Sabtu, 16 Juni 2012

Daya Dukung Lingkungan


Daya Dukung Lingkungan
Rokhmin Dahuri ; Ketua Bidang Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan Dewan Pakar ICMI, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
Sumber :  REPUBLIKA, 15 Juni 2012


Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, manusia dan segenap kiprah pembangunannya kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, sekitar dua miliar penduduk dunia masih berkubang dalam kemiskinan, dan 1,2 miliar di antaranya mende rita kelaparan atau gizi buruk. Maka, masyarakat dunia didorong untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan rakyat miskin.

Konsekuensinya adalah konversi hutan dan ekosistem alam lainnya menjadi kawasan permukiman, pertanian, industri, dan infrastruktur akan terus meningkat. Di sisi lain, beragam jenis kerusakan lingkungan telah terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Dampak negatif dari berbagai kerusakan lingkungan tersebut pada umumnya bersifat lokal atau regional.

Tidak demikian halnya dengan pemanasan global, yang dampaknya bisa menimpa seluruh manusia di permukaan bumi. Kita pun mesti mengendorkan intensitas pemanfaatan SDA dan pembuangan limbah. Ini berarti menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan membludaknya pengang guran dan kemiskinan.

Upaya mondial untuk mengatasi permasalahan lingkungan global telah dimulai sejak Konferensi PBB pertama tentang pembangunan dan lingkung an pada 1972 di Stockholm, Swedia. Upaya itu semakin bergaung lewat publikasi buku ‘Our Common Future’ oleh World Commission on Environment and Development (1986). Dilanjutkan dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro (1992), dan di Afrika Selatan (2002).

Ironisnya, di balik kemauan politik para pemimpin dunia untuk membenahi kerusakan lingkungan global, beragam kerusakan lingkungan justru kian parah dan meluas. Dan, akumulasi dari sejumlah kerusakan lingkungan itu adalah perubahan iklim global (global climate change) yang telah membuat bumi semakin panas (global warming).

Mengapa ironi tragedi kerusakan lingkungan itu terjadi? Jawabannya adalah karena selama ini kita mengobati fenomena (gejala) dari kerusakan lingkungan, bukan akar masalahnya. Pada dasarnya, kerusakan lingkungan berakar pada permintaan total manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan telah melampaui daya dukung lingkungan suatu wilayah untuk menyediakannya dalam waktu tertentu.

Menurut hasil pengkajian tim peneliti Universitas Harvard (2002), total permintaan umat manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan pertama kali melewati daya dukung lingkungan bumi terjadi pada 1980. Selanjutnya, pada 1999 total permintaan manusia itu 20 persen lebih besar daripada daya dukung lingkungan bumi.

Jalan Keluar

Maka, dalam rangka mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan, secara teknis kita harus melakukan dua prakarsa terobosan secara simultan pada tingkat negara dan global. Pertama, kita mesti memelihara dan meningkatkan daya dukung bumi. Untuk itu, tata ruang wilayah yang dapat memproteksi kawasan lindung harus diimplementasikan.

Eksploitasi SDA tidak terbarukan (migas, batu bara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan. Sebagian keuntungan ekonominya harus digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.

Selain itu, semua kegiatan ekonomi dan manusia harus diusahakan tidak banyak membuang limbah, zero-waste, dan sedikit mengemisikan gas rumah kaca (low-carbon). Pencemaran lingkungan harus dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara), dan mulai sekarang beralih ke energi terbarukan, seperti biofuel, panas bumi, energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan hidrogen.

Kembangkan dan aplikasikan probiotik dan immunostimulan untuk tambak konservasi tanah dan air, dan tekno logi pascapanen. Rehabilitasi semua eko sistem alam yang mengalami kerusakan. Kita pun harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya.

Kedua, kita harus menurunkan total permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan, dengan cara me ngen dalikan jumlah penduduk dan menurunkan laju konsumsi SDA serta pembuangan limbah per kapita. Menurut perhitungan Brown (2003) dan Bank Dunia (2011), dengan rata-rata GNP per kapita 9.000 dolar AS dan konsumsi energi per kapita 2.500 kg (kg of oil equivalent), seperti Malaysia sekarang, maka jumlah maksimum penduduk yang mampu ditopang oleh daya dukung planet bumi hanya sekitar delapan miliar orang. Saat ini penduduk dunia mencapai tujuh miliar jiwa.

Mengingat kesenjangan antara warga kaya dan miskin kian melebar, dan sekitar dua miliar penduduk dunia masih miskin, maka upaya penurunan laju penggunaan SDA dan pembuangan limbah per kapita harus dilakukan dengan menurunkan standar kehidupan orang-orang kaya. Saat yang sama, kita punya kewajiban moral untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin.

Program pemerataan kesejahteraan antarwarga dunia secara berkeadilan tersebut hanya dapat diwujudkan, bila perilaku individu dan masyarakat dunia ditransformasi menjadi pola hidup yang lebih sederhana. Untuk itu, perlu juga dilakukan dengan transformasi dan pendekatan keagamaan (spiritual). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar