Kamis, 14 Juni 2012

Kebijakan Moneter dan Pengawasan Perbankan


Kebijakan Moneter dan Pengawasan Perbankan
Achmad Deni Daruri ; President Director Center for Banking Crisis
Sumber :  SINDO, 14 Juni 2012


Batasan-batasan yang ada di antara perantara finansial telah menjadi kabur. Borio dan Filosa (1994) mungkin menjadi pihak yang pertama yang mengeksplorasi konsekuensi dari struktur pengawasan keuangan terhadap segala aspek termasuk aspek moneter.
Kesimpulan mereka adalah menempatkan tanggung jawab atas pengawasan semua perantara finansial dalam satu institusi. Tapi, ini secara alami menimbulkan masalah bagi bank sentral jika mereka ingin mempertahankan kendali internal pengawasan perbankan. Logika yang menempatkan semua pengawasan di bawah satu atap akan membutuhkan bank sentral untuk mengambil tanggung jawab pengawasan atas kegiatan yang terletak di luar lingkup historis keahlian dan tanggung jawabnya.

Sebuah masalah yang bahkan lebih serius dari yang sudah ada akan muncul dari bagaimana untuk demarkasi batas antara sub-set penabung/ lembaga mereka yang akan dicakup dalam safetynet (eksplisit atau implisit), asuransi deposito, fasilitas lender of last resort,dan sebagainya. Regulasi perbankan yang terjadi di Amerika Serikat tidak mempermasalahkan peran bank sentral, tapi justru mempermasalahkan tidak adanya kemampuan pengawasan bank sentral untuk mengakses data investasi bank.

Kemampuan mengakses data investasi bank justru berada pada regulator pasar modal. Krisis kali ini memberikan implikasi yang berbeda antara keadaan di Indonesia dan keadaan di Amerika Serikat. Penelitian empiris juga memperlihatkan bahwa bank yang memiliki aset yang sangat besar ternyata menghadapi fungsi produksi yang bersifat constant return to scale. Berbeda dengan di Indonesia, di mana bank besar justru masih memiliki fungsi produksi yang bersifat increasing return to scale seperti Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BCA.

Dengan terperangkapnya perbankan pada keadaan constant return to scale, semakin besar usaha perbankan tidak memberikan implikasi kepada daya saing usaha mereka. Di sinilah potensi digunakannya subsidi negara untuk mendukung perbankan yang tercakup oleh fungsi produksi yang bersifat constant return to scale. Berdasarkan teori siklus, jika subsidi dihapus, sangat mungkin perbankan akan memasuki fase decreasing return to scale.

Dalam kondisi krisis yang sangat berat, pergeseran dari increasing return to scale menjadi constant return to scale serta ke decreasing return to scale sangat mungkin terjadi. Dengan demikian,ada indikasi yang sangat kuat bahwa penguatan The Fed juga mencakup untuk mengatasi problem ‘too big too fail’. Artinya The Fed akan bertindak preventif sebelum kondisi too big too fail terjadi.

Pengawasan

Sistem pasar modal dan pengawasan perbankan Indonesia saat ini lebih mirip kepada sistem Amerika Serikat. Maka itu, penciptaan sistem pengawasan baru dengan mengandalkan infrastruktur berupa perangkat keras dan perangkat lunak dari Bapepam sangat berpotensi menyebabkan sistem pengawasan keuangan termasuk sistem pengawasan perbankan di Indonesia akan semakin melemah.

Jika Vocker Rule diterapkan, sistem pembayaran (payment) nasional akan tetap terjaga keamanannya terlepas fungsi pengawasan perbankan berada di bank sentral ataupun lembaga nonbank sentral lainnya. Keberhasilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya bergantung seberapa jauh dampak positif dari keberadaan OJK dalam melebihi dampak negatif dari keberadaan OJK itu.

Transformasi dari bank sentral menuju OJK, dan dari masa awal pembentukan OJK hingga perkembangan masa depannya, akan sangat ditentukan oleh naik-turunnya efek neto dari analisis benefit dan biaya tersebut. Jika dalam jangka panjang keuntungannya akan lebih besar, pembentukan OJK tentu merupakan keharusan. Dalam konteks negara yang sangat bergantung pada sektor keuangan, analisis biaya dan manfaat akan sangat menentukan.

Argumentasi positif bagi regulator tunggal (OJK) berbeda-beda. Rasionalitas dari terintegrasinya secara nasional regulator jasa keuangan (OJK) mencerminkan empat pertimbangan utama.

Pertama, peningkatan dalam jumlah konglomerat keuangan dan semakin tidak jelasnya batas antara produk keuangan membuat regulasi sektoral menjadi semakin tidak efektif. Di London dalam jangka waktu yang lama hanya terdapat sedikit hambatan pada kebebasan bagi perusahaan keuangan untuk mengakuisisi satu dengan lainnya, melewati batas-batas sektoralnya. Dalam konteks itu, kondisi di Inggris sangat berbeda dengan Amerika Serikat, yang membuat argumentasi bagi regulasi yang terintegrasi semakin menguat di London ketimbang di New York.

Kedua, dengan keberadaan regulator tunggal diharapkan akan terjadi skala ekonomis dan cakupan ekonomis dan memberikan kelebihan dalam mengalokasikan sumber dana regulasi yang sangat terbatas secara efisien dan efektif.

Ketiga, ada keuntungan dengan membuat regulator tunggal yang memiliki tujuan yang jelas dan konsisten serta tanggung jawab yang juga jelas dan konsisten, dan menyelesaikan setiap pilihan pelik antara tujuan dan tanggung jawab tersebut dalam satu wadah.

Keempat, ada argumentasi untuk membuat regulator tunggal menjadi benar-benar akuntabel bagi kinerjanya terhadap tujuan hukumnya, untuk rezim pengaturan, bagi biaya dari regulasi dan bagi kegagalan regulasi di mana mereka terjadi dan mereka akan terjadi.

Secara empiris, survei yang dilakukan Central Banking Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti,tiga perempatnya memberikan kewenangan pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal ini lebih menonjol di negaranegara sedang berkembang. Khusus untuk negara berkembang alasannya adalah masalah sumber daya (resources).

Jelas bahwa kebijakan moneter dan pengawasan perbankan saling terkait sehingga munculnya OJK justru harus lebih merekatkan kebijakan moneter dan pengawasan perbankan menjadi lebih rekat ketimbang periode saat ini. Seyogianya tidak ada perbedaan budaya kerja antara kedua institusi OJK dan Bank Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar