Minggu, 24 Juni 2012

Bandara Bukan Wilayah Publik


Bandara Bukan Wilayah Publik
( Wawancara )
Sudaryatmo ;   Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Sumber :  SUARA KARYA, 23 Juni 2012


Belum lama ini, petugas kepolisian Bandara Internasional Soekarno-Hatta mengamankan sekitar 50 preman yang berkeliaran di bandara internasional tersebut, mulai dari calo tiket, porter liar, hingga sopir taksi "tandem". Penertiban semacam itu ternyata tak membuat kapok para preman. Mereka tetap berkeliaran di bandara dan meresahkan para penumpang.

Premanisme juga terjadi di bandara lain, seperti Bandara Internasional Lombok. Di sini pemerasan oleh preman dilakukan terhadap kalangan jasa pariwisata resmi di bandara yang baru dioperasikan 1 Oktober 2011 dan diresmikan pada 20 Oktober 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Keberadaan preman di bandara, menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, akan tetap ada jika bandara masih dalam kondisi sekarang ini. Sudah saatnya dijadikan sebagai restricted area (area terbatas). Di banyak negara, bandara daerah terbatas. Orang tidak boleh "nongkrong" tanpa tujuan yang jelas di bandara.

"Kalau mau aman dan nyaman, jadikan bandara sebagai restricted area, bukan wilayah publik seperti terjadi hampir semua bandara di Indonesia. Coba lihat, bandara Soetta, sebagai bandara internasional seharusnya petugas berani menegur calo, porter liar atau orang yang hanya duduk-duduk tanpa tujuan yang jelas di bandara," kata Sudaryatmo dalam perbincangan dengan wartawan Harian Umum Suara Karya, Tri Wahyuni di Jakarta, baru-baru ini.

Namun, pria kelahiran Klaten, Jateng, 47 tahun lalu itu mengakui, bicara soal keamanan dan kenyamanan bandara akan omong kosong jika kondisi bandara masih over kapasitas seperti saat ini. Misalkan Bandara Soetta, kapasitas di disain hanya untuk 22 juta penumpang per tahun, namun saat ini ada sekitar 50 juta orang mondar-mandir di bandara per tahunnya.

Kondisi itu, lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1991 ini, hampir sama di semua bandara di Tanah Air yang sebagian terlambat dalam mengantisipasi lonjakan penumpang. Sehingga, kondisinya menjadi over kapasitas yang ujung-ujungnya tak hanya berdampak pada pelayanan, tetapi juga keamanan terbang (safe flight).

"Coba perhatikan kalau kita naik pesawat dan tiba di Bandara Soetta sore hari, biasanya kita harus menunggu dengan pesawat putar-putar di langit Jakarta sekitar 10 menit sebelum landing. Menurut kamu, kondisi seperti itu serem tidak. Bikin jantung kamu deg-degan juga, kan," ucap Sudaryatmo.

Karena itu, ia menilai, pemerintah harus segera melakukan redisain bandara-bandara yang ada di Indonesia. Karena, bukan saja soal over kapasitas, tetapi bagaimana dengan keamanan terbang dengan nyawa manusia sebagai taruhannya.

Bagaimana menghapus keberadaan preman di bandara?

Jadikan, bandara sebagai restricted area (wilayah terbatas). Artinya, hanya orang yang punya kepentingan saja yang boleh masuk. Seleksi orang yang masuk harus lebih ketat. Orang tidak boleh nongkrong di bandara tanpa tujuan yang jelas. Tanya setiap orang apa keperluannya di bandara. Kalau penumpang, tolong tunjukkan tiket. Tetapi, kalau mau jemput, lebih tertib.

Bandara di Indonesia kan masih dianggap sebagai public area, area publik yang siapa saja bisa dengan santai duduk-duduk di bandara tanpa keperluan yang jelas. Karena, rumah mereka yang dekat dengan bandara. Bandara jadi tempat main dan mencari nafkah para pihak, tanpa disertai kompetensi yang jelas.

Berbeda dengan negara maju, seperti Jepang dan Australia, letak bandara mereka jauh sekali dari pemukiman. Sehingga orang malas ke bandara jika tidak ada perlunya. Di negara maju, orang malas tinggal dekat bandara karena pasti bising.

Di Indonesia beda sekali, justru pemukiman di sekitar bandara menjadi tidak terkontrol. Melihat banyak uang berseliweran di bandara, warga yang tinggal di seputaran bandara pun kemudian mencari nafkah di sana. Mulai dari calo, ojek motor, porter liar hingga menjadi supir taksi gelap. Kalau sudah begini kondisinya, sulit sekali mengontrolnya, kecuali petugas berani bersikap tegas.

Apa yang harus dilakukan untuk meminimalisasikannya?

Pemerintah seharusnya sejak awal berani tegas meminta kepada pemilik tanah untuk tidak membangun pemukiman di sekitar bandara. Untuk itu, kepada pemilik lahan, pemerintah memberi kompensasi karena tanahnya dipergunakan secara tidak optimal. Tetapi, tanah masih bisa digunakan untuk bertanam bukan untuk tempat tinggal.
Saat akan membangunpun mereka harus memiliki izin khusus, karena lokasi tanahnya yang termasuk restricted area. Tidak jor-joran seperti sekarang ini sehingga kondisinya sudah tak terkontrol. Jadi susah juga jika kita bicara pemberantasan preman di bandara, jika diseputar bandara masih banyak pemukiman.

YLKI pernah melakukan survei terkait dengan pelayanan bandara?

YLKI pernah membuka bulan pengaduan seputar fasilitas dan pelayanan di bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Pengaduan masyarakat macam-macam mulai dari toilet yang tak bersih, calo tiket, porter liar, supir taksi nakal, pesawat yang sering delay (terlambat berangkat) hingga tol bandara yang kurang petunjuk jalannya. Ada juga laporan parkir mobil yang tidak aman.

Keluhan tertinggi pada toilet bandara yang kotor dan bau. Tetapi sekali lagi, bagaimana kita mau bicara soal pelayanan prima, kalau kapasitas bandara- di hampir banyak bandara di Indonesia- sudah over kapasitas.

Yang menarik adalah pemerintah daerah tidak menganggap toilet umum sebagai bagian dari pelayanan kota. Karena tidak ada yang mengurus maka toilet umum terbengkalai. Lantas muncul orang yang memungut uang depan toilet umum. Sehingga kebersihan toilet dibebankan kepada publik. Padahal, prinsip dasar dari toilet umum seharusnya bebas biaya.

Seharusnya pelayanan bisa lebih baik, karena setiap penumpang dipungut aiport tax yang cukup besar?

Hal itu silakan ditanyakan ke pengelola bandara, sudah digunakan untuk apa saja uang airport tax dari para penumpang. Padahal, pelayanan yang diberikan pengelola bandara belum sesuai dengan harapan para penumpang.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi di bandara kita?

Persoalan ini sebenarnya berawal dari pertumbuhan penumpang yang tidak seimbang dengan peningkatan infrastruktur di bandara. Misalkan bandara Soetta. Bandara yang beroperasi tahun 1985 itu pada awalnya hanya didesain untuk 18 juta penumpang per tahun yang mencakup dua terminal yaitu 1 dan 2.

Kapasitas bandara Soetta ditingkatkan menjadi 22 juta orang per tahun dengan dibangunnya terminal 3. Ternyata pertumbuhan orang naik pesawat melesat tajam, yang tidak diantisipasi oleh bandara Soetta, hingga menjadi 50 juta per tahun. Akibatnya, bandara menjadi seperti "pasar" yang penuh sesak. Kalau sudah begini kondisinya, rasanya sulit bicara soal pelayanan prima.

Siapa yang salah dalam masalah ini?

Belajar dari kasus ini, kelihatan betapa buruknya perencanaan pemerintah dan operator dalam mengantisipasi pertumbuhan kelas menengah yang menggunakan pesawat sebagai transportasi. Bahayanya, bukan saja berdampak pada pelayanan, tetapi juga keselamatan penumpang.

Misalkan bandara Soetta. Saya senangmencontohkan bandara Soetta karena saya lebih faham dibandingkan bandara-bandara lain. Pada desain awal bandara Soetta pada setiap jam ada 90 pergerakan pesawat baik take off maupun landing. Artinya, dari 2 runway yang ada terjadi pergerakan pesawat setiap 1,5 menit.

Sekarang bisa saya katakan, respon pergerakan pesawat di bandara Soetta rendah sekali. Setiap jam hanya 52 pergerakan. Karena itu, bandara Soetta sudah tidak bisa dibebani penerbangan baru, kecuali di malam hari.

Kendala penerbangan malam adalah bandara di daerah yang belum siap. Apalagi di wilayah Indonesia Timur dengan perbedaan waktu 2 jam.

Kita bisa cermati bandara Soetta di sore hari. Pesawat yang akan landing harus antri dengan berputar-putar dulu di langit Jakarta. Kondisi ini tentu saja menyeramkan bagi penumpang, takut jatuh karena kehabisan avtur.

Upaya apa yang harus dilakukan?

Saya mendengar kabar bahwa akan ada rencana pembangunan runway (landasan) ketiga di tengah landasan yang ada. Untuk membangun fasilitas semacam itu kan butuh waktu, padahal situasinya sudah sangat crowded.

Seharusnya fasilitas semacam ini sudah dipersiapkan ketika kebutuhan masyarakat akan pesawat semakin tinggi, bukan sudah over kapasitas baru dibangun. Telat memang, tetapi masih lebih bagfus dibandingkan tidak melakukan upaya apa-apa.

Tampaknya pemerintah tidak serius soal keselamatan penumpang ya?

Betapapun jeleknya urusan pelayanan bandara, urusan keselamatan harus menjadi standar pelayanan. Kita tidak boleh main-main dengan keselamatan. Tetapi, sayangnya, ada kecenderungan pada pemerintah kita, setelah ada kecelakaan pesawat, baru mendapat perhatian. Padahal kecelakaan semacam itu bisa dicegah, seandainya pemerintah melakukan sejumlah tindakan antisipasi.

Maskapai penerbangan berlomba-lomba membeli pesawat baru. Lalu, pesawat itu mau parkir di mana? Tingkat pertumbuhan kebutuhan pesawat terbang saat ini memang ada di wilayah Asia Pasifik. Tetapi sayangnya, untuk kasus indonesia tidak diimbangi dengan perbaikan infrastruktur, airtraffic control hingga ke sumber daya manusianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar