Lampu
Kuning Energi
Abdul Muin ; Mantan Peneliti Lemigas dan Mantan Wakil
Kepala BP Migas
SUMBER : KOMPAS, 11
Juni 2012
Rasanya hiruk-pikuk dalam menghadapi masalah
energi saat ini masih belum terfokus pada akar masalah yang sesungguhnya.
Jika kita mau teliti (dan jujur) membaca data
statistik dan fakta terkait sumber daya alam yang telah kita kuras selama ini,
yang Indonesia hadapi dewasa ini bukan sekadar kesulitan memangkas subsidi BBM
semata. Sesungguhnya kita dalam skala ancaman krisis ketahanan sistem energi.
Namun, seolah hanyut dalam kebiasaan
mempermasalahkan masalah, terkadang kita lebih senang memilih opsi solusi
melanjutkan masalahnya. Mengapa kita tak dapat membaca tanda-tanda krisis yang
seharusnya bisa kita prediksi lebih awal?
Hantu-hantu Krisis
Masalah energi memang kompleks. Energi
Indonesia tidak saja menyentuh aspek-aspek matarantai supply-demand, kerusakan lingkungan, pemenuhan kebutuhan anggaran
devisa serta pasokan domestik bagi transportasi, pembangkitan listrik, dan
aspek industri. Energi juga sangat erat terkait dengan ranah politik sehingga
otomatis berdampak langsung pada kehidupan ekonomi masyarakat, dan sangat
sensitif terhadap gejolak sosial.
Adakah yang salah dengan pengelolaan sumber
daya energi Indonesia? Pada awal 1960-an, Indonesia merupakan raksasa yang
lelap. Sumber daya alamnya mahakaya, tetapi kita belum agresif mengembangkannya.
Raksasa itu mulai bangun pada 1970-an, dengan pengembangan ladang-ladang migas
yang besar.
Produksi pun melejit selama satu dekade,
mencapai puncak produksi pertama pada tahun 1977, sebanyak 1,67 juta barrel per
hari. Pada 1980-an, kita beruntung dapat memacu teknologi baru untuk menaikkan
oil recovery dalam satu dekade tambahan, sampai 1990-an. Dan, pada masa antara
1990-2000, kita diberi berkah menikmati titik puncak kedua produksi minyak,
yakni pada 1997.
Seyogianya, pada 1995-1997 itu kita mulai
terjaga. Puncak produksi minyak yang kedua ini sesungguhnya lampu merah bagi
ketahanan energi karena sebuah puncak produksi harus dilihat sebagai pintu
gerbang memasuki krisis minyak. Sejak itu, terutama pada dekade 2000-2010,
produksi minyak mentah kita menurun secara persisten. Namun, kita seakan tidak
mau mengakuinya sebagai sebuah krisis.
Sebagian dari kita—baik pemerintah, ekonom,
pengamat, maupun berbagai pihak lain—bahkan masih bermimpi untuk menaikkan
kembali produksi minyak seperti pada masa jaya. Alih-alih serius mengupayakan
solusi sumber energi alternatif dengan berbagai kebijakan strategis yang
dibutuhkan, sebagian pihak mengupayakan jalan pintas dengan mencari dan memeras
kambing hitamnya, yaitu institusi pengelola di kegiatan hulu migas. Ini ironis,
juga naif, tatkala komponen penentu masa depan bangsa cenderung hanyut dalam
mengejar target kepentingan jangka pendek belaka.
Beranikah kita sebutkan bahwa Indonesia kini
berada dalam posisi menghadapi bayangan hantu-hantu akibat krisis ini? Bagi
saya, yang menarik adalah betapa masyarakat berlaku seolah hantu-hantu itu
tidak ada.
Ada kalangan yang melemparkan pertanyaan
berikut: sumber daya alam melimpah merupakan berkah atau kutukan? Berkah atau
kutukan sangat bergantung pada empat hal. Pertama, bagaimana cara kita
berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan geopolitik internasional
serta percaturan politik dalam negeri. Kedua, bagaimana kita mengelola sumber
daya alam kita dan mengelola pendapatan serta pendistribusiannya secara merata.
Ketiga, kemampuan kita bernegosiasi dengan para pemangku kepentingan. Keempat,
yang paling utama, apakah interaksi, pengelolaan, dan negosiasi itu kita
lakukan dengan sikap berpihak atau tidak kepada rakyat kita sendiri.
Sangat Fundamental
Status energi nasional kita dewasa ini tampak
suram. Stok minyak crude ataupun
produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam
skala apa pun. Kapasitas terpasang instalasi listrik kita pun di ambang batas
kritis tanpa cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat
tajam. Namun, pengembangan energi alternatif berjalan lamban dan menghadapi
banyak rintangan dan ketakpastian.
Kesimpulannya: keamanan energi kita untuk
masa depan sudah dalam kondisi krisis.
Faktor-faktor penyebab krisis ini sangat
fundamental. Salah satunya sangat jelas: selama dekade boom minyak, Indonesia
tak punya kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif dan terpadu.
Indonesia juga tidak mempersiapkan suatu perencanaan jangka panjang yang tepat
guna, yang bisa dilaksanakan (dalam mata rantai proses bisnis), konsisten dan
berkelanjutan, serta berimbang dengan kepentingan publik yang lain. Kebijakan
dari berbagai departemen bersifat sektoral, terlalu berorientasi kepada target
jangka pendek, dan sifatnya tumpang tindih serta tak saling mendukung.
Dalam soal listrik, pengelolaan yang
dijalankan terpaksa kita masukkan dalam kategori parah. Pengadaan pembangkit
listrik di masa lalu dominan berbasiskan energi fosil yang ”murah” (BBM yang
disubsidi mewakili 30 persen dari volume atau 70 persen dari biaya bahan bakar
pembangkit listrik saat ini).
Di atas semua itu, kita terus mengabaikan
upaya untuk merumuskan kebijakan untuk mempersiapkan ”spare capacity” yang
memadai, yang dapat mengamankan kebutuhan minyak dan gas untuk konsumsi
domestik dalam situasi darurat. Di lain pihak, upaya melaksanakan program
penghematan atau efisiensi konsumsi energi, terutama atas BBM, rasanya sama
sekali belum dimulai. Buktinya, kemacetan lalu lintas tak saja merupakan
fenomena di Ibu Kota dan kota- kota besar, tetapi sudah menjadi pola normal di
kota-kota kabupaten. Kemacetan yang mewabah adalah bukti tak terbantahkan
akselerasi konsumsi energi.
Situasi krisis energi yang kita hadapi dewasa
ini tidak berkembang seketika. Kalau mau jujur, ini kesalahan dan kelalaian
kolektif kita bersama sejak lama. Dinamika geopolitik internasional dan
nasional juga dominan berperan. Pendekatan pintas dengan saling menyalahkan tak
ada manfaatnya karena banyak komponen dari hampir semua masa pemerintahan punya
kontribusi masing-masing walaupun dalam bobot berbeda-beda.
Apa yang harus kita lakukan adalah menyikapi
tantangan berat ini secara realistis serta menyadari bahwa kita dalam situasi
krisis. Semua pihak harus merenung, kemudian membayangkan sebuah Indonesia yang
berputar haluan, menata kembali visi nasional yang lebih tepat guna dan benar.
Beberapa program serius—misalnya penghematan anggaran, efisiensi konsumsi,
kebijakan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya—akan merupakan tugas berat
pemerintah di masa dekat.
Sesungguhnya, upaya untuk merumuskan subsidi
dan mengatasi krisis BBM serta krisis sektor energi lainnya di masa depan akan
kian menantang. Kabinet mana pun dan komponen bangsa dengan partai serta simbol
apa pun akan harus melihat ini sebagai salah satu masalah pokok Indonesia.
Dalam situasi krisis, keberanian mengambil keputusan tegas dan tidak populer
akan dimaklumi rakyat bila dibarengi dengan sikap keprihatinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar