Selasa, 12 Juni 2012

Lampu Kuning Energi


Lampu Kuning Energi
Abdul Muin ; Mantan Peneliti Lemigas dan Mantan Wakil Kepala BP Migas
SUMBER :  KOMPAS, 11 Juni 2012


Rasanya hiruk-pikuk dalam menghadapi masalah energi saat ini masih belum terfokus pada akar masalah yang sesungguhnya.

Jika kita mau teliti (dan jujur) membaca data statistik dan fakta terkait sumber daya alam yang telah kita kuras selama ini, yang Indonesia hadapi dewasa ini bukan sekadar kesulitan memangkas subsidi BBM semata. Sesungguhnya kita dalam skala ancaman krisis ketahanan sistem energi.

Namun, seolah hanyut dalam kebiasaan mempermasalahkan masalah, terkadang kita lebih senang memilih opsi solusi melanjutkan masalahnya. Mengapa kita tak dapat membaca tanda-tanda krisis yang seharusnya bisa kita prediksi lebih awal?

Hantu-hantu Krisis

Masalah energi memang kompleks. Energi Indonesia tidak saja menyentuh aspek-aspek matarantai supply-demand, kerusakan lingkungan, pemenuhan kebutuhan anggaran devisa serta pasokan domestik bagi transportasi, pembangkitan listrik, dan aspek industri. Energi juga sangat erat terkait dengan ranah politik sehingga otomatis berdampak langsung pada kehidupan ekonomi masyarakat, dan sangat sensitif terhadap gejolak sosial.

Adakah yang salah dengan pengelolaan sumber daya energi Indonesia? Pada awal 1960-an, Indonesia merupakan raksasa yang lelap. Sumber daya alamnya mahakaya, tetapi kita belum agresif mengembangkannya. Raksasa itu mulai bangun pada 1970-an, dengan pengembangan ladang-ladang migas yang besar.

Produksi pun melejit selama satu dekade, mencapai puncak produksi pertama pada tahun 1977, sebanyak 1,67 juta barrel per hari. Pada 1980-an, kita beruntung dapat memacu teknologi baru untuk menaikkan oil recovery dalam satu dekade tambahan, sampai 1990-an. Dan, pada masa antara 1990-2000, kita diberi berkah menikmati titik puncak kedua produksi minyak, yakni pada 1997.

Seyogianya, pada 1995-1997 itu kita mulai terjaga. Puncak produksi minyak yang kedua ini sesungguhnya lampu merah bagi ketahanan energi karena sebuah puncak produksi harus dilihat sebagai pintu gerbang memasuki krisis minyak. Sejak itu, terutama pada dekade 2000-2010, produksi minyak mentah kita menurun secara persisten. Namun, kita seakan tidak mau mengakuinya sebagai sebuah krisis.

Sebagian dari kita—baik pemerintah, ekonom, pengamat, maupun berbagai pihak lain—bahkan masih bermimpi untuk menaikkan kembali produksi minyak seperti pada masa jaya. Alih-alih serius mengupayakan solusi sumber energi alternatif dengan berbagai kebijakan strategis yang dibutuhkan, sebagian pihak mengupayakan jalan pintas dengan mencari dan memeras kambing hitamnya, yaitu institusi pengelola di kegiatan hulu migas. Ini ironis, juga naif, tatkala komponen penentu masa depan bangsa cenderung hanyut dalam mengejar target kepentingan jangka pendek belaka.

Beranikah kita sebutkan bahwa Indonesia kini berada dalam posisi menghadapi bayangan hantu-hantu akibat krisis ini? Bagi saya, yang menarik adalah betapa masyarakat berlaku seolah hantu-hantu itu tidak ada.

Ada kalangan yang melemparkan pertanyaan berikut: sumber daya alam melimpah merupakan berkah atau kutukan? Berkah atau kutukan sangat bergantung pada empat hal. Pertama, bagaimana cara kita berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan geopolitik internasional serta percaturan politik dalam negeri. Kedua, bagaimana kita mengelola sumber daya alam kita dan mengelola pendapatan serta pendistribusiannya secara merata. Ketiga, kemampuan kita bernegosiasi dengan para pemangku kepentingan. Keempat, yang paling utama, apakah interaksi, pengelolaan, dan negosiasi itu kita lakukan dengan sikap berpihak atau tidak kepada rakyat kita sendiri.

Sangat Fundamental

Status energi nasional kita dewasa ini tampak suram. Stok minyak crude ataupun produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam skala apa pun. Kapasitas terpasang instalasi listrik kita pun di ambang batas kritis tanpa cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat tajam. Namun, pengembangan energi alternatif berjalan lamban dan menghadapi banyak rintangan dan ketakpastian.

Kesimpulannya: keamanan energi kita untuk masa depan sudah dalam kondisi krisis.

Faktor-faktor penyebab krisis ini sangat fundamental. Salah satunya sangat jelas: selama dekade boom minyak, Indonesia tak punya kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif dan terpadu. Indonesia juga tidak mempersiapkan suatu perencanaan jangka panjang yang tepat guna, yang bisa dilaksanakan (dalam mata rantai proses bisnis), konsisten dan berkelanjutan, serta berimbang dengan kepentingan publik yang lain. Kebijakan dari berbagai departemen bersifat sektoral, terlalu berorientasi kepada target jangka pendek, dan sifatnya tumpang tindih serta tak saling mendukung.

Dalam soal listrik, pengelolaan yang dijalankan terpaksa kita masukkan dalam kategori parah. Pengadaan pembangkit listrik di masa lalu dominan berbasiskan energi fosil yang ”murah” (BBM yang disubsidi mewakili 30 persen dari volume atau 70 persen dari biaya bahan bakar pembangkit listrik saat ini).

Di atas semua itu, kita terus mengabaikan upaya untuk merumuskan kebijakan untuk mempersiapkan ”spare capacity” yang memadai, yang dapat mengamankan kebutuhan minyak dan gas untuk konsumsi domestik dalam situasi darurat. Di lain pihak, upaya melaksanakan program penghematan atau efisiensi konsumsi energi, terutama atas BBM, rasanya sama sekali belum dimulai. Buktinya, kemacetan lalu lintas tak saja merupakan fenomena di Ibu Kota dan kota- kota besar, tetapi sudah menjadi pola normal di kota-kota kabupaten. Kemacetan yang mewabah adalah bukti tak terbantahkan akselerasi konsumsi energi.

Situasi krisis energi yang kita hadapi dewasa ini tidak berkembang seketika. Kalau mau jujur, ini kesalahan dan kelalaian kolektif kita bersama sejak lama. Dinamika geopolitik internasional dan nasional juga dominan berperan. Pendekatan pintas dengan saling menyalahkan tak ada manfaatnya karena banyak komponen dari hampir semua masa pemerintahan punya kontribusi masing-masing walaupun dalam bobot berbeda-beda.

Apa yang harus kita lakukan adalah menyikapi tantangan berat ini secara realistis serta menyadari bahwa kita dalam situasi krisis. Semua pihak harus merenung, kemudian membayangkan sebuah Indonesia yang berputar haluan, menata kembali visi nasional yang lebih tepat guna dan benar. Beberapa program serius—misalnya penghematan anggaran, efisiensi konsumsi, kebijakan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya—akan merupakan tugas berat pemerintah di masa dekat.

Sesungguhnya, upaya untuk merumuskan subsidi dan mengatasi krisis BBM serta krisis sektor energi lainnya di masa depan akan kian menantang. Kabinet mana pun dan komponen bangsa dengan partai serta simbol apa pun akan harus melihat ini sebagai salah satu masalah pokok Indonesia. Dalam situasi krisis, keberanian mengambil keputusan tegas dan tidak populer akan dimaklumi rakyat bila dibarengi dengan sikap keprihatinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar