Institusi
dan Tim Seleksi OJK
Zaenal Abidin ; Peneliti Senior Perbanas Institute dan IICG
SUMBER : KOMPAS, 14
Juni 2012
Saat ini, Komisi XI DPR tengah melakukan uji
kepatutan dan kelayakan terhadap 14 calon Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Ke-14 calon Komisioner OJK sudah merupakan pilihan Presiden atas rekomendasi
tim seleksi OJK yang selanjutnya akan dipilih DPR.
Bila kita tengok ke belakang, berdirinya OJK
karena ketakberdayaan lembaga pengawas keuangan, terutama Bank Indonesia (BI),
saat krisis ekonomi 1997/1998. Saat itu, lembaga pengawasan dan lembaga
keuangan di Indonesia sangat mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik
(GCG). Kemudian lahirlah ide pembentukan OJK, yang juga didorong keinginan IMF
saat itu. Setelah lama melalui perdebatan, kini UU OJK sudah terbentuk dan akan
diberlakukan untuk lembaga keuangan nonbank pada awal 2013 dan perbankan pada
2014.
Salah satu prinsip GCG yang penting adalah
faktor independensi. Bila dikaji secara institusi, boleh dikata OJK merupakan
lembaga yang independen. Independensi lembaga didasarkan dari segi kemandirian:
institusi, fungsi, keuangan, dan organisasi.
Keempat syarat tersebut merupakan indikator
yang disampaikan oleh Prof Nindyo Pramono sewaktu membahas independensi BI.
Secara institusi, OJK independen karena terpisah dari kekuasaan eksekutif dan
legislatif, seperti tertuang dalam Pasal 7, 8, dan 9 di UU OJK. Dalam pasal
tersebut, OJK punya kewenangan menetapkan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan dan memberi atau mencabut izin usaha.
Adapun secara fungsi, OJK dikatakan
independen juga karena mampu secara mandiri dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya, dari fungsi keuangan juga independen karena DPR dan pemerintah
tidak dapat mengintervensi dalam menentukan anggarannya. Bukti terakhir dan
penting adalah OJK juga secara organisasi independen karena organisasi OJK
tidak berada dalam struktur kabinet atau struktur pemerintahan. Artinya, bebas
dari kekuasaan eksekutif.
Konflik Kepentingan
Namun, independesi kelembagaan OJK sedikit
ternoda dengan kehadiran tim seleksi yang diduga terdapat konflik kepentingan
(lihat tabel tim seleksi OJK). Salah satu tolak ukur independensi dalam prinsip
GCG adalah tidak adanya konflik kepentingan.
Pengalaman penulis saat membantu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membuat pedoman konflik kepentingan, tahun
2009, mengindikasikan bahwa konflik kepentingan punya potensi ke arah korupsi
atau setidaknya akan ada penyalahgunaan kekuasaan. Prof Eko Prasojo (kini Wakil
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), yang saat itu
sebagai ketua tim, pembuat pedoman konflik kepentingan.
Ia memberikan contoh sebagai berikut.
Bilamana ia sebagai salah satu tim seleksi untuk mengevaluasi seseorang tetapi
ia kenal baik dengan salah satu kandidat, ia akan mundur dari tim tersebut. Ia
akan memberikan kesempatan kepada anggota tim yang lain untuk menilai tanpa
kehadirannya untuk menghindari konflik kepentingan.
Dari paparan di atas jelas bahwa konflik kepentingan
bukanlah sesuatu yang aib, melainkan yang terpenting bagaimana cara kita
menghindari adanya konflik kepentingan tersebut. Untuk lebih jelasnya,
pengertian umum konflik kepentingan—menurut KPK—adalah situasi di mana seorang
penyelenggara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas
setiap pengguna wewenang yang dimilikinya sehingga dapat memengaruhi kualitas
dan kinerja yang seharusnya (KPK, 2009). Berangkat dari definisi tersebut,
terkesan bahwa hasil calon Komisioner OJK punya konflik kepentingan dengan tim
seleksi.
Saat tim seleksi OJK mengumumkan hasil ke-21
calon Komisioner OJK, banyak kritik bermunculan. Mereka menganggap tim seleksi
kurang transparan karena banyak calon dari akademisi dan di luar instansi BI,
Kementerian Keuangan (Kemkeu), dan Bank Mandiri tidak lolos seleksi. Bahkan,
Kompas memuat berita bahwa Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis akan
terlebih dahulu mengadakan rapat internal sebelum melakukan uji kepatutan dan
kelayakan terhadap 14 calon anggota Dewan Komisioner OJK. Sebagian anggota DPR
diperkirakan kurang memercayai hasil tim seleksi.
Keluhan mereka beralasan karena sebagian
besar tim seleksi terdiri dari BI dan Kemkeu, dan dari pejabat tersebut pula
sebagian besar punya hubungan kedekatan dengan Bank Mandiri. Maka, tidak heran
kalau calon Komisioner OJK adalah dari dua badan otoritas keuangan saja, yaitu
BI dan Kemkeu, serta bankir dari Bank Mandiri.
BI dan Kemkeu tampaknya punya kepentingan
supaya program pengawasan selama ini berjalan mulus tanpa adanya audit
manajemen masa lalu, yang mungkin kurang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Kedua badan tersebut mungkin cukup khawatir bila Komisioner OJK dipegang oleh
seseorang yang bukan berasal dari kedua institusi tersebut.
Ada indikasi kedua badan tersebut memilih
calon yang bisa diajak kerja sama dengan kedua instansi tersebut. Kedua badan
tersebut belum yakin benar keberadaannya walau sudah punya perwakilan pada
lembaga OJK. Mereka khawatir kebijakan kedua institusi itu tidak terlaksana
sesuai harapan karena akan kalah suara bila kebijakan tersebut harus melalui
voting lantaran harus melawan tujuh komisioner lain yang dipilih oleh DPR.
Penulis tak menyangkal kemampuan calon
Komisioner OJK yang terpilih. Mereka cukup mampu dan berpengalaman dalam
bidangnya. Begitu pula tata kelola Bank Mandiri yang baik sejak tahun 2009.
Namun, mengelola seluruh lembaga keuangan
yang terdiri dari 120 bank, 194 lembaga multi-keuangan, dan bila dijumlah
secara keseluruhan dengan asuransi dan lembaga lain, OJK akan mengawasi lebih
dari 3.400 lembaga keuangan. Jadi, tugas Komisioner OJK kelak sangat berat dan
sangat berisiko bagi seluruh rakyat Indonesia bila pengurusnya tidak taat
dengan tata kelola yang baik.
Akhirnya, kita berharap uji kelayakan dan
kepatutan yang dilakukan oleh DPR benar-benar melihat dan mengevaluasi dari
sisi rekam jejak calon komisioner dalam mengambil kebijakan-kebijakan, baik
yang telah dibuat secara perorangan maupun secara kolektif. Jadi, bukan
berdasarkan kemampuan secara teknis dalam mengelola lembaga keuangan. Kemudian,
pastikan calon tersebut harus bisa terlepas dari pengaruh kedua institusi
tersebut yang telah berjasa mencalonkan mereka.
Bila salah memilih, krisis keuangan akan
lebih dahsyat dibandingkan krisis 1998/1998 karena di OJK, semua lembaga
keuangan telah menyatu. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar