Masa
Depan Self Publishing
Anggun Gunawan ; Alumni Filsafat UGM,
Sejak 2010 Berkecimpung di Dunia
Self Publishing
SUMBER : REPUBLIKA,
7 Juni 2012
Tiga
tahun belakangan, geliat self publishing
menjaditren baru dunia perbukuan Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dengan kehadiran
para penyedia layanan penerbitan indie,
seperti Leutika Prio, Nulis Buku,
Indonesia Self Publishing, ataupun Gre
Publishing, yang mampu memasok ribuan judul buku baru hanya dalam waktu
singkat.
Walaupun
bisa dikatakan cukup terlambat karena fenomena self publishing sudah booming
di Amerika dan Eropa sejak awak 1990-an, kemunculan mereka telah menjadi
pelepas dahaga sekian tahun bagi ribuan penulis yang selama ini terbentur oleh
ketatnya seleksi yang diberlakukan oleh penerbit-penerbit konvensional. Sejauh
ini, belum ada laporan khusus yang memantau perkembangan self publishing di Indonesia.
Berdasarkan
pengamatan penulis, suasana dominan yang terjadi sejak 2009 hingga sekarang
adalah fase ekstase kebebasan dan kemudahan menerbitkan buku. Dengan biaya tak
terlalu mahal lewat fasilitas print on
demand (POD) dan regulasi bersahabat dari Perpustakaan Nasional yang
membebaskan biaya pengurusan ISBN sejak 2011 lalu, menerbitkan buku bukan lagi
wilayah eksklusif orang-orang tertentu.
Namun,
ada baiknya kita berkaca dalam situasi self
publishing di Eropa dan Amerika. Guardian,
24 Mei 2012 lalu, merilis hasil survei yang dilakukan oleh Dave Cornford and
Steven Lewis terkait raihan royalti 1.007 penulis yang memilih jalur self published pada 2011. Angka
rata-rata yang diperoleh adalah 10 ribu dolar AS.
Akan
tetapi, pencapaian itu didongkrak oleh kurang dari 10 persen penulis yang mampu
meraih pendapatan lebih dari 100 ribu dolar AS. Separuh dari penulis jalur indie gagal menembus pendapatan 500
dolar AS dan seperempatnya menanggung kerugian karena tidak mampu menutupi
biaya produksi.
Meskipun
survei itu menyebutkan, hanya 5 persen penulis indie yang kecewa dengan hasil penjualan bukunya karena sebagian
besar tidak menjadikan uang sebagai tujuan utama. Tetapi, kegagalan meraih
keuntungan harus menjadi perhatian serius bagi pengelola jasa self publishing dan penulis yang ingin
terjun via self published.
Tugas
self publishing tidak sekadar
mencetak sebuah naskah menjadi buku. Ada tanggung jawab membuat buku
terbitannya dikenal sekaligus menarik minat beli banyak orang. Oleh karena itu,
selain pemasifan promosi, perhatian terhadap perwajahan dan konten harus
dipikirkan secara serius. Sering kali self
publishing diledek karena kualitas cetakan dan konten yang asal-asalan.
Pertama,
berkenaan dengan kesalahan ketik. Kebanyakan self publishing tidak mengurusi persoalan ini karena dianggap
domain penulis. Walaupun tampak tidak terlalu signifikan, mata pembaca akan
dibuat bosan kalau di sana-sini terdapat banyak kata yang ditulis tidak
sebagaimana mestinya.
Kedua,
soal pemilihan diksi. Keberhasilan sebuah buku adalah ketika mampu ditangkap
maksudnya dengan cepat oleh pembaca. Akan sangat menyiksa jika harus
menghabiskan 10 menit untuk setiap halaman karena kalimat-kalimat yang
dirangkai sulit dipahami. Pengecualian mungkin bisa ditoleransi untuk buku-buku
yang sifatnya ilmiah dan filosofis. Tetapi, tetap saja sesuatu yang lebih mudah
dimengerti lebih disukai daripada yang jelimet.
Untuk
mengatasi kedua persoalan itu, sebuah self publishing harus berbaik hati untuk
menjadi proofreader atas naskah yang diterbitkannya. Ketelatenan untuk
memperbaiki kesalahan ketik dan ejaan serta kemampuan editing yang baik semestinya dimiliki oleh sebuah self publishing
agar tidak dipandang sebelah mata oleh pembaca yang sudah dimanjakan dengan
terbitan-terbitan berkualitas para penerbit besar.
Kolaborasi
penulis dengan penyedia jasa self
publishing sangat diperlukan dalam hal ini. Riset yang dilakukan oleh Dave
Cornford and Steven Lewis juga menelisik aksi migrasi para penulis populer yang
telah mapan di penerbitan terkemuka menuju jalur self published. Mereka
menghabiskan waktu 2,5 kali lebih lama untuk menulis dan memperbaiki naskah
dibandingkan ketika bekerja sama dengan penerbit konvensional terkemuka.
Hal
ini mengindikasikan, penulis pemula yang memilih jalur indie harus bersedia meluangkan lebih banyak waktu ketika menggarap
sebuah karya, termasuk juga ketika melakukan proses pemasaran. Keluwesan
pergaulan sang penulis sangat berperan penting pada rating penjualan sebuah
buku. Semakin banyak ia terlibat dalam berbagai ruang bersama atau komunitas,
peluang untuk menjual lebih banyak karya akan semakin besar.
Sebagai
sebuah bisnis berbasis kreativitas, para penyedia jasa penerbitan indie harus terus berbenah diri secara
cepat. Karena pembaca Indonesia adalah pembaca yang cerdas dan sangat kritis. Belum
lagi ketergiuran penerbit besar terkemuka untuk memasuki bisnis ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar