannya mencapai Rp 95 miliar. Dua kasus besar pajak sebelum tertangkapnya Tommy tidak menjadi pelajaran berharga bagi punggawa perpajakan. Borok yang membusuk makin dibuat busuk.

Ada dua ketakutan saya dalam kasus ini. Pertama; pajak satu primadona pendapatan (revenue) untuk membiayai keberlangsungan negara. Ditjen Pajak melansir realisasi penerimaan pajak 2012 mencapai Rp 872,6 triliun (99,3%) dari target APBN-P 2011 yang besarnya Rp 878,7 triliun. Angka itu meningkat Rp 149,3 triliun (20,6%) dari realisasi tahun anggaran 2010 sebesar Rp 723,3 triliun.

Katakan, jika anggaran belanja per tahun mencapai Rp 1.500 triliun maka revenue dari sektor pajak Rp 800 triliun sudah bisa menutup 60% biaya belanja. Artinya, dengan jumlah tersebut, seharusnya skandal mafia dan korupsi pajak mesti ditempatkan sebagai prioritas penanganannya. Kalau kebocoran pajak dibiarkan, ancaman terganggunya stabilitas negara bukan lagi menjadi isapan jempol.

Kedua; jangan-jangan skandal dan kasus pajak dinilai tidak serius oleh internal institusi perpajakan. Kasus yang membelit Gayus dan Dhana, tampaknya belum bisa menjadi pemantik bagi pegawai kantor pajak untuk menjauh dari godaan korupsi. Atau, jangan-ja-ngan korupsi dan skandal pajak dianggap sesuatu yang biasa, lumrah terjadi di kantor pajak.
Ada pendapat kasus Gayus, Dhana, atau Tommy tak bisa jadi acuan untuk menilai kotor semua pegawai pajak. Masih ada pegawai yang bersih, bekerja sesuai dengan perundang-undangan dan nurani. Saya tidak menyangkal pendapat itu. Di balik keburukan, tersimpan sedikit kebaikan.

Harus Serius

Hanya yang ingin saya tekankan adalah, perspektif dan anggapan yang dibangun terhadap skandal mafia dan korupsi pajak haruslah serius. Pemikiran yang muncul bahwa pegawai kantor pajak yang tertangkap disebabkan apes saja, tidak boleh dibiarkan. Pemikiran seperti itu adalah ungkapan lain dari ketidakseriusan pandangan terhadap skandal dan korupsi pajak.

Skandal pajak perlu dikaji dengan sungguh-sungguh dan menindak pelakunya dengan sungguh-sungguh pula. Susah rasanya menilai Ditjen Pajak dan Kemenkeu sudah melakukan aksi pencegahan dan penindakan korupsi pajak mengingat ada pegawai kantor pajak Sidoarjo yang baru saja tertangkap tangan KPK. Jika serius, tentu kasus serupa Gayus dan Dhana tak bakal terjadi.

Dalam skandal pajak yang kemungkinan besar sudah berakar dan sistematis, tentu penanganannya tidak bisa dilakukan dengan cara datar. Remunerasi bukan jawaban tepat untuk menghentikan laju oknum pegawai dan pimpinan kantor pajak yang kotor. Dengan pola birokrasi yang dari atas ke bawah (top-down), mendudukkan pemimpin yang berani, tegas, dan jujur adalah salah satu kuncinya.  Kunci berikutnya adalah menugaskan penegak hukum yang berani, tegas, jujur, dan terhindar dari kepentingan politik. Dengan dua kunci itu, setidak-tidaknya rantai korupsi pajak mudah dipotong. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar