Rabu, 06 Juni 2012

Aborsi Liar Kian Berani


Aborsi Liar Kian Berani
Laurentius L Sutrisno ; Aktivis Indonesia Pro-Life
SUMBER :  JAWA POS, 5 Juni 2012


“HARGA paket obat untuk usia kandungan di bawah tujuh minggu Rp 700.000, untuk usia kandungan 8-12 minggu Rp 1,5 juta. Jika perlu tindakan bidan, biayanya Rp 3,5 juta untuk usia di bawah 3 bulan dan Rp 4,5 juta untuk usia 3-6 bulan". Aborsi liar! Inilah hasil akhir investigasi saya via SMS untuk menjawab ada apa di balik iklan "Telat Haid" di tiang listrik dan rambu lalin di sepanjang jalan Raya Janti ke arah Solo, Jogjakarta. Iklan tidak pro-life itu dilengkapi nomor ponsel.

Aborsi jarang mendapat pemberitaan heboh. Tetapi, pengguguran janin ini menjadi bahaya laten yang mengerikan. Prof Dr dr Wimpie Pangkahila SpAnd, ketua Perhimpunan Dokter Spesialias Andrologi Indonesia (Persandi), baru-baru ini menyebut jumlah aborsi di Indonesa per tahun mencapai 2,5 juta kasus! Data itu sangat mengerikan, tetapi masuk akal karena menjamurnya iklan semacam "Telat Haid" dan mudahnya mendapatkan "jasa" aborsi tanpa penindakan dari aparat hukum.

Istilah aborsi (Latin, abortio) dipahami sebagai tindakan pengeluaran janin usia di bawah enam bulan dari kandungan yang mengakibatkan kematian janin.

Ada beberapa jenis aborsi. Abortus provocatus, yaitu pengguguran yang disengaja secara langsung untuk menghentikan kehidupan janin dengan berbagai macam cara. Aborsi therapeutics yang terpaksa dilakukan demi menyelamatkan nyawa sang ibu yang mengandung.

Ada lagi aborsi eugenic, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan karena janin dianggap akan terlahir cacat atau karena jenis kelamin sang janin tidak sesuai dengan yang dikehendaki kedua orang tua. Memang ada tradisi-budaya tertentu yang mengunggulkan jenis kelamin tertentu dan merendahkan jenis kelamin tertentu.

Berdasar hasil wawancara, jalan pintas aborsi ditempuh karena alasan ekonomi, malu karena belum menjadi pasangan suami istri yang sah, dan belum siap menjadi orang tua karena masih kuliah atau sekolah.

Mulainya Kehidupan

Seiring kemajuan teknologi di bidang kedokteran, khususnya fetologi (ilmu janin), sejak 1970-an ada perubahan mendasar tentang paham dan perlakuan terhadap janin. Yakni, ditemukannya alat canggih pendeteksi janin seperti ultrasound imaging (USG). Sebelum era 70-an, janin dianggap sebagai bagian dalam rahim semata. Sejak ada USG yang mampu mendeteksi jantung janin, jenis kelamin, suara janin, fungsi otak, bahkan penyakit janin, orang kemudian mulai berpikir apakah janin sudah bisa disebut sebagai manusia?

Terlebih dokter fetologi Bernard Nathanson (bisa dilihat di YouTube) memiliki rekaman (USG) aborsi. Yakni, saat digugurkan si janin "menjerit-jerit kesakitan" karena tubuhnya dipotong-potong oleh gunting! Perlahan-lahan, ada keyakinan bahwa janin adalah manusia dan dia adalah anggota masyarakat seperti manusia yang lain, hanya dibedakan tempat tinggal. Williams Obstetric (1980) menulis bahwa janin adalah pasien kedua. Artinya, janin harus diperlakukan seperti manusia lain dan tidak bisa dimusnahkan.

Apa Kabar, Pak Polisi

Beberapa negara yang melegalkan aborsi memiliki kebijakan berbeda-beda. Ada yang memiliki kebijakan lebih liberal dengan memperbolehkan aborsi di bawah 20 minggu usia kehamilan. Tetapi, ada juga negara yang melegalkan aborsi dengan berbagai ketentuan; hanya memperbolehkan aborsi jika hasil kandungan adalah karena pemerkosaan, inses, dan kelainan janin yang parah atau untuk melindungi kehidupan ibu.

Indonesia merupakan negara antiaborsi kendati undang-undang tentang batasan aborsi belum begitu jelas dan kontradiksi. Sanksi hukum kepada pelaku aborsi (wanita yang mengandung, dokter-tabib dan orang-orang yang mendukung) sebenarnya sudah jelas. Misalnya, pasal 299 yang menyebutkan bahwa barang siapa melakukan aborsi akan dihukum minimal lima tahun penjara. Pasal 347: seorang dokter atau dukun yang melakukan aborsi dan mengakibatkan meninggalnya ibu yang mengandung akan dikenai hukuman minimal 15 tahun penjara dan akan dicabut izin praktiknya.

Sangat ironis ketika saya berkisah tentang investigasi saya terhadap iklan "Telat Haid" kepada dua polisi yang saat itu bertugas di Malioboro, Jogjakarta. Mereka menjawab, "Dalam hal ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa, Mas." Apakah sang penegak hukum tidak mengerti hukum dan sanksi tentang aborsi? Apakah mereka lupa cara melacak melalui nomor ponsel, padahal mereka bisa melacak keberadaan para teroris dengan nomor ponsel berganti-ganti? Lebih ironis, tempat iklan itu di Jogjakarta, ikon peradaban budaya negeri ini.

Tak terperikan kengerian kejahatan aborsi. Lebih kejam daripada homo homini lupus, karena manusia mematikan nurani, membinasakan darah dagingnya sendiri. Aborsi adalah puncak persoalan kemanusiaan bertali-temali. Dalam kasus pasangan di luar nikah, aborsi merupakan efek perilaku hedonis. Bahkan, sebenarnya wanita sendiri berisiko nyawa atau kerusakan organ pascaaborsi.

Aborsi yang dilakukan karena alasan kemiskinan menunjukkan perilaku yang tidak bertanggung jawab, tidak terencananya pembentukan keluarga. Mestinya ini bisa diselesaikan dengan solidaritas antarsesama, karena tidak sedikit orang yang berlimpah kekayaan. Bila terjadi aborsi, apakah lingkungannya tidak ikut "berdosa"?

Aborsi akibat pergaulan bebas menunjukkan lemahnya keluarga sebagai agen utama pendidikan moral maupun agama. Orang tua merasa cukup dengan membekali anak-anak dengan gadget atau materi untuk kebutuhan dan gaya hidup sehari-hari. Merapuhnya keluarga sebagai agen nilai dan moral ini makin menjadi-jadi.

Keluarga yang kuat adalah negara yang kuat. Pemerintah perlu menyediakan anggaran khusus kepada keluarga-keluarga yang tidak mampu membiayai biaya persalinan dengan biaya yang murah atau bahkan gratis. Yang lebih penting, pembekalan atau pembinaan persiapan sebelum perkawinan perlu dilakukan. Di sekolah juga perlu digencarkan sosialisasi bahaya aborsi.

Keluarga adalah benteng utama pendidikan. Dalam keluarga inilah pendidikan moral dimulai. Peran orang tua sangat penting dan tidak akan tergantikan. Orang tua yang lalai, bahkan lengah sedikit saja, akan pendidikan moral anak akan sangat memengaruhi perkembangan pribadi anak menuju tidak humanis. Kembalikan fungsi luhur keluarga. Jangan biarkan arus gaya hidup "mendidik" anak-anak kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar