Lingkungan
dan Bisnis
Rahmat Pramulya ; Dosen
dan Peneliti di Universitas Teuku Umar, Meulaboh Aceh Barat
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 5 Juni 2012
Memperingati Hari Lingkungan Hidup 5 Juni,
ada satu topik menarik yang penting untuk dikedepankan terkait dengan fenomena
lingkungan dalam membangkitkan ekonomi masyarakat. Indonesia dengan segala
potensi keindahan, kekayaan alam, dan budayanya sebenarnya mempunyai nilai yang
tinggi dalam pasar wisata alam dan budaya.
Wisata alam (nature tourism) adalah semua bentuk wisata yang secara langsung
tergantung pada sumber daya alam (SDA), baik yang sudah dikembangkan maupun
yang masih asli. Objek utamanya adalah pemandangan alam, topografi kawasan,
perairan, tumbuhan, satwa liar, dan sebagainya.
Jadi wisata alam meliputi berbagai kegiatan,
seperti piknik, berburu, arung jeram, dan off-road
driving. Penyelenggaraan wisata alam bisa bersifat massal, ataupun ada yang
spesifik. Sebenarnya yang menjadi masalah saat ini dalam penyelenggaraan wisata
alam adalah bukan soal massal atau khusus/ spesifiknya, tetapi apakah pengelola
sudah memiliki persepsi yang benar tentang alam lingkungan yang mereka jual
sehingga keberlanjutan dari kawasan itu yang seharusnya dipikirkan.
Wisata berkelanjutan atau sustainable tourism adalah pariwisata
yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil
melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang.
Ini mengarah pada pengelolaan seluruh sumber
daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika,
keanekaragaman hayati, dan sistem pendukung kehidupan. Berdasarkan
definisi itu maka dalam pendekatan wisata berkelanjutan bukan hanya sektor
wisata saja yang berkelanjutan, namun seluruh aspek lingkungan kehidupan, serta
aspek sosial ekonomi dan budayanya.
Ekowisata atau ecotourism yang merupakan singkatan dari ecological tourism adalah salah satu bentuk dari wisata berkelanjutan,
walaupun saat ini istilah ini lebih populer daripada wisata berkelanjutan,
yaitu wisata yang dilakukan pada kawasan yang relatif masih alami, dilakukan
dengan bertanggung jawab, untuk menikmati dan menghargai alam (termasuk
budayanya), mendukung konservasi, memiliki dampak yang rendah, dan keterlibatan
aktif sosio ekonomi masyarakat setempat.
Hanya saja, meski sudah hampir dua dasawarsa
wisata berbasis lingkungan dikembangkan di Indonesia sejak ada tren dunia bahwa
wisatawan juga ingin kembali ke alam, sampai saat ini gema wisata berbasis
lingkungan dan budaya belum dirasakan keberadaannya. Bahkan beberapa kalangan
yang pernah aktif mengembangkan wisata berbasis lingkungan menjadi beralih ke
bidang lain karena menganggap wisata berbasis lingkungan di Indonesia kurang
menjanjikan, ruwet, repot, dan sebagainya (Muntasib, 2007).
Selama ini permasalahan yang dihadapi di
dalam pengelolaan wisata berbasis alam dan lingkungan adalah adanya perbedaan
persepsi antarpara pihak. Perbedaan persepsi dalam kegiatan wisata berbasis
lingkungan menyebabkan penanganan SDA yang berfungsi sebagai objek wisata
berbasis lingkungan dan penanganan budaya masih berbeda-beda.
Masih berpikir sektoral (departemen atau
dinas terkait, perguruan tinggi, LSM, pelaku di lapangan, pemda, dan lain-lain)
adalah persoalan lain yang dihadapi dalam pengelolaan wisata alam dan
lingkungan. Selama ini pernahkah para pihak terkait bekerja
bersama-sama/berkolaborasi dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya dalam
bentuk seremonial seperti MoU maupun SKB? Beranikah kita saling bersinergi
untuk mewujudkan kepentingan bersama?
Persoalan lainnya adalah belum adanya
rambu-rambu (kriteria, indikator, standar, atau guide line) dalam penyelenggaraan wisata berbasis alam dan
lingkungan, selain belum adanya sistem (yang sederhana) yang dapat
mengakomodasi gerak langkah para pelaku wisata mulai dari regulasi, supply dan demand.
Pentingnya Tata Kelola
Mencermati beragam persoalan tersebut, sudah
saatnya kita memiliki tata kelola wisata berbasis alam dan budaya agar
pengelolaannya menjadi lebih baik. Tata kelola yang dimaksud harus mengacu
pada batasan-batasan berikut.
Pertama, nature and culture based (berbasiskan lingkungan alam dan budaya). Dilakukan pada lingkungan alam dan budaya pada fokus objek-objek
biologis, fisik, dan budaya. Wisata merupakan bagian atau keseluruhan alam itu
sendiri termasuk unsur-unsur budayanya.
Kedua, ecologically
and culture sustainable/keberlanjutan ekologis dan budaya. Diharapkan
walaupun ada kegiatan wisata, semua fungsi lingkungan (biologi, fisik, dan
sosial budaya) tetap berjalan dengan baik. Walaupun disadari setiap kegiatan
manusia itu mesti ada perubahan lingkungan dan budaya, tetapi tetap dijamin
tidak mengganggu fungsi ekologis kawasan serta sosial budaya masyarakat.
Ketiga, environmentally
educative (pendidikan lingkungan). Pendidikan lingkungan merupakan unsur
kunci yang membedakan wisata berbasis lingkungan dengan berbagai bentuk wisata
alam yang lain. Pendidikan lingkungan dan interpretasi adalah sesuatu
yang penting untuk menciptakan media yang menyenangkan dan
bermakna. Wisata diharapkan dapat menarik wisatawan yang berkunjung untuk
ingin berinteraksi dengan lingkungan alam dan budaya dalam rangka membangun
pengetahuan, kepedulian, dan apresiasi terhadap SDA, lingkungan, dan budaya.
Keempat, bermanfaat secara sosial dan ekonomi
untuk masyarakat lokal. Kegiatan wisata berbasis lingkungan dan budaya
diharapkan dapat memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung bagi
masyarakat lokal.
Secara langsung masyarakat terlibat dalam
berbagai bentuk pelayanan kepada wisatawan, penjualan kebutuhan wisatawan,
penyewaan sarana, sebagai penerjemah, dan sebagainya. Manfaat tidak
langsung misal pengetahuan yang positif yang dapat diserap dari
wisatawan, hubungan yang baik dengan wisatawan, dan sebagainya.
Kelima, kepuasaan wisatawan. Walaupun
kepuasaan wisatawan sangat relatif namun secara umum terdapat kepuasan akan
pengalaman wisatanya dan pelayanannya. Kepuasan wisatawan akan sangat
berpengaruh bagi ketahanan industri ekowisata dalam jangka panjang.
Keenam, memberikan keuntungan ekonomi.
Kegiatan wisata berbasis alam dan budaya ini juga dapat memberikan keuntungan
ekonomi, baik lokal maupun provinsi, ataupun kepada negara. Pengembangan
ekowisata tidak dapat dipisahkan dari mata rantai usaha bisnis perjalanan,
hotel, restoran, dan bisnis promosi.
Ekowisata merupakan industri yang menjadikan
citra dan emosi konsumen sebagai komoditas dasar. Oleh karena itu, di dalam
pengembangan ekowisata diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi
yang baik dan profesional. Investasi sumber daya manusia menjadi sangat
penting.
Pentingnya investasi di bidang sumber daya
manusia harus dilakukan seluruh mata rantai industri pariwisata lewat
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang memberlakukan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang biro perjalanan wisata, hotel, dan
restoran.
Kemudian untuk masyarakat dan SDA di daerah
wisata yang secara keseharian dikelola kementeria lain yang terkait dengan
program pariwisata, hendaknya ada jalinan kerja sama yang erat dengan
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Selain itu juga dengan kementerian yang
terkait dengan masyarakat di daerah wisata, misalnya Kementerian Kehutanan,
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Adanya tata kelola diharapkan dapat
menyediakan instrumen, insentif, dan dukungan bagi para pihak terkait (dari
pengambil keputusan, pengelola supply,
demand, pendukung, dan sebagainya)
sehingga wisata dapat menjadi andalan, baik secara ekonomi, sosial, maupun
mampu menjaga kelestarian sumber daya ekowisata, dan pada akhirnya dapat pula
mengentaskan kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar