Bara
Krisis belum Padam
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2012
PERTEMUAN
G-20 di Los Cabos, Meksiko (18-22 Juni 2012), sesungguhnya belum menemukan
resep pengobatan yang ampuh (kuratif ) terhadap krisis zona euro. Semua solusi
yang mengemuka untuk menghentikan krisis pada dasarnya lebih mirip plester yang
sifatnya mengurangi rasa sakit, tetapi tidak menyembuhkan secara permanen.
Krisis masih berlangsung dengan dinamis.
Semua
proyeksi mengenai kinerja perekonomian 2012 diturunkan dari 2011. Artinya,
krisis ekonomi global benar-benar tak bisa diingkari. Hanya Indonesia yang
masih berupaya mengais optimisme, dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,5%
pada 2012. Namun, saya pikir itu tidak realistis. Asal bisa tumbuh 6% hingga
6,3% saja, kinerja ekonomi Indonesia sudah bagus.
IMF
menurunkan target pertumbuhan ekonomi global dari 4% (2011) menjadi 3,5%
(2012). Bank Dunia menurunkan target pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik dari 8,3%
(2011) menjadi 7,6% (2012). Sementara itu, negara-negara berkembang bakal
melambat dari 7,4% (2010), kemudian 6,1% (2011), dan menjadi 5,3% (2012).
G-20
kembali mengangkat topik financial
inclusion, yakni bagaimana agar masyarakat dapat memiliki akses ke
sumber-sumber pendanaan. Dewasa ini, sekitar 2,7 miliar penduduk dunia (hampir
50%) tidak punya akses pendanaan, baik formal maupun informal. Di Indonesia,
sedikitnya 40% penduduk belum memiliki akses tersebut.
Topik
ini memang evergreen atau tahan lama.
Indonesia sejak deregulasi perbankan 27 Oktober 1987 gencar melakukan
liberalisasi sektor finansial. Hasilnya, jumlah bank naik pesat hingga 250
bank, tetapi kemudian harus menghadapi kenyataan tragis bahwa pencapaian
kuantitatif tidak diikuti dengan aspek kualitatifnya.
Bank-bank
terjerumus ke jurang krisis 1998, sehingga secara alamiah berguguran. Saat ini
jumlahnya terpangkas menjadi 120 bank. Namun, sesudah krisis 1998, timbul
kesadaran bahwa bank-bank perlu memperkuat diri agar tahan terhadap guncangan
krisis.
Caranya?
Menambah modal. Bank-bank harus memperkuat modal, sebagaimana tecermin dari
indikator rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) yang tinggi, di atas 8%, bahkan kemudian di atas 12%.
Tidak Perlu Banyak
Tantangan
bagi Indonesia kini ialah bagaimana caranya agar jumlah bank tidak terlalu
banyak, misalnya 70 unit, tetapi modalnya kuat serta memiliki kemampuan
penetrasi yang tinggi. Dengan demikian, dapat menjangkau lebih banyak
masyarakat.
Tujuan
akhirnya ialah masyarakat yang tinggi tingkat tabungannya (saving rate), mobilisasi dana masyarakat yang kian besar (saving mobilization), serta tingginya
kredit yang diberikan kepada masyarakat. Dewasa ini, rasio pemberian kredit
terhadap PDB kita hanya sekitar 30%, padahal di negara-negara yang setara (peer group), angkanya sudah melebihi
100%. Inilah isu financial deepening,
yakni sektor finansial kita masih dangkal pada level pendalaman finansial.
Melalui
peningkatan financial inclusion dan financial deepening, diyakini
perekonomian dunia akan terus tumbuh dengan lebih cepat. Namun, upaya tersebut
lagi-lagi tersandung krisis.
Jika
pada 2008 tersandung krisis meletusnya gelembung ekonomi (economic bubbles) di bursa New York melalui guncangan subprime mortgage, krisis kali ini
disebabkan sembrononya pengelolaan fiskal oleh negara-negara anggota zona euro,
khususnya Yunani, Portugal, Spanyol, Italia, dan Irlandia.
Negara-negara
tersebut terlalu `baik hati' dalam menjalankan program welfare state, yang mengakibatkan APBN-nya defisit sangat besar. Sebagai
contoh, APBN Yunani defisit sampai 17% terhadap PDB. Padahal normalnya defisit
2%-3%. Indonesia tahun ini akan defisit 2,3%, atau sedikit lebih banyak
daripada tahun-tahun sebelumnya, biasanya di bawah 2%.
Bencana Finansial
Krisis
zona euro pada dasarnya akan menyebabkan hasil imbal (yield) obligasi negara-negara euro menjadi tinggi. Kecenderungan
itu bisa menular ke seluruh dunia sehingga mengganggu akselerasi program
financial inclusion oleh G-20. Karena itu, G-20 wajib berpartisipasi memadamkan
bara api krisis zona euro yang berpotensi menyeret seluruh dunia ke jurang
krisis yang dalam dan lama.
Keputusan
Yunani untuk tidak keluar dari zona euro sangat tepat. Dalam waktu singkat,
tidak mungkin Yunani melakukan itu. Perlu persiapan matang dan cukup panjang,
terutama dari segi infrastruktur. Untuk sosialisasi, barangkali relatif tidak
sulit, karena penduduk Yunani cuma 11 juta orang.
Hal
yang sulit ditangani ialah faktor psikologis. Begitu euro diganti drachma,
bakal terjadi kepanikan, yang ujung-ujungnya yield obligasi Yunani akan terus
melesat melebihi 30%, yang bisa menular ke negara-negara lain yang punya gejala
penyakit yang sama. Itu akan menjadi bencana finansial yang sangat buruk.
Meski
ketegangan sedikit mereda, bara api krisis zona euro belum berakhir. Spanyol
merupakan negara berikutnya yang harus diawasi. Memang benar krisis industri
perbankan Spanyol baru saja menerima bantuan talangan (bailout) US$100 miliar. Namun semua orang tahu, dana sebesar itu
tidak cukup, jauh dari memadai.
Selain
soal angkanya yang tidak cukup besar, majalah The Economist (16-22 Juni) mengkritik dana tersebut tidak langsung
diinjeksikan ke bank yang sakit, tetapi melalui pemerintah. Itu malah menambah
beban utang pemerintah (public debt)
dengan 10% terhadap PDB. Hal tersebut akan meningkatkan kerisauan investor
terhadap profil Spanyol.
Pada
akhirnya, inti masalah krisis global sekarang merupakan pertanyaan mendasar,
apakah sistem mata uang tunggal (single
currency system) berupa euro
tersebut memang layak diterapkan? Karena itu, adopsi sistem ini ke wilayah
lain, misalnya Asia Tenggara, menjadi semakin tidak jelas dukungan
argumentasinya.
Keputusan untuk mempertahankan euro memang
dapat sedikit menenangkan pasar global dalam jangka pendek ini. Namun dalam
jangka panjang, segala sesuatunya masih mungkin terjadi. Terutama nanti saat
Jerman dan Prancis mulai lelah untuk terus-menerus menyuntik dana talangan,
karena semua itu tetap ada batas toleransinya. Kita lihat nanti kelanjutan
drama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar