Senin, 11 Juni 2012

Masalah Konstitusionalitas dan Legalitas


Masalah Konstitusionalitas dan Legalitas
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SUMBER :  SINDO, 09 Juni 2012


Mengherankan ketika Selasa, 5 Juni lalu, ada dua tokoh partai politik (parpol), anggota DPR, dan mantan anggota DPR tidak paham perbedaan antara masalah konstitusionalitas dan masalah legalitas. 

Saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian Undang-Undang (UU) Kementerian Negara terkait dengan konstitusionalitas jabatan wakil menteri (wamen). Sang anggota DPR dengan gagah dan gaya teatrikal mengatakan, putusan MK tentang jabatan wamen tak jelas warnanya, apakah putih, hitam, jingga, merah atau biru. ”Ke depan MK harus membuat putusan yang jelas warnanya agar tak membingungkan publik,” kata orang penting di DPR itu.

Sesudah itu ada lagi seorang aktivis parpol, mantan anggota DPR, yang dengan tak kalah gagahnya mengatakan bahwa vonis MK tentang wamen adalah banci, tak jelas kelaminnya, tak tegas isinya. Seperti yang selalu terjadi selama ini, setiap vonis MK ditetapkan, apa pun isinya, pasti ada yang setuju dan ada yang tak setuju, ada yang menerima dan ada yang menolak dengan menggerutu atau marah-marah, ada yang memuji dan ada yang mengkritik. Itu biasa saja.

Sejak dimajukan ke MK, setiap perkara memang sudah sarat dengan perbedaan dan pertentangan antarpihak. Wajar jika terhadap apa pun vonis MK ada yang puas dan ada yang kecewa. Maunya, sih, MK bisa memuaskan semuanya. Tapi mana bisa dua atau tiga pandangan yang bertentangan divonis menang semua? Oleh sebab itu MK tak pernah mempersoalkan adanya kritik terhadap vonis-vonisnya. Paling banter hanya menjelaskan.

Soalnya menjadi lain kalau orang DPR memberi penilaian berangkat dari pemahaman yang salah tentang konsep dan kompetensi, padahal yang menentukan konsep dan kompetensi itu adalah DPR sendiri. Mereka ternyata tidak paham bahwa ada perbedaan kompetensi yang diberikan kepada lembaga yudikatif antara kompetensi mengadili konstitusionalitas dan kompetensi mengadili legalitas. Dalam perkara judicial review atau pengujian UU, baik menurut UUD 1945 maupun menurut UU Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa MK hanya berwenang menilai atau mengadili konstitusionalitas sebuah UU terhadap UUD.

MK hanya boleh menyatakan apakah sebuah UU, sebagian isinya, kalimat, atau frasenya, bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Dalam hal vonis MK atas pengujian UU Kementerian Negara misalnya, MK sudah jelas secara hitam putih menyatakan bahwa adanya jabatan wamen seperti yang diatur di dalam Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 adalah konstitusional sebagai hak prerogatif dan hak eksklusif presiden, sedangkan penjelasan Pasal 10 UU adalah inkonstitusional karena mengacaukan hukum kepegawaian dan birokrasi. Itu sudah clear mana yang konstitusional dan mana yang tidak konstitusional.

Sampai di situlah kewenangan MK dalam perkara judicial review. Kalau dikatakan vonis MK itu tidak jelas atau banci karena tidak tegas memberhentikan jabatan wamen, maka hal itu sangat keliru. Masalah harus terus atau harus diberhentikannya wamen tak boleh dinyatakan dalam amar putusan MK, sebab hal itu sudah masuk ke ranah legalitas, bukan lagi soal konstitusionalitas. Masalah konstitusionalitasnya sudah selesai, sedangkan kompetensi masalah legalitasnya ada di lapangan lain, yakni ada di presiden dan Mahkamah Agung.

Maksudnya, jika keppres pengangkatan wamen dasarnya sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka keppres itu tidak lagi mempunyai landasan legal sehingga presiden harus menggantinya. Tapi jika keppres itu tidak diganti-ganti juga, maka bisa diperkarakan ke lingkungan Mahkamah Agung sebagai konflik legalitas dalam kasus konkret, bukan lagi konflik konstitusionalitas dalam norma abstrak. Apanya yang tidak jelas dan banci?

MK bukannya tidak tahu ada persoalan legalitas dalam kasus ini, malahan timbulnya masalah legalitas sebagai fakta hukum inilah yang menjadi dasar MK menilai inkonstitusionalitas penjelasan Pasal 10. Itulah sebabnya di dalam paragraf [3.14] vonis MK dinyatakan bahwa keppres perlu diperbarui agar jabatan wamen menjadi legal, tetapi masalah itu tidak boleh masuk dalam ”amar” putusan, melainkan cukup di bagian ”pendapat mahkamah”.

Kalau MK disuruh langsung menyatakan ”batal” jabatan wamen yang sudah ada sama saja dengan mendorong MK menjadi lembaga yang sewenang-wenang karena hal itu berarti menyuruh MK menerobos batas kompetensi konstitusionalitas ke kompetensi legalitas. Dalam perkara judicial review amar putusan MK tak boleh masuk ke ranah legalitas. MK hanya boleh masuk ke dalam ranah legalitas untuk kasus-kasus konkret seperti sengketa hasil pemilu dan pemilukada.

Yang demikian itu diatur dengan jelas bin terang di dalam konstitusi dan UU yang pembuatannya harus melibatkan DPR sehingga menjadi ganjil bin ajaib jika anggota DPR atau mantan anggota DPR tidak mengetahui soal yang ikut dibuatnya. Kalau yang berkomentar seperti itu LSM atau orang yang beperkara tentu kita bisa memakluminya. Oh, ya.

Dalam banyak pengalaman sering kali pula distorsi penilaian atau komentar atas vonis MK itu bukan karena yang bersangkutan tidak paham atas isi konstitusi dan UU, melainkan karena tidak membaca vonisnya secara lengkap. Banyak yang hanya berkomentar atas komentar orang atas vonis MK yang belum dibacanya secara lengkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar