Jalan
Moralitas Negara
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 2
Juni 2012
Sesekuler apa pun, negara tak bisa
menghindari isu moral. Negara mengadili yang bersalah. Namun, negara juga bisa
bersalah, bahkan dengan dampak yang jauh lebih serius daripada kesalahan warga.
Negara dapat memusuhi warga, bahkan membunuh. Praktik diskriminasi negara
menyunat hak politik dan ekonomi warga.
Karena negara tidak profesional melindungi
warga, kelompok masyarakat yang lebih lemah dirugikan oleh kelompok yang lebih
kuat. Karena negara salah urus, warga tak kunjung menikmati haknya untuk
sejahtera.
Begitu besar kekuasaan dan dampak
penyalahgunaannya sehingga Hobbes menggambarkan negara sebagai Lewiatan,
monster laut yang menakutkan dalam khazanah mitologi Timur Tengah kuno. Karena
itu, kewenangan negara dibatasi konstitusi. Namun, konstitusi pun dapat memihak
penguasa atau kepentingan kelompok yang lebih kuat. Undang-undang malah
melegitimasi kesewenang-wenangan dan inkompetensi negara.
Negara Pancasila
Maka, negara hukum begitu saja tak cukup
sebagai alternatif negara kekuasaan. Untuk menghindari kecelakaan bernegara dan
negara tak kehilangan moralitasnya, konstitusi harus dijiwai nilai-nilai luhur.
Untuk itulah Pancasila lahir 67 tahun lalu. Kemudian, UU Nomor 10 Tahun 2004
menegaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Desain besar negara Indonesia menurut Bung
Karno, penggagas Pancasila, adalah Indonesia untuk semua, semua untuk semua.
Kelima dasar filosofis yang dimaksud adalah nasionalisme
(kebangsaan/persatuan), internasionalisme, permusyawaratan/pemufakatan
(demokrasi politik), kesejahteraan (demokrasi ekonomi), dan ketuhanan.
Kebangsaan disebut pertama karena itulah
modal dasar untuk bersatu membentuk negara. Sila ketuhanan di urutan terakhir
tak berarti kurang penting, sebagaimana juga kelak di urutan pertama tak mesti
dibaca sebagai mengungguli empat sila lain. Namun, jelas agama tidak
diprivatisasi, juga tidak dinasionalisasi. Ruang publik tidak boleh didominasi
agama mayoritas (penduduk) atau minoritas (penguasa). Indonesia bukan negara
agama.
Yang beragama adalah manusia Indonesia, bukan
negara Indonesia. Negara agama adalah cita-cita luhur yang dalam praktiknya
menyesatkan karena ujung-ujungnya tidak lebih daripada agama sebagai jalan
kekuasaan. Politisasi agama mengorbankan unsur agama yang paling hakiki, yakni
keluhuran. Karakter moral negara seharusnya melampaui agama formal, tidak
mengagamakan negara.
Moralitas dan Moralis
Menurut Bung Karno, Indonesia yang lahir
nanti harus jadi tempat beragama dengan leluasa. Warganya menyingkirkan egoisme
beragama, hidup berdampingan saling menghormati, berkeadaban, berbudi luhur,
dan berbudaya. Pancasila bukan hanya fondasi negara yang tak terlihat di permukaan,
melainkan juga menampilkan wajah moral negara. Namun, negara tak mengurus
moralitas agama.
Urusan negara adalah moralitas bangsa.
Agamawan mengurus moralitas agama, tetapi saleh menurut agama belum tentu
bermoral sebagai warga Indonesia. Tugas negaralah untuk konsekuen
mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, mengawal moralitas
bangsa agar menjadi Pancasilais. Negara Pancasila tidak membutuhkan polisi
moral. Maka, tidak sepantasnya negara memihak salah satu (aliran) agama.
Pejabat negara Pancasila tidak cukup hanya
memberi jaminan kebebasan beragama, tetapi harus menindak tegas siapa saja yang
menghalang-halangi terwujudnya kebebasan itu. Ketiadaan sikap tegas itulah yang
dipertanyakan kepada delegasi Indonesia dalam sidang kelompok kerja Dewan Hak
Asasi Manusia PBB di Swiss. Beberapa tahun terakhir terjadi eskalasi
intoleransi dan negara begitu lemah melindungi HAM minoritas.
Pejabat negara bahkan memakai instrumen hukum
untuk melegalisasi intoleransi. Dalam perselisihan yang akan berujung konflik
horizontal, pemerintah hanya mengimbau jalan musyawarah dan yang posisinya
lebih lemah diminta tahu diri. Ketika menengahi perselisihan, negara tak
profesional menjaga hukum dan ketertiban. Sudah terjadi korban pun, pelanggar
hukum hanya mendapat vonis ringan. Di era reformasi, kecenderungan
penyelenggara negara dan penegak hukum adalah mengikuti sentimen
fundamentalisme agama. Seolah-olah dengan begitu, mereka menampilkan wajah
moral negara. Sungguh keliru! Ukuran sukses Indonesia adalah negara
Pancasilais, bangsa yang Pancasilais, bukan bangsa religius. Dengan beragama,
justru beban bertambah dalam membuktikan nilai tambah agama.
Moralitas orang beragama tak mesti lebih baik
daripada yang tak beragama. Saleh beragama tak mesti warga negara yang baik.
Indonesia harus membuktikan dengan indeks korupsi negara yang lebih baik
daripada China yang komunis, bahkan negara sekuler yang indeksnya jauh di atas.
Tampilan agama di ruang publik yang memberi kesan negara moralis tanpa
menyentuh substansi moralitas sesungguhnya melemahkan fondasi negara.
Pancasila adalah jalan moralitas bangsa.
Negara harus bekerja keras mengimplementasikan dan menegakkan hukum sesuai
dengan Pancasila. Semua perda bernuansa agama seharusnya gugur demi hukum,
bukannya malah dibiarkan semakin banyak seperti sekarang. Inkonsistensi negara
dengan Pancasila membuat bangsa juga tidak konsisten dan tidak peduli lagi
menjadi Pancasilais.
Pembentukan undang-undang antipornografi yang
berbau agama dan menguras energi bangsa menjadi tiada artinya ketika CD/DVD
pornografi bajakan bebas dikonsumsi publik dan anak-anak. Fenomena seperti itu
tak dijumpai di Singapura yang sekuler. Jika pemerintah serius menjaga dan
memelihara moralitas bangsa, penegak hukum yang bertanggung jawab atas wilayah yang
bebas menjual barang-barang ilegal itulah yang pertama-tama harus kena sanksi.
Persoalan dengan Indonesia dua dekade
terakhir, negara cenderung moralis. Moral adalah imperatif dan didukung agama.
Namun, moralis menyuburkan kemunafikan dan ditentang agama. Negara berusaha
menampilkan citra moral dengan mengakomodasi perspektif agama untuk menutupi
kegagalan menegakkan moralitas publik, menegakkan hukum secara konsekuen,
sebagai negara Pancasila. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar