Rabu, 06 Juni 2012

Lingkungan dan Bisnis


Lingkungan dan Bisnis
Rahmat Pramulya ; Dosen dan Peneliti di Universitas Teuku Umar, Meulaboh Aceh Barat
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 5 Juni 2012


Memperingati Hari Lingkungan Hidup 5 Juni, ada satu topik menarik yang penting untuk dikedepankan terkait dengan fenomena lingkungan dalam membangkitkan ekonomi masyarakat. Indonesia dengan segala potensi keindahan, kekayaan alam, dan budayanya sebenarnya mempunyai nilai yang tinggi dalam pasar wisata alam dan budaya.

Wisata alam (nature tourism) adalah semua bentuk wisata yang secara langsung tergantung pada sumber daya alam (SDA), baik yang sudah dikembangkan maupun yang masih asli. Objek utamanya adalah pemandangan alam, topografi kawasan, perairan, tumbuhan, satwa liar, dan sebagainya. 

Jadi wisata alam meliputi berbagai kegiatan, seperti piknik, berburu, arung jeram, dan off-road driving. Penyelenggaraan wisata alam bisa bersifat massal, ataupun ada yang spesifik. Sebenarnya yang menjadi masalah saat ini dalam penyelenggaraan wisata alam adalah bukan soal massal atau khusus/ spesifiknya, tetapi apakah pengelola sudah memiliki persepsi yang benar tentang alam lingkungan yang mereka jual sehingga keberlanjutan dari kawasan itu yang seharusnya dipikirkan.

Wisata berkelanjutan atau sustainable tourism adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang.

Ini mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika, keanekaragaman hayati, dan sistem pendukung kehidupan.  Berdasarkan definisi itu maka dalam pendekatan wisata berkelanjutan bukan hanya sektor wisata saja yang berkelanjutan, namun seluruh aspek lingkungan kehidupan, serta aspek sosial ekonomi dan budayanya.

Ekowisata atau ecotourism yang merupakan singkatan dari ecological tourism adalah salah satu bentuk dari wisata berkelanjutan, walaupun saat ini istilah ini lebih populer daripada wisata berkelanjutan, yaitu wisata yang dilakukan pada kawasan yang relatif masih alami, dilakukan dengan bertanggung jawab, untuk menikmati dan menghargai alam (termasuk budayanya), mendukung konservasi, memiliki dampak yang rendah, dan keterlibatan aktif sosio ekonomi masyarakat setempat.

Hanya saja, meski sudah hampir dua dasawarsa wisata berbasis lingkungan dikembangkan di Indonesia sejak ada tren dunia bahwa wisatawan juga ingin kembali ke alam, sampai saat ini gema wisata berbasis lingkungan dan budaya belum dirasakan keberadaannya. Bahkan beberapa kalangan yang pernah aktif mengembangkan wisata berbasis lingkungan menjadi beralih ke bidang lain karena menganggap wisata berbasis lingkungan di Indonesia kurang menjanjikan, ruwet, repot, dan sebagainya (Muntasib, 2007).

Selama ini permasalahan yang dihadapi di dalam pengelolaan wisata berbasis alam dan lingkungan adalah adanya perbedaan persepsi antarpara pihak. Perbedaan persepsi dalam kegiatan wisata berbasis lingkungan menyebabkan penanganan SDA yang berfungsi sebagai objek wisata berbasis lingkungan dan penanganan budaya masih berbeda-beda.

Masih berpikir sektoral (departemen atau dinas terkait, perguruan tinggi, LSM, pelaku di lapangan, pemda, dan lain-lain) adalah persoalan lain yang dihadapi dalam pengelolaan wisata alam dan lingkungan.  Selama ini pernahkah para pihak terkait bekerja bersama-sama/berkolaborasi dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya dalam bentuk seremonial seperti MoU maupun SKB? Beranikah kita saling bersinergi untuk mewujudkan kepentingan bersama?

Persoalan lainnya adalah belum adanya rambu-rambu (kriteria, indikator, standar, atau guide line) dalam penyelenggaraan wisata berbasis alam dan lingkungan, selain belum adanya sistem (yang sederhana) yang dapat mengakomodasi gerak langkah para pelaku wisata mulai dari regulasi, supply dan demand.

Pentingnya Tata Kelola

Mencermati beragam persoalan tersebut, sudah saatnya kita memiliki tata kelola wisata berbasis alam dan budaya agar pengelolaannya menjadi lebih baik. Tata kelola yang dimaksud harus mengacu pada batasan-batasan berikut.

Pertama, nature and culture based (berbasiskan lingkungan alam dan budaya). Dilakukan pada lingkungan alam dan budaya pada fokus objek-objek biologis, fisik, dan budaya. Wisata merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri termasuk unsur-unsur budayanya.

Kedua, ecologically and culture sustainable/keberlanjutan ekologis dan budaya. Diharapkan walaupun ada kegiatan wisata, semua fungsi lingkungan (biologi, fisik, dan sosial budaya) tetap berjalan dengan baik. Walaupun disadari setiap kegiatan manusia itu mesti ada perubahan lingkungan dan budaya, tetapi tetap dijamin tidak mengganggu fungsi ekologis kawasan serta sosial budaya masyarakat.

Ketiga, environmentally educative (pendidikan lingkungan). Pendidikan lingkungan merupakan unsur kunci yang membedakan wisata berbasis lingkungan dengan berbagai bentuk wisata alam yang lain.  Pendidikan lingkungan dan interpretasi adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan media yang menyenangkan dan bermakna. Wisata diharapkan dapat menarik wisatawan yang berkunjung untuk ingin berinteraksi dengan lingkungan alam dan budaya dalam rangka membangun pengetahuan, kepedulian, dan apresiasi terhadap SDA, lingkungan, dan budaya.

Keempat, bermanfaat secara sosial dan ekonomi untuk masyarakat lokal. Kegiatan wisata berbasis lingkungan dan budaya diharapkan dapat memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat lokal.

Secara langsung masyarakat terlibat dalam berbagai bentuk pelayanan kepada wisatawan, penjualan kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana, sebagai penerjemah, dan sebagainya.  Manfaat tidak langsung misal pengetahuan yang positif  yang dapat diserap dari wisatawan, hubungan yang baik dengan wisatawan, dan sebagainya.

Kelima, kepuasaan wisatawan. Walaupun kepuasaan wisatawan sangat relatif namun secara umum terdapat kepuasan akan pengalaman wisatanya dan pelayanannya. Kepuasan wisatawan akan sangat berpengaruh bagi ketahanan industri ekowisata dalam jangka panjang.

Keenam, memberikan keuntungan ekonomi. Kegiatan wisata berbasis alam dan budaya ini juga dapat memberikan keuntungan ekonomi, baik lokal maupun provinsi, ataupun kepada negara. Pengembangan ekowisata tidak dapat dipisahkan dari mata rantai usaha bisnis perjalanan, hotel, restoran, dan bisnis promosi. 

Ekowisata merupakan industri yang menjadikan citra dan emosi konsumen sebagai komoditas dasar. Oleh karena itu, di dalam pengembangan ekowisata diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik dan profesional. Investasi sumber daya manusia menjadi sangat penting. 

Pentingnya investasi di bidang sumber daya manusia harus dilakukan seluruh mata rantai industri pariwisata lewat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang memberlakukan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang biro perjalanan wisata, hotel, dan restoran.

Kemudian untuk masyarakat dan SDA di daerah wisata yang secara keseharian dikelola kementeria lain yang terkait dengan program pariwisata, hendaknya ada jalinan kerja sama yang erat dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Selain itu juga dengan kementerian yang terkait dengan masyarakat di daerah wisata, misalnya Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adanya tata kelola diharapkan dapat menyediakan instrumen, insentif, dan dukungan bagi para pihak terkait (dari pengambil keputusan, pengelola supply, demand, pendukung, dan sebagainya) sehingga wisata dapat menjadi andalan, baik secara ekonomi, sosial, maupun mampu menjaga kelestarian sumber daya ekowisata, dan pada akhirnya dapat pula mengentaskan kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar