Kamis, 14 Juni 2012

Institusi dan Tim Seleksi OJK

Institusi dan Tim Seleksi OJK
Zaenal Abidin ; Peneliti Senior Perbanas Institute dan IICG
SUMBER :  KOMPAS, 14 Juni 2012


Saat ini, Komisi XI DPR tengah melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap 14 calon Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Ke-14 calon Komisioner OJK sudah merupakan pilihan Presiden atas rekomendasi tim seleksi OJK yang selanjutnya akan dipilih DPR.
Bila kita tengok ke belakang, berdirinya OJK karena ketakberdayaan lembaga pengawas keuangan, terutama Bank Indonesia (BI), saat krisis ekonomi 1997/1998. Saat itu, lembaga pengawasan dan lembaga keuangan di Indonesia sangat mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (GCG). Kemudian lahirlah ide pembentukan OJK, yang juga didorong keinginan IMF saat itu. Setelah lama melalui perdebatan, kini UU OJK sudah terbentuk dan akan diberlakukan untuk lembaga keuangan nonbank pada awal 2013 dan perbankan pada 2014.

Salah satu prinsip GCG yang penting adalah faktor independensi. Bila dikaji secara institusi, boleh dikata OJK merupakan lembaga yang independen. Independensi lembaga didasarkan dari segi kemandirian: institusi, fungsi, keuangan, dan organisasi.

Keempat syarat tersebut merupakan indikator yang disampaikan oleh Prof Nindyo Pramono sewaktu membahas independensi BI. Secara institusi, OJK independen karena terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, seperti tertuang dalam Pasal 7, 8, dan 9 di UU OJK. Dalam pasal tersebut, OJK punya kewenangan menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan memberi atau mencabut izin usaha.

Adapun secara fungsi, OJK dikatakan independen juga karena mampu secara mandiri dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, dari fungsi keuangan juga independen karena DPR dan pemerintah tidak dapat mengintervensi dalam menentukan anggarannya. Bukti terakhir dan penting adalah OJK juga secara organisasi independen karena organisasi OJK tidak berada dalam struktur kabinet atau struktur pemerintahan. Artinya, bebas dari kekuasaan eksekutif.

Konflik Kepentingan

Namun, independesi kelembagaan OJK sedikit ternoda dengan kehadiran tim seleksi yang diduga terdapat konflik kepentingan (lihat tabel tim seleksi OJK). Salah satu tolak ukur independensi dalam prinsip GCG adalah tidak adanya konflik kepentingan.

Pengalaman penulis saat membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membuat pedoman konflik kepentingan, tahun 2009, mengindikasikan bahwa konflik kepentingan punya potensi ke arah korupsi atau setidaknya akan ada penyalahgunaan kekuasaan. Prof Eko Prasojo (kini Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), yang saat itu sebagai ketua tim, pembuat pedoman konflik kepentingan.

Ia memberikan contoh sebagai berikut. Bilamana ia sebagai salah satu tim seleksi untuk mengevaluasi seseorang tetapi ia kenal baik dengan salah satu kandidat, ia akan mundur dari tim tersebut. Ia akan memberikan kesempatan kepada anggota tim yang lain untuk menilai tanpa kehadirannya untuk menghindari konflik kepentingan.

Dari paparan di atas jelas bahwa konflik kepentingan bukanlah sesuatu yang aib, melainkan yang terpenting bagaimana cara kita menghindari adanya konflik kepentingan tersebut. Untuk lebih jelasnya, pengertian umum konflik kepentingan—menurut KPK—adalah situasi di mana seorang penyelenggara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap pengguna wewenang yang dimilikinya sehingga dapat memengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya (KPK, 2009). Berangkat dari definisi tersebut, terkesan bahwa hasil calon Komisioner OJK punya konflik kepentingan dengan tim seleksi.

Saat tim seleksi OJK mengumumkan hasil ke-21 calon Komisioner OJK, banyak kritik bermunculan. Mereka menganggap tim seleksi kurang transparan karena banyak calon dari akademisi dan di luar instansi BI, Kementerian Keuangan (Kemkeu), dan Bank Mandiri tidak lolos seleksi. Bahkan, Kompas memuat berita bahwa Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis akan terlebih dahulu mengadakan rapat internal sebelum melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap 14 calon anggota Dewan Komisioner OJK. Sebagian anggota DPR diperkirakan kurang memercayai hasil tim seleksi.

Keluhan mereka beralasan karena sebagian besar tim seleksi terdiri dari BI dan Kemkeu, dan dari pejabat tersebut pula sebagian besar punya hubungan kedekatan dengan Bank Mandiri. Maka, tidak heran kalau calon Komisioner OJK adalah dari dua badan otoritas keuangan saja, yaitu BI dan Kemkeu, serta bankir dari Bank Mandiri.

BI dan Kemkeu tampaknya punya kepentingan supaya program pengawasan selama ini berjalan mulus tanpa adanya audit manajemen masa lalu, yang mungkin kurang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Kedua badan tersebut mungkin cukup khawatir bila Komisioner OJK dipegang oleh seseorang yang bukan berasal dari kedua institusi tersebut.

Ada indikasi kedua badan tersebut memilih calon yang bisa diajak kerja sama dengan kedua instansi tersebut. Kedua badan tersebut belum yakin benar keberadaannya walau sudah punya perwakilan pada lembaga OJK. Mereka khawatir kebijakan kedua institusi itu tidak terlaksana sesuai harapan karena akan kalah suara bila kebijakan tersebut harus melalui voting lantaran harus melawan tujuh komisioner lain yang dipilih oleh DPR.

Penulis tak menyangkal kemampuan calon Komisioner OJK yang terpilih. Mereka cukup mampu dan berpengalaman dalam bidangnya. Begitu pula tata kelola Bank Mandiri yang baik sejak tahun 2009.

Namun, mengelola seluruh lembaga keuangan yang terdiri dari 120 bank, 194 lembaga multi-keuangan, dan bila dijumlah secara keseluruhan dengan asuransi dan lembaga lain, OJK akan mengawasi lebih dari 3.400 lembaga keuangan. Jadi, tugas Komisioner OJK kelak sangat berat dan sangat berisiko bagi seluruh rakyat Indonesia bila pengurusnya tidak taat dengan tata kelola yang baik.

Akhirnya, kita berharap uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh DPR benar-benar melihat dan mengevaluasi dari sisi rekam jejak calon komisioner dalam mengambil kebijakan-kebijakan, baik yang telah dibuat secara perorangan maupun secara kolektif. Jadi, bukan berdasarkan kemampuan secara teknis dalam mengelola lembaga keuangan. Kemudian, pastikan calon tersebut harus bisa terlepas dari pengaruh kedua institusi tersebut yang telah berjasa mencalonkan mereka.

Bila salah memilih, krisis keuangan akan lebih dahsyat dibandingkan krisis 1998/1998 karena di OJK, semua lembaga keuangan telah menyatu. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar