Sabtu, 02 Juni 2012

Hukum Tidak Bisa Diintervensi


Hukum Tidak Bisa Diintervensi
( Wawancara )
Aswin Rizal Harahap ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 
SUMBER :  KOMPAS, 2 Juni 2012


Pemberian grasi terhadap narapidana narkoba pembawa 4,2 kilogram ganja asal Australia, Schapelle Corby (34), mengejutkan sejumlah kalangan. ”Sekali lagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat,” ujar Aswanto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Rabu (30/5).

Pemerintah semestinya tidak mencampuradukkan hukum dengan politik demi alasan apa pun. Idealnya, hukum tidak pandang bulu, hukum tidak tebang pilih, dan hukum tidak bisa diintervensi. Aswanto berpendapat, penegakan hukum di negeri ini, meskipun telah memasuki 14 tahun era reformasi, masih jauh dari kondisi itu.

Ia pun mengemukakan pandangannya terhadap hukum di Tanah Air, mulai dari kinerja aparat penegak hukum hingga kasus korupsi yang kebanyakan justru membelit mereka. Berikut percakapan tersebut.

Bagaimana penegakan hukum di negara kita?

Harus diakui penegakan hukum di Indonesia karut-marut. Hampir semua lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, hingga pengacara, tidak menerapkan sistem keterpaduan demi mencapai tujuan penegakan hukum (integrated criminal justice system). Selama ini polisi, misalnya, hampir tidak pernah membuat surat penyampaian dimulainya penyidikan (SPDP) karena tidak ingin dikontrol oleh jaksa ketika menyidik suatu perkara. Padahal, hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kalaupun ada, SPDP biasanya diserahkan bersamaan dengan penyerahan berkas apabila memang kasus itu benar- benar berlanjut. Artinya, setiap saat polisi bisa menghentikan penyidikan tanpa sepengetahuan jaksa. Itulah mengapa banyak sekali praktik jual-beli hukum.

Anda yakin praktik jual-beli menyandera hukum?

Kebetulan disertasi saya tentang praktik jual-beli putusan di pengadilan. Sejumlah pengacara yang telah menangani ratusan kasus umumnya mengakui mereka membayar hakim untuk memenangi kasus. Di Pengadilan Negeri Jeneponto beberapa tahun lalu, misalnya, seorang tersangka korupsi dibebaskan hanya karena hakim ketua menganggap dia tidak korupsi. Padahal, dua hakim anggota lain menilai orang itu terbukti korupsi. Ini sebagian fakta bahwa penegakan hukum kita masih karut-marut di segala lini.

Apa dampak dari penegakan hukum yang karut-marut itu?

Implikasi terbesar tentu saja pelanggaran hak asasi manusia. Orang yang sebenarnya tidak salah justru dihukum, begitu pula sebaliknya. Bahkan sering kali lembaga peradilan digunakan sebagai ajang pembunuhan karakter. Biasanya muncul menjelang pemilihan kepala daerah ketika ada calon ingin menjatuhkan lawan politik. Kesalahannya cenderung dicari-cari, seperti ijazah palsu atau korupsi yang lemah pembuktiannya.

Apa yang perlu dibenahi untuk mengatasi karut-marut itu?

Seorang atasan perlu terus-menerus menyadarkan anggotanya yang keliru. Kesadaran moral dibutuhkan untuk membongkar sistem yang menghambat kiprah penegak hukum yang benar-benar berkomitmen dan ”bersih”. Masyarakat pun lambat laun akan mencontoh keteladanan aparat yang kredibel dalam menjalankan tugasnya.

Apakah hal ini juga berlaku pada aparatur pemerintah?

Ya, tentu saja. Bagaimana roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik kalau di dalamnya banyak pejabat yang tidak kompeten sehingga ujung-ujungnya terlibat korupsi. Kalau saja dari awal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempatkan orang-orang profesional dalam jajaran kabinet, tidak akan jalan di tempat seperti sekarang ini. Masyarakat bisa lebih merasakan manfaat program-program pemerintah karena SBY tidak disibukkan dengan urusan korupsi para anggotanya.

Lalu bagaimana dengan penanganan korupsi?

Kalau kita mau jujur, pemberantasan korupsi yang disentuh penegak hukum kebanyakan baru korupsi administratif (administrative corruption) yang relatif kecil, seperti penggelembungan dan penyimpangan dana APBD. Padahal yang paling pokok diselesaikan justru korupsi yang terjadi karena perbuatan kolutif antara pejabat pemerintah dan pengusaha, seperti Bank Century. Meskipun sulit dilawan karena melibatkan penguasa dan dukungan dana dari pengusaha, sebenarnya presiden bisa saja menuntaskan kasus ini melalui jaksa agung.

Apakah ini artinya tidak ada iktikad baik dari pemerintah?

Sikap yang ditunjukkan pemerintah belakangan ini justru bertentangan dengan komitmen pemberantasan korupsi dan narkoba. Jauh sebelum pemberian grasi terhadap Corby, pemerintah sempat mengajukan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kontroversial.

Selain aspek jera, pemberantasan korupsi juga harus memperhatikan aspek pembelajaran. Koruptor harus benar-benar disadarkan bahwa perbuatan mengambil uang dan barang milik negara itu salah, berapa pun jumlahnya. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki konsep jelas tentang pemberantasan korupsi. Mestinya pemerintah konsisten dengan komitmennya agar tidak ada lagi orang yang berani mengambil kekayaan negara, sekecil apa pun itu.

Bagaimana kondisinya, semakin memprihatinkan?

Nuansanya saja yang berbeda. Kalau saat Orde Baru orang korupsi secara diam-diam, kini terang-terangan. Meski harus diakui sisi positifnya saat ini kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi bisa diseret ke pengadilan. Namun, sayangnya, hal itu tercoreng dengan maraknya intervensi dari sejumlah pihak, baik itu menggunakan uang maupun kekuasaan.

Langkah apa yang paling efektif untuk meredam karut-marut penegakan hukum?

Perlu perombakan radikal yang diawali dari struktur pemerintahan. Bangunlah sistem presidensial secara benar tanpa mekanisme koalisi yang kental nuansa transaksional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar