Senin, 04 Juni 2012

Konstelasi Pilpres Pascavonis Mubarak

Konstelasi Pilpres Pascavonis Mubarak
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik
Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
SUMBER :  JAWA POS, 4 Juni 2012


Pada Sabtu (2/6) lalu Pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan mantan Mendagri Mesir Habib Al-Adiliy. Padahal, jaksa menuntut keduanya hukuman mati atas tuduhan korupsi dan pembantaian terhadap para demonstran pada saat revolusi 25 Januari 2011. Selain presiden, Mendagri di Mesir memang punya komando kepada aparat polisi.

Vonis pengadilan Mesir di atas menjadi bola panas baru. Keluarga korban revolusi beserta sejumlah kekuatan politik memprotes keras putusan pengadilan tersebut. Bahkan, para keluarga korban revolusi bentrok dengan beberapa pendukung Mubarak sembari meminta semua pihak kembali ke Alun-Alun Tahrir untuk menutut hukuman mati terhadap Hosni Mubarak.

Setidaknya ada dua hal yang akan terkena dampak langsung dari vonis pro-kontra Mubarak. Pertama, vonis tersebut berpotensi membawa Mesir kembali ke "gurun konflik" yang sarat dengan aksi-aksi kekerasan. Kedua, vonis tersebut akan sangat memengaruhi konstelasi politik menjelang pilpres putaran kedua pada 16 dan 17 Juni mendatang.

Gurun Konflik

Meski revolusi 25 Januari 2011 berhasil melengserkan Mubarak, Mesir kerap dilanda berbagai macam konflik yang berdarah-darah. Baik konflik aparat dengan para demonstran, konflik sektarian, hingga aksi kekerasan di lapangan sepak bola.

Mesir pascarevolusi jauh lebih berdarah-darah dibanding beberapa negara Arab lain. Libya, contohnya, jauh lebih "adem-ayem" setelah kekuatan revolusi berhasil membunuh dan meruntuhkan kekuasaan Kadhafi. Hal yang kurang lebih sama terjadi di Yaman setelah Ali Abdullah Saleh meninggalkan jabatan presiden.

Pelbagai konflik itu menunjukkan minimnya pemimpin alternatif yang kuat dan mengakar pasca-Mubarak. Beberapa nama yang sempat digadang-gadang masih jauh dari harapan, seperti Amru Musa (mantan Sekjen Liga Arab), Mohamed El-Baradei (mantan kepala Badan Atom Internasional, IAEA) dan yang lain.

Indikatornya, hasil pilpres Mesir pu­taran pertama yang diumumkan komisi pemilu setempat pada 28 Mei lalu. Tak ada satu pun capres yang berhasil meraih dukungan 50 persen sebagai syarat memenangi pilpres dalam satu putaran. Justru yang paling banyak mendapatkan dukungan adalah Mohammed Mursi (dari Ikhwan Muslimin) dan Ahmed Shafik (dianggap loyalis Mubarak). Calon pro-revolusi kesulitan menembus lima besar.

Dalam kondisi seperti ini, Mesir pasca-Mubarak sulit untuk disatukan melalui satu seruan dari sang pemimpin alternatif. Hal yang kerap terjadi adalah, setiap tokoh mengeluarkan pernyataan yang tak jarang berseberangan dengan tokoh lain akibat kepentingan yang berbeda. Inilah salah satu hal yang bisa menjelaskan mengapa Mesir pascarevolusi seakan terjebak di tengah gurun konflik dan kekerasan yang tak bertepi.

Di sisi lain, masyarakat terdidik di Mesir jauh lebih tinggi dibanding negara-negara Arab lain. Maka, masyarakat Mesir sulit "ditaklukkan" oleh janji-janji atau orasi politik para calon pemimpin atau politisi. Apalagi di sana ada penyakit "pantang mengatakan tidak tahu" alias "sok tahu".

Ada satu anekdot yang cukup menggambarkan "penyakit" itu. Bila tersesat di jalan dan bertanya kepada masyarakat, Anda pasti akan mendapatkan jawaban meyakinkan: husy 'ala thul, ba'din yamin, husy syimal... (jalan lurus terus, kemudian belok kanan dan kemudian belok kiri...). Padahal, orang tersebut sesung­guhnya juga tidak tahu tentang alamat yang Anda tuju. Tapi, dia pantang mengatakan tidak tahu, terutama kepada orang asing.

Dalam kondisi seperti ini, vonis terhadap Mubarak sebagaimana di atas berpotensi menerbangkan kembali debu-debu konflik yang mulai merendah dalam beberapa waktu terakhir. Sebuah konflik yang tercipta akibat setiap pihak merasa benar, merasa tokoh, dan seterusnya. Sementara pihak lain tak pernah dianggap benar, apalagi dianggap mempunyai kehendak baik.

Momentum Islamis

Hal yang tak kalah penting adalah, vonis terhadap Mubarak yang kontroversial hampir dipastikan sangat menentukan konstelasi politik menjelang pilpres putaran kedua pertengahan Juni ini. Sentimen anti-Mubarak dan para loyalisnya akan kembali menguat pascavonis tersebut. Bahkan, Tahrir Square bisa kembali bergejolak seperti pada saat-saat akhir kekuasaan Mubarak.

Semua ini tentu sangat menguntungkan Mohammed Mursi yang didukung kelompok Islamis, baik kelompok-kelompok Ikhwan Muslimin, kelompok Salafy maupun yang lain. Di satu sisi, dengan adanya vonis tersebut, Mohammed Mursi dan pendukungnya tidak perlu mengeluarkan modal dalam jumlah besar untuk menumbuhkan kembali semangat anti-Mubarak untuk menekuk Ahmed Shafik, sang loyalis Mubarak.

Di sisi lain, vonis terhadap Mubarak yang "tidak adil" akan mempermudah upaya Mohammed Mursi dan kelompok Islamis merangkul kelompok liberal-sekuler. Contohnya, Ayman Nour yang menjadi pemimpin partai sekuler, Al-Ghad, sekaligus selalu menjadi oposisi Mubarak dengan tegas mengatakan akan mendukung Mohammed Mursi pada pilpres Mesir mendatang (Aljazeeranet, 2/6). Ini ekspresi kekecewaan Ayman Nour terhadap vonis di atas.

Hal yang diperlukan Mohammed Mursi beserta kelompok Islamis adalah menjaga dan memelihara suhu anti-Mubarak yang tercipta oleh vonis Mubarak di atas. Bila ini berhasil, langkah Mohammed Mursi menuju kursi nomor wahid di Mesir hampir mustahil bisa dihentikan.

Namun, masih ada hari menuju pilpres 16 dan 17 Juni mendatang. Semua kemungkinan politik masih terbuka lebar. Merawat momentum jauh lebih sulit daripada menciptakannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar