Bandara
Bukan Wilayah Publik
( Wawancara )
Sudaryatmo ; Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Sumber : SUARA
KARYA, 23 Juni 2012
Belum lama ini, petugas kepolisian Bandara Internasional
Soekarno-Hatta mengamankan sekitar 50 preman yang berkeliaran di bandara
internasional tersebut, mulai dari calo tiket, porter liar, hingga sopir taksi "tandem". Penertiban
semacam itu ternyata tak membuat kapok para preman. Mereka tetap berkeliaran di
bandara dan meresahkan para penumpang.
Premanisme juga terjadi di bandara lain, seperti Bandara
Internasional Lombok. Di sini pemerasan oleh preman dilakukan terhadap kalangan
jasa pariwisata resmi di bandara yang baru dioperasikan 1 Oktober 2011 dan
diresmikan pada 20 Oktober 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Keberadaan preman di bandara, menurut Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, akan tetap ada
jika bandara masih dalam kondisi sekarang ini. Sudah saatnya dijadikan sebagai restricted area (area terbatas). Di
banyak negara, bandara daerah terbatas. Orang tidak boleh "nongkrong"
tanpa tujuan yang jelas di bandara.
"Kalau mau aman dan nyaman, jadikan bandara sebagai restricted area, bukan wilayah publik
seperti terjadi hampir semua bandara di Indonesia. Coba lihat, bandara Soetta,
sebagai bandara internasional seharusnya petugas berani menegur calo, porter
liar atau orang yang hanya duduk-duduk tanpa tujuan yang jelas di
bandara," kata Sudaryatmo dalam perbincangan dengan wartawan Harian Umum Suara
Karya, Tri Wahyuni di Jakarta, baru-baru ini.
Namun, pria kelahiran Klaten, Jateng, 47 tahun lalu itu mengakui,
bicara soal keamanan dan kenyamanan bandara akan omong kosong jika kondisi
bandara masih over kapasitas seperti
saat ini. Misalkan Bandara Soetta, kapasitas di disain hanya untuk 22 juta
penumpang per tahun, namun saat ini ada sekitar 50 juta orang mondar-mandir di
bandara per tahunnya.
Kondisi itu, lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
tahun 1991 ini, hampir sama di semua bandara di Tanah Air yang sebagian
terlambat dalam mengantisipasi lonjakan penumpang. Sehingga, kondisinya menjadi
over kapasitas yang ujung-ujungnya
tak hanya berdampak pada pelayanan, tetapi juga keamanan terbang (safe flight).
"Coba perhatikan kalau kita naik pesawat dan tiba di Bandara
Soetta sore hari, biasanya kita harus menunggu dengan pesawat putar-putar di
langit Jakarta sekitar 10 menit sebelum landing.
Menurut kamu, kondisi seperti itu serem tidak. Bikin jantung kamu deg-degan
juga, kan," ucap Sudaryatmo.
Karena itu, ia menilai, pemerintah harus segera melakukan redisain
bandara-bandara yang ada di Indonesia. Karena, bukan saja soal over kapasitas, tetapi bagaimana dengan
keamanan terbang dengan nyawa manusia sebagai taruhannya.
Bagaimana menghapus keberadaan preman di bandara?
Jadikan, bandara sebagai restricted
area (wilayah terbatas). Artinya, hanya orang yang punya kepentingan saja
yang boleh masuk. Seleksi orang yang masuk harus lebih ketat. Orang tidak boleh
nongkrong di bandara tanpa tujuan yang jelas. Tanya setiap orang apa
keperluannya di bandara. Kalau penumpang, tolong tunjukkan tiket. Tetapi, kalau
mau jemput, lebih tertib.
Bandara di Indonesia kan masih dianggap sebagai public area, area
publik yang siapa saja bisa dengan santai duduk-duduk di bandara tanpa
keperluan yang jelas. Karena, rumah mereka yang dekat dengan bandara. Bandara
jadi tempat main dan mencari nafkah para pihak, tanpa disertai kompetensi yang
jelas.
Berbeda dengan negara maju, seperti Jepang dan Australia, letak
bandara mereka jauh sekali dari pemukiman. Sehingga orang malas ke bandara jika
tidak ada perlunya. Di negara maju, orang malas tinggal dekat bandara karena
pasti bising.
Di Indonesia beda sekali, justru pemukiman di sekitar bandara menjadi
tidak terkontrol. Melihat banyak uang berseliweran di bandara, warga yang
tinggal di seputaran bandara pun kemudian mencari nafkah di sana. Mulai dari
calo, ojek motor, porter liar hingga menjadi supir taksi gelap. Kalau sudah
begini kondisinya, sulit sekali mengontrolnya, kecuali petugas berani bersikap
tegas.
Apa yang harus dilakukan untuk meminimalisasikannya?
Pemerintah seharusnya sejak awal berani tegas meminta kepada
pemilik tanah untuk tidak membangun pemukiman di sekitar bandara. Untuk itu, kepada
pemilik lahan, pemerintah memberi kompensasi karena tanahnya dipergunakan
secara tidak optimal. Tetapi, tanah masih bisa digunakan untuk bertanam bukan
untuk tempat tinggal.
Saat akan membangunpun mereka harus memiliki izin khusus, karena
lokasi tanahnya yang termasuk restricted area. Tidak jor-joran seperti sekarang
ini sehingga kondisinya sudah tak terkontrol. Jadi susah juga jika kita bicara
pemberantasan preman di bandara, jika diseputar bandara masih banyak pemukiman.
YLKI pernah melakukan survei terkait dengan pelayanan bandara?
YLKI pernah membuka bulan pengaduan seputar fasilitas dan
pelayanan di bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Pengaduan masyarakat macam-macam
mulai dari toilet yang tak bersih, calo tiket, porter liar, supir taksi nakal,
pesawat yang sering delay (terlambat berangkat) hingga tol bandara yang kurang
petunjuk jalannya. Ada juga laporan parkir mobil yang tidak aman.
Keluhan tertinggi pada toilet bandara yang kotor dan bau. Tetapi
sekali lagi, bagaimana kita mau bicara soal pelayanan prima, kalau kapasitas
bandara- di hampir banyak bandara di Indonesia- sudah over kapasitas.
Yang menarik adalah pemerintah daerah tidak menganggap toilet umum
sebagai bagian dari pelayanan kota. Karena tidak ada yang mengurus maka toilet
umum terbengkalai. Lantas muncul orang yang memungut uang depan toilet umum.
Sehingga kebersihan toilet dibebankan kepada publik. Padahal, prinsip dasar
dari toilet umum seharusnya bebas biaya.
Seharusnya pelayanan bisa lebih baik, karena setiap penumpang
dipungut aiport tax yang cukup besar?
Hal itu silakan ditanyakan ke pengelola bandara, sudah digunakan
untuk apa saja uang airport tax dari para penumpang. Padahal, pelayanan yang
diberikan pengelola bandara belum sesuai dengan harapan para penumpang.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di bandara kita?
Persoalan ini sebenarnya berawal dari pertumbuhan penumpang yang
tidak seimbang dengan peningkatan infrastruktur di bandara. Misalkan bandara
Soetta. Bandara yang beroperasi tahun 1985 itu pada awalnya hanya didesain untuk
18 juta penumpang per tahun yang mencakup dua terminal yaitu 1 dan 2.
Kapasitas bandara Soetta ditingkatkan menjadi 22 juta orang per
tahun dengan dibangunnya terminal 3. Ternyata pertumbuhan orang naik pesawat
melesat tajam, yang tidak diantisipasi oleh bandara Soetta, hingga menjadi 50
juta per tahun. Akibatnya, bandara menjadi seperti "pasar" yang penuh
sesak. Kalau sudah begini kondisinya, rasanya sulit bicara soal pelayanan
prima.
Siapa yang salah dalam masalah ini?
Belajar dari kasus ini, kelihatan betapa buruknya perencanaan
pemerintah dan operator dalam mengantisipasi pertumbuhan kelas menengah yang
menggunakan pesawat sebagai transportasi. Bahayanya, bukan saja berdampak pada
pelayanan, tetapi juga keselamatan penumpang.
Misalkan bandara Soetta. Saya senangmencontohkan bandara Soetta
karena saya lebih faham dibandingkan bandara-bandara lain. Pada desain awal
bandara Soetta pada setiap jam ada 90 pergerakan pesawat baik take off maupun landing. Artinya, dari 2
runway yang ada terjadi pergerakan
pesawat setiap 1,5 menit.
Sekarang bisa saya katakan, respon pergerakan pesawat di bandara
Soetta rendah sekali. Setiap jam hanya 52 pergerakan. Karena itu, bandara
Soetta sudah tidak bisa dibebani penerbangan baru, kecuali di malam hari.
Kendala penerbangan malam adalah bandara di daerah yang belum
siap. Apalagi di wilayah Indonesia Timur dengan perbedaan waktu 2 jam.
Kita bisa cermati bandara Soetta di sore hari. Pesawat yang akan landing harus antri dengan
berputar-putar dulu di langit Jakarta. Kondisi ini tentu saja menyeramkan bagi
penumpang, takut jatuh karena kehabisan avtur.
Upaya apa yang harus dilakukan?
Saya mendengar kabar bahwa akan ada rencana pembangunan runway (landasan) ketiga di tengah
landasan yang ada. Untuk membangun fasilitas semacam itu kan butuh waktu,
padahal situasinya sudah sangat crowded.
Seharusnya fasilitas semacam ini sudah dipersiapkan ketika
kebutuhan masyarakat akan pesawat semakin tinggi, bukan sudah over kapasitas
baru dibangun. Telat memang, tetapi masih lebih bagfus dibandingkan tidak
melakukan upaya apa-apa.
Tampaknya pemerintah tidak serius soal keselamatan penumpang ya?
Betapapun jeleknya urusan pelayanan bandara, urusan keselamatan
harus menjadi standar pelayanan. Kita tidak boleh main-main dengan keselamatan.
Tetapi, sayangnya, ada kecenderungan pada pemerintah kita, setelah ada
kecelakaan pesawat, baru mendapat perhatian. Padahal kecelakaan semacam itu
bisa dicegah, seandainya pemerintah melakukan sejumlah tindakan antisipasi.
Maskapai penerbangan berlomba-lomba membeli pesawat baru. Lalu,
pesawat itu mau parkir di mana? Tingkat pertumbuhan kebutuhan pesawat terbang
saat ini memang ada di wilayah Asia Pasifik. Tetapi sayangnya, untuk kasus
indonesia tidak diimbangi dengan perbaikan infrastruktur, airtraffic control hingga ke sumber daya manusianya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar