Keniscayaan
Ekonomi Hijau
Jalal ; Aktivis Lingkar Studi CSR (www.csrindonesia.com)
SUMBER : KORAN
TEMPO, 6 Juni 2012
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5
Juni 2012 yang telah ditetapkan oleh United
Nations Environment Programme (UNEP) adalah “Green Economy: Does It Include You?”. Ada dua hal yang sangat
penting di situ, yaitu ekonomi hijau dan inklusivitas. Ekonomi hijau sama
sekali bukan konsep baru. Buku Blueprint of Green Economy (Pearce, et
al, 1989) sudah mengingatkan soal bahaya bentuk ekonomi yang menyebabkan
marginalisasi sosial dan kehancuran lingkungan kepada dunia lebih dari 20 tahun
yang lampau. Sementara itu, pembicaraan mengenai inklusivitas atau peran semua
pihak untuk mencapai keberlanjutan menjadi tema yang sangat kental Konferensi
Rio pada 1992.
Mereka yang pesimistis akan langsung
mencemooh tema tersebut, karena kebanyakan dari kita tak melihat adanya
kemajuan berarti terkait dengan kondisi keberlanjutan. Secara umum, kita terus
membebani lingkungan di luar batas-batas yang menjamin kesehatannya. Dalam Living
Planet Report 2010 (WWF, 2011), dinyatakan bahwa kita sudah melampaui daya
dukung lingkungan sebesar 50 persen dengan kecenderungan yang terus meningkat
sejak pertama kali jejak kaki ekologis diukur. Padahal ekonomi hijau
didefinisikan sebagai “ekonomi yang
meningkatkan kondisi kesejahteraan umat manusia dan keadilan sosial dengan
mengurangi risiko lingkungan serta kelangkaan sumber daya alam secara
signifikan” (UNEP, 2010). Jelas, aspirasi atas ekonomi hijau sama sekali belum
diperjuangkan dengan memadai.
Namun di situlah justru pentingnya ekonomi
hijau didengungkan kembali. Bukan hanya oleh UNEP lewat tema Hari Lingkungan
Hidup tahun ini, tapi juga melalui sebuah konferensi besar bertajuk Rio+20 yang
akan digelar pada 20-22 Juni mendatang. Rio+20 adalah sebuah peringatan bahwa
kita telah berjanji akan menyelamatkan umat manusia dengan pendekatan
pembangunan yang waras, 20 tahun lalu, di Rio de Janeiro. Kalau kemudian bentuk
pembangunan yang “... memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya” belum
juga ditegakkan, ini tak berarti kita harus tidak lagi mempedulikannya.
Sebaliknya, kita semua harus berupaya mengembalikan diri ke jalur yang
seharusnya.
Karena itu, tema ekonomi hijau dan
inklusivitas ini sangatlah pas. Ekonomi hijau bukan pengganti pembangunan
berkelanjutan, melainkan penegasan bahwa keberlanjutan hanya bisa dicapai
dengan memastikan kita hidup dalam model ekonomi yang tepat (UNEP, 2012). Model
ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi yang tumbuh tanpa mengorbankan keadilan
sosial dan kualitas lingkungan. Bahkan tujuan peningkatan kualitas lingkungan
dan keadilan sosial dalam ekonomi hijau telah ditunjukkan dalam banyak kasus
bisa meningkatkan keuntungan ekonomi. Demikian juga inklusivitas atau
pengikutsertaan semua pemangku kepentingan untuk terlibat dalam model ekonomi
yang berkelanjutan sangat penting. Sementara di masa lampau pemain utama
pembangunan adalah pemerintah, sudah saatnya kesadaran bahwa kita semua
memiliki peran masing-masing yang menuju tujuan bersama harus dipegang erat.
Ekonomi hijau membawa perubahan paradigma
yang sangat mendasar. Sementara sebelumnya banyak pihak yang memandang bahwa
ekonomi itu terpisah dari--atau maksimal memiliki peririsan dengan--aspek
sosial dan lingkungan, ekonomi hijau dengan tegas mengingatkan bahwa ekonomi
sesungguhnya adalah bagian dari sosial, dan sosial adalah bagian dari
lingkungan. Pergeseran paradigma ini menekankan bahwa di masa mendatang model ekonomi
yang diinginkan tumbuh adalah hanya yang sesuai dengan nilai keadilan sosial
dan kelestarian lingkungan.
Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan
perbaikan besar-besaran dari berbagai bentuk ekonomi “tradisional” yang kita
lihat sekarang. Kita tak mungkin menghilangkan dengan sekejap bentuk ekonomi
yang tidak sesuai dengan paradigma ekonomi hijau, tapi ada banyak yang bisa
dilakukan untuk menurunkan dampak negatifnya terhadap kondisi sosial dan
lingkungan. Di antara yang paling penting adalah meningkatkan efisiensi energi
dan efisiensi penggunaan materi, serta mengurangi sampah produksi secara
signifikan.
Perpindahan ke arah energi yang lebih bersih
dan terbarukan juga sangat penting. Sementara itu, dampak sosial negatif yang
banyak timbul dari aktivitas ekonomi sekarang juga harus diatasi. Pengambilan
keputusan yang lebih menghormati masyarakat yang terkena dampak harus
dilakukan, dan sedapat mungkin dengan menyertakan mereka dalam pengambilan
keputusan itu. Tentu saja, sebelumnya mereka perlu dibekali dengan informasi
yang jujur, terang, dan berimbang, sehingga mereka bisa mengambil keputusan
dengan benar.
Lebih jauh dari itu, bentuk-bentuk ekonomi
baru, yang sesuai dengan paradigma ekonomi hijau, harus didorong agar muncul.
Bisnis dengan tujuan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam selayaknya
mendapatkan insentif yang pantas. Bisnis yang mempromosikan keadilan
sosial--seperti pendidikan dan kesehatan untuk kelompok marginal--harus terus
didorong untuk maju.
Kita di Indonesia perlu disadarkan bahwa
pekerjaan rumah memang masih menumpuk. Terkait dengan energi tak terbarukan
yang kotor dan terbatas, kita boros menggunakannya. Di sisi lain, panas bumi
dan sinar matahari yang melimpah belum kita pergunakan dengan memadai. Tidak
mengherankan kalau dalam publikasi Renewable Energy Country Attractiveness
Indices dari Ernst and Young pada Mei 2012 kita belum bisa melihat
Indonesia di urutan 40 besar. Menggenjot pemanfaatan energi terbarukan adalah
keniscayaan apabila Indonesia ingin masuk dalam paradigma ekonomi hijau.
Hutan primer kita yang masih terbilang luas,
termasuk yang mengalami deforestasi dan yang terdegradasi, sesungguhnya bisa
menjadikan kita masuk dalam model ekonomi hijau. Dengan mendorong rehabilitasi
dan konservasi secara masif, kita akan bisa mendapatkan banyak contoh bahwa
sesungguhnya melakukan rehabilitasi dan konservasi memang bisa menguntungkan
secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Peluang yang hadir, misalnya melalui
inisiatif REDD+, seharusnya bisa kita tangkap, sehingga upaya kita
merehabilitasi kondisi hutan bisa pula mendapatkan dukungan di awal, selain
insentif ekonomi sesuai dengan kinerja yang kita tunjukkan.
Ekonomi hijau adalah sebuah paradigma yang
harus kita anut karena kebenarannya yang hakiki. Ia menyatukan berbagai tingkat
kebutuhan manusia dengan tegas, dan memberi jalan keluar untuk membalik kondisi
kita sekarang menuju keberlanjutan. Tak mengherankan kalau itu menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Rio+20
sekaligus. Pepatah dari negeri Cina menyebutkan bahwa waktu terbaik untuk
menanam pohon adalah 20 tahun lalu, dan waktu kedua terbaik adalah hari ini.
Kita telah kehilangan waktu terbaik itu 20 tahun lalu, semoga kita bisa
mengambil waktu kedua terbaik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar